Oleh: Halimah Ummu Nabila
Akhir-akhir ini media dihebohkan dengan berita pelecehan seksual berkedok sebagai riset. Pria berinisial BA, yang mengaku sebagai dosen sebuah universitas di Yogyakarta telah melakukan pelecehan seksual berkedok penelitian dengan jumlah korban hingga 50 orang. BA berkedok meneliti tentang swinger, yaitu julukan yang disematkan kepada pasangan atau lajang yang memiliki hubungan terbuka; membebaskan pasangannya melakukan hubungan seksual dengan orang lain. (Kompas.com, 3/8/2020).
Di Surabaya seorang mahasiswa sebuah PTN berinisial G diduga melakukan tindak pidana pelecehan seksual dengan membungkus korbannya menggunakan kain jarik. Pelaku berdalih sedang melakukan penelitian untuk tugas akhirnya kepada para korban. (CNN Indonesia.com, 31/7/2020).
Sangat memprihatinkan, kasus kriminal seksual dilakukan oleh orang-orang terpelajar. Ini menambah deretan kasus pelecehan seksual yang terjadi selama ini. Mengapa ini terjadi?
Kehidupan telah lama menjadi sekular, termasuk dalam bermasyarakat. Kehidupan telah dijauhkan dari nilai-nilai agama bahkan jauh dari norma kesopanan yang berlaku di masyarakat. Setiap orang hanya berfikir hidup asal happy. Termasuk dalam memperturutkan hasrat seksualnya. Pergaulan pria dan wanita tanpa batas yang jelas. Tentu ini akan menjadi celah bagi terjadinya pelacehan seksual.
Manusia terlahir disertai dengan naluri melestarikan jenisnya sehingga mendorong manusia untuk berkasih sayang dengan sesama, baik kepada orang tua, saudara, kerabat, pasangan, anak dan lainnya. Termasuk di dalamnya hasrat seksual. Naluri ini tidak bisa dihilangkan dari manusia tetapi tidak akan menimbulkan kematian apabila tidak dipenuhi, namun bisa dialihkan kepada hal lainnya.
Ketika hasrat seksual ini muncul sementara tidak ada sarana legal untuk melampiaskannya maka yang terjadi adalah melampiaskan pada apapun yang bisa dipakai untuk memuaskan. Korbannya bisa wanita, pria, anak-anak bahkan orang tua. Bisa juga dipuaskan dengan benda-benda bahkan binatang.
Selain diberikan naluri manusia juga dibekali akal untuk berfikir. Tepat sekali dalam Islam jika akal menjadi tolak ukur datangnya taklif (beban hukum). Maka jika orang tidak berakal alias gila, tidak dibebani melakukan syariat apapun.
Untuk itu akal manusia harus diisi dengan pengetahuan tentang jalan hidup, keimanan dan ketakwaan terhadap agama agar prilakunya tidak salah. Demikian juga dalam melampiaskan hasrat seksualnya.
Haruslah difahami bahwa hasrat seksual itu adalah untuk melangsungkan jenis manusia. Tanpa rasa itu manusia akan punah. Tentu ini hanya ada dalam pernikahan antara pria dan wanita. Tidak pada yang lain.
Di masyarakat pun hendaknya meminimalisir rangsangan yang akan membangkitkan gejolak hasrat seksual, dengan batasan aurot, tidak bercampur baur antara pria dan wanita di luar kebutuhan yang disyariatkan, tidak menampilkan pornoaksi dan pornografi. Sehingga hubungan antar warga masyarakat akan berjalan dengan wajar tanpa disibukkan dengan pemenuhan hasrat seksual yang tidak pada tempatnya.
Sementara terkait dengan penelitian/riset yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen, maka hendaknya mereka meneliti sesuatu yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah di masyarakat. Tanpa melanggar norma yang berlaku bahkan agama. Sehingga kaum terpelajar ini menjadi contoh bagi masyarakat dan memaksimalkan perannya sebagai agen perubahan menuju masyarakat yang beradab dan berkepribadian tinggi.
Ini semua butuh peran negara yang memiliki komitmen kuat dalam menjaga masyarakat agar mereka jauh dari berbagai rangsangan yang membangkitkan hasrat seksual. Negara dengan kekuasaannya akan menertibkan iklan, konten media dan berbagai bisnis yang sehat.