Oleh: Wulan Amalia Putri, S.S.T.
(Pemerhati Masalah Sosial)
Pada Kamis, 13 Agustus 2020, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menerima tepuk tangan usai mengumumkan kesepakatan damai antara Israel dan Uni Emirat Arab. Kesepakatan damai tersebut berkaitan dengan normalisasi penuh hubungan diplomatik antara kedua negara Timur Tengah.
Normalisasi hubungan ini tentu saja mengagetkan dunia Islam apalagi jika dikaitkan dengan posisi Israel yang selama ini menjajah Palestina. Masyarakat internasional menanggapi kejadian ini dengan sikap berbeda-beda, ada yang memberikan tanggapan penolakan namun ada pula yang mendukung.
Di antara pihak yang menunjukkan penolakan keras adalah Palestina. Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, melalui juru bicaranya Nabil Abu Rudenieh menyampaikan: “Pemimpin Palestina menolak dan mengecam trilateral Uni Emirat Arab, Israel, pengumuman mengejutkan,” kata Rudeineh dari Ramallah di Tepi Barat yang diduduki Israel. (fokus.tempo.co, 18/8/2020)
Penuh Konspirasi Politik
Hubungan dunia Arab, terutma Palestina dengan Israel sejatinya tak pernah normal. Namun, Amerika Serikat selalu membayangi perjalanan politik hubungan tersebut. Pada tahun 2019 misalnya, Amerika Serikat mengumumkan untuk mendukung Yerusalem seagai Ibukota Israel. Buntutnya, Israel memindahkan Ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem. Padahal, selama puluhan tahun Palestina berjuang untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibukota bagi mereka.
Pada tahun lalu pula, posisi Uni Emirat Arab masih memihak pada Palestina. Buktinya, pada bulan Juni lalu, Duta Besar Uni Emirat Arav untuk Amerika Serikat menolak upaya Israel untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Dunia Arab jika menganeksasi Tepi Barat. Sampai pada saat itu, Uni Emirat Arab masih menunjukkan kecaman pada pendudukan Israel di wilayah Palestina.
Namun, peta politik kembali berubah dan membawa kekecewaan bagi dunia Islam. Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, lewat juru bicaranya menyebut kesepakatan damai tersebut sebagai pengkhinatan. “Pengkhinatan terhadap Yerusalem, Al Aqsa dan perjuangan Palestina”. Pemimpin Politik Hamas di Gaza, Ismail Haniyeh juga dengan tegas menunjukkan penolakannya. “Haniyeh menolak semua deklarasi dan keputusan sepihak yang berusaha untuk menghapus hak-hak Palestina dan melanggar resolusi internasional,” kata Haniyeh kepada media Palestina, WAFA. (fokus.tempo.co,18/8/2020)
Memang, salah satu isi kesepakatan normalisasi hubungan UEA-Israel tersebut, Presiden Amerika Serikat mensyarakatkan Israel untuk menghentikan pencaplokan wilayah Palestina. Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengisyarakatkan hal yang berbeda.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa kesepakatan untuk menghentikan pencaplokan wilayah Palestina bersifat sementara dan tetap terbuka untuk dikoordinasikan dengan Washington.”Israel akan menunda rencana menganeksasi bagian dari Tepi Barat yang diduduki dan saat ini fokus pada upaya memperluas ikatan dengan negara-negara lain di Arab dan dunia muslim,” ujar Netanyahu dalam pernyataanya.
Dengan pernyataan ini maka isi kesepakatan normalisasi yang dinamakan Abraham Accord oleh Presiden Amerika Serikat, tak ada artinya. Sebab, pada akhirnya koordinasi dengan Washington-lah yang akan menentukan berlangsung atau tidaknya pencaplokan terhadap tanah Palestina.
Masyarakat dunia Islam wajib mempertanyakan langkah politik yang diambil oleh Uni Emirat Arab. Di tengah berbagai upaya untuk menyelamatkan Palestina, Uni Emirat Arab memilih untuk berhubungan baik dengan musuh, Israel. Padahal seharusnya mereka mengambil langkah tegas untuk ikut mengeluarkan Israel dari bumi Palestina.
Anggota Komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO, Hanan ashrawu menuliskan kalimat puitis yang menggambarkan betapa sakitnya menjadi warga Palestina yang dikhinati oleh temannya sendiri. “Semoga Anda tidak pernah mengalami penderitaan karena negara Anda dicuri. Semoga Anda tidak pernah merasakan sakitnya hidup dijajah. Semoga Anda tidak pernah menyaksikan pembongkaran rumah anda atau pembunuhan orang yang anda cintai. Semoga Anda riak pernah dijual oleh “teman” Anda.”
Ungkapan yang begitu dalam yang menunjukkan betapa banyaknya penderitaan yang dilalui oleh bangsa Palestina. Namun di tengah penderitaan tersebut, saudara seiman mereka justru memilik untuk merapat bersama musuh. Entah untuk kepentingan apa, namun konspirasi politik ini sungguh menyakitkan.
Islam, Solusi bagi Palestina
Hubungan politik Kaum muslimin dengan Israel pada dasarnya hubungan muhariban fi’lan. Sebab, Israel secara nyata telah berlaku buruk dan memerangi kaum muslimin di Palestina. Namun sayangnya, sikap kebanyakan kaum muslimin hanyalah mencukupkan diri dengan mengecam serta mengutuk perbuatan Israel yang biadab.
Selain itu, langkah yang diambil berupa genjatan senjata ataupun kesepakatan damai antara Palestina dengan Israel adalah langkah yang tak tepat. Sebab seharusnya peperangan dihadapai dengan peperangan, bukan sekadar perundingan yang sewaktu-waktu bisa dilanggar oleh pihak-pihak yang sepakat. Apalagi jika telah dicampuri oleh Amerika Serikat.
Dalam menghadapi tekanan Israel, seharusnya seluruh dunia Islam bersatu untuk melawan. Jika saja penguasa kaum muslimin bersedia untuk mengerahkan pasukannya untuk melawan Isral, niscaya Palestina akan terbebaskan. Kaum muslimin harus bersatu sebab mereka bahkan satu tubuh, sebagaimana hadis Rasulullah: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan panas dan demam”. (HR. Muslim)
Tanah Palestina adalah tanah milik kaum muslimin yang sejak dulu selalu dipertahankan oleh kaum muslimin. Ketika Pasukan Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin al Ayyubi bersumpah untuk membebaskannya. Demi membebaskan Al Asha, Shalahuddin menempun berbagai pertempuran.
Melihat kegigihan dan kekuatan kaum muslimin, Pasukan Salib yakin bahwa mereka tidak dapat memenangkan pertempuran dan tidak bisa mempertahankan Al Aqsha lebih lama. Karena itu, pasukan salib cenderung untuk meminta perdamaian dengan kaum muslimin. Lalu, Shalahuddin mengirimkan beberapa utusannya kepada penduduk Al Quds untuk meminta mereka menyerahkan kota ini dengan beberapa syarat yang telah ia tentukan.
Dalam hal ini, Shalahuddin menyampaikan pada mereka, “Sesungguhnya saya benar-benar meyakini bahwa Jerussalem adalah rumah Allah yang suci sebagaimana yang kalian yakini. Saya tidak ingin menimpakan kerusakan kepada rumah Allah ini dengan memblokade atau menyerangnya.” Dan kemudian Shalahuddin al Ayyubi memberikan syarat-syarat perdamaian yang akhirnya diterima.
Sultan Shalahuddin memasuki al Quds pada hari Jumat tanggal 27 Rajab 583 H/ 1187 M dengan perlakuan baik kepada penduduknya. Hal ini berbeda dengan kondisi ketika Pasuka Salib memasukinya. Demikian pula yang terjadi saat ini ketika Israel menduduki Palestina. Warga Palestina disakiti bahkan dibunuh dengan keji.
Maka, jalan damai dan diplomasi bukanlah langkah yang seharusnya diambil untuk menghadapi aneksasi Israel terhadap Palestina. Sudah seharusnya generasi Shalahuddin al Ayyubi datang untuk membebaskan Palestina dan mengeluarkan Israel dari bumi yang suci milik kaum muslimin. Selain itu, tidak seharusnya kaum muslimin bersandar kepada musuh-musuh Palestina seperti Amerika Serikat. Musuh Palestina adalah musuh bagi seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam Bishawwab.