Mahalnya Daring Buah dari Sistem yang Salah

Oleh : Narti Hs
Ibu Rumah Tangga

Pandemi Covid-19 hingga hari ini belum kunjung usai. Bahkan jumlahnya cenderung meningkat. Penularannya pun tak kenal usia. Anak-anak, dewasa bahkan lanjut usia  rentan terkena virus mematikan ini. Tidak jarang kekhawatiran terpapar virus ini membuat sebagian dari masyarakat saling curiga dan  takut, mereka enggan  berhadapan dengan kerumunan orang, karena berpeluang besar untuk penularan wabah. Hal ini menjadikan masyarakat semakin was-was untuk beraktivitas di luar rumah.  

Seperti halnya sektor lain, dunia pendidikan pun akhirnya terkena imbas karena pandemi. Alhasil, kegiatan belajar mengajar pun harus dilakukan secara daring (dalam jaringan). Hal ini tentu menjadi PR yang cukup berat, karena segalanya terkesan mendadak. Bagi pendidik, harus menyesuaikan pengajaran ke siswa. Sedangkan bagi siswa, tidak semuanya bisa nyaman belajar secara daring. Belum lagi berbicara tentang kondisi orang tua dan kestabilan ekonomi keluarga yang berbeda-beda.

Tidak semua siswa bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh atau kelas dalam jaringan selama pandemi Covid-19. Selain persoalan ketersediaan ponsel, ketiadaan kuota, namun juga sulitnya jaringan internet yang menjadi kendala.

Keadaan ini membuat masyarakat berempati untuk membantu sedikitnya mengurangi beban, terutama bagi siswa yang orang tuanya belum mampu menyediakan sarana belajar jarak jauh ini. Seperti yang terjadi di wilayah Cileunyi Bandung. Ada seorang ASN, Lovita Rosa yang membuktikan kesadaran dan kepeduliannya untuk menyediakan internet gratis bagi para pelajar sekolah yang kurang mampu. Gerakan sedekah itu dilakukan di kediamannya sendiri, yaitu di Komplek Permata Biru, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.

"Inisiatifnya, karena saya melihat warga disini ada yang kesulitan untuk anaknya melakukan belajar secara daring. Katanya bingung beli kuotanya, lalu saya membuka rumah saya agar jaringan wifinya dipakai." kata Lovita.

Menurutnya, gerakan sedekah wifi itu sudah dilakukan sejak masa tahun ajaran baru dimulai beberapa waktu lalu. (Pikiranrakyat.com/tim fix Indonesia, 30 Juli 2020)

Melihat kesadaran dari individu yang luar biasa berempati terhadap kondisi keprihatinan masyarakat terutama saat pandemi ini, tentu sangat patut diapresiasi. Apalagi kelak akan bermunculan orang-orang yang mampu untuk mengikuti langkah warga tersebut. Meskipun dicermati bahwa munculnya kesadaran secara individu ini, belumlah cukup tanpa didukung oleh masyarakat, apalagi negara. 
Negara terkesan belum maksimal dalam mengatasi masalah pendidikan terutama saat pandemi ini. Negara masih lamban dan tarik ulur dalam memutuskan kebijakan. Inilah orientasi asas kapitalisme yang berpijak pada materi. Inilah kapitalis, segala sesuatu diukur dengan untung rugi. Sebuah kebijakan akan disetujui dan diambil ketika ada nilai keuntungan di dalamnya.

Sangat berbeda dengan Islam. Sistem ini memiliki aturan bahwa negara memiliki peran penting dalam memfasilitasi seluruh kebutuhan masyarakat terutama pendidikan. Karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok masyarakat, di samping  kesehatan dan keamanan. Negara sangat berperan memberikan jaminan berupa layanan, dalam berbagai permasalahan baik pada saat terjadi wabah maupun tidak. Karena kedudukan seorang penguasa dalam Islam begitu jelas, sebagaimana digambarkan dalam hadis Rasulullah saw. :
"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggungjawab  atas pengurusan rakyatnya". (HR al-Bukhari).

Dalam hadis ini jelas bahwa sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt kelak di hari kiamat. Apakah mereka (para pemimpin), telah mengurus dengan baik ataukah tidak terhadap kepengurusannya.

Dalam hal pendidikan, negara menentukan kebijakan, terutama saat terjadi wabah. Kegiatan  belajar masih dilakukan di rumah dengan tidak sampai mengurangi esensi pendidikan. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan :
Pertama, negara yang berasaskan akidah dan syariah Islam. Di mana tujuan dari pendidikan yang baku harus diemban oleh seluruh pemangku pendidikan. Baik siswa, guru, tenaga pendidikan, orang tua siswa, maupun negara. Semuanya bersinergi dalam kemajuan pendidikan.

Kedua, negara Islam (Khilafah), memiliki dan menguasai ilmu teknologi komunikasi yang handal. Pada dunia pendidikan, negara akan sekuat tenaga menciptakan kerjasama antara guru, siswa, orang tua siswa. Mereka tak akan gagap teknologi komunikasi dalam pembelajaran daring.
Ketiga, belajar di rumah, ditopang oleh perekonomian yang stabil, bahkan maju. Sehingga negara mampu menopang kehidupan ekonomi rakyat yang membutuhkan bantuan akibat lockdown. Orang tua tak perlu bekerja di luar sehingga bisa optimal membantu proses belajar di rumah dengan baik. Negara akan mengerahkan sumber kekayaan yang dimiliki. Baik berasal dari kekayaan alam, kharaj, fa'i, maupun kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Tak hanya itu, dalam pemenuhan kebutuhan pokok, negara Islam mampu memberikan berbagai fasilitas pendukung pembelajaran. Negara menyediakan platform pendidikan dan sarana pendukungnya, seperti internet dan alat komunikasi secara gratis.

Dengan pos-pos melimpah ini, maka negara akan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan. Baik untuk  menggaji guru, sarana (sekolah, asrama, buku-buku penunjang), termasuk jaringan internet, komunikasi, dan lain-lain. Seperti saat dilanda wabah sekarang ini, negara tak akan gagap dalam menghadapinya. 

Inilah kelebihan dari sistem Islam yang telah membuktikan kemampuannya dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di tengah kehidupan kita. Hanya sistem Islamlah yang dapat memberikan pelayanan terutama pendidikan optimal terhadap rakyatnya baik saat terjadi wabah maupun tidak.

Kini saatnya kita berupaya untuk mewujudkan sistem Islam agar tegak di muka bumi, sehingga keberkahan akan diberikan oleh Allah Swt. Islam rahmatan lil 'alamin  akan kita rasakan. In syaa Allah.
Wallahu a'lam bish- Shawwab
Previous Post Next Post