Oleh : Desi Anggraini
Pendidik Palembang
Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan bahwa SMK dan perguruan tinggi di seluruh zona sudah diperbolehkan untuk melakukan sekolah secara tatap muka.
Sementara untuk jenjang lain seperti SD, SMP, dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pembelajaran tatap muka juga dapat dilakukan.
Namun pembelajaran tersebut menggunakan ketentuan maksimal peserta didik yang hadir sebanyak 18 anak.Sementara sebagian siswa di waktu selanjutnya.Sistem ini harus dilakukan dan wajib menggunakan sistem rotasi.
"Kapasitas itu harus dilakukan. Mau tidak mau dilakukan shifting. SD, SMP, SMA 50 persen. Jadi harus menggunakan sistem rotasi.
Perilaku wajib yang harus dilakukan semua wajib menggunakan masker, mencuci tangan, hand sanitizer, menjaga jarak 1,5 meter, dan tidak melakukan kontak," jelasnya.
"Semua yang punya comorbit, yang memiliki gejala COVID-19 baik peserta siswa dan lain-lain tidak diperkenankan ke sekolah," tegasnya lagi.
Nadiem juga kembali menegaskan bahwa harus ada kesepakatan dari pihak sekolah dan orang tua murid untuk bisa memberlakukan kembali pembelajaran tatap muka.
"Kepala sekolah wajib melaksanakan daftar ceklis, kesiapan melakukan pembelajaran tatap muka, pertama kebersihan, akses fasilitas kesehatan, memiliki thermal gun, pemetaan warga satuan pendidikan, kesepakatan satuan pendidikan dengan orang tua bahwa mereka akan melakukan pembelajaran tatap muka," tuturnya.
"Jadi tidak mudah. Standarnya sangat ketat dan harus dimonitor dengan pemda sebelum melaksanakan pembelajaran tatap muka," tutup nadiem.( GritHits.Id , jumat, 07/08/2020)
Tak bisa dipungkiri, pendidikan di Indonesia menganut asas dan tujuan pendidikan yang sekuler. Meski sekilas tujuan pendidikan sudah sesuai Islam, sebagaimana tampak dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3.
Yakni bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun, bila ditelaah secara mendalam hakikatnya tidaklah demikian.
Lebih jauh lagi, dalam implementasinya justru menyalahi Islam. Hal ini tampak antara lain dari kurikulum pendidikan yang tak memberi ruang cukup bagi pembentukan kepribadian Islami melalui upaya memahamkan tsaqafah (ilmu-ilmu) Islam. Sementara penguasaan materi seperti sains, matematika dan literasi (merujuk penilaian PISA) jauh lebih dominan.
Masuknya Spiritualitas dalam Kompetensi Inti (KI) di kurikulum nasional pun tak bisa menghilangkan esensi sekularistiknya pendidikan. Ini karena spiritualitas dimaknai secara sekuler sebagaimana Barat memaknai agama.
Tampak di antaranya dalam materi Pendidikan Agama Islam yang mendudukkan Islam sebagaimana agama dalam pandangan Barat bukan sebagai ideologi yang sahih.
Materi ke-Islaman pun lebih menonjolkan teori daripada pembentukan sikap. Walhasil, baik materi ajar maupun guru hingga lingkungan sekolah tak mampu membentuk suasana spiritualitas yang melahirkan ketaatan total kepada Sang Pencipta. Banyaknya problem moral remaja saat ini cukup menjadi bukti sekulernya pendidikan Indonesia.
Pendidikan kapitalistik memang tidak dirancang untuk membentuk kepribadian Islam, tapi justru membentuk pribadi sekuler. Capaian pendidikan lebih mengutamakan aspek kognitif (pengetahuan). Diperparah juga oleh materi kurikulumnya sangat padat, bahkan saling tumpang tindih.
Model evaluasi pembelajaran (ujian dan ulangan) juga menonjolkan aspek nilai. Pada akhirnya, orientasi ekonomi dan dunia kerja menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan.
Islam sebagai agama dan tatanan hidup bernegara yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebenarnya memiliki solusi bagi seluruh problematik manusia. Problem pendidikan saat pandemi pun sangat bisa diselesaikan mengikuti aturan Islam. Bahkan solusi tersebut seharusnya dijalankan dalam kehidupan.
Sebab, dari segi paradigma utama asas, yaitu akidah Islam begitu selaras dengan fitrah insaniah. Terlebih lagi kita meyakini bahwa aturan yang berasal dari Allah pasti baik untuk manusia.
Dalam sistuasi pandemi, Islam –yang terepresentasi dalam sistem Khilafah– menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkiti wabah saja. Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka. Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian.
Sementara itu, di area wabah yang sudah dikunci, negara menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah. Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian cepat serta akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat.
Hal ini dilakukan dengan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokoknya secara langsung termasuk kebutuhan pokok individu seperti pangan, perumahan, dan pakaian. Semua itu akan membuat pemutusan rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir.
Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu galau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah.
Bagaimana dengan kondisi sekarang? Tentu, membuat galau di mana-mana. Bukankah OTG (Orang Tanpa Gejala) yang tampak sehat, mereka juga bisa menyebarkan virus penyakit? Terlebih New Normal Life berlaku dan PSBB sudah tak seketat dulu lagi. Itu semua telah menepis keseriusan masyarakat melakukan physical distancing. Maka daerah hijau pun menjadi tetap rawan.
Inilah dilema yang harus ditanggung masyarakat akibat penerapan kebijakan kapitalistik dalam menangani pandemi. Hitung-hitungan ekonomi lebih dominan dari pada keselamatan atau nyawa manusia.
Demi berjalannya roda ekonomi, tempat wisata dan mal atau pusat perbelanjaan umum dibuka. Dampaknya tentu saja kepada dunia pendidikan atau siswa. Anak-anak yang statusnya tidak bekerja pun bisa terkena dampaknya.
Menerapkan kebijakan belajar tatap muka di zona hijau tentu tetap berisiko. Dalam sistem kapitalis, ia ibarat buah simalakama. Tak belajar di sekolah mereka tak mendapat pendidikan. Sedangkan jika memperhitungkan keselamatan, mereka terdampak tak mendapatkan pendidikan yang layak.
Inilah, mengapa sistem Khilafah menjadi kebutuhan umat sepanjang masa. Sebab, ia menjadi penjaga dari segala kondisi yang mungkin terjadi pada manusia. Terlebih kebutuhan pendidikan, yang tak boleh terjeda oleh wabah. Prosesnya harus terus berjalan.
” Wallahu a'lam bish-shawwab.