Kolaborasi Bio Farma dengan Sinovac Antara Untung Dan Rugi

Oleh: Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Pandemi Covid-19 menjadi sejarah baru dalam dunia kesehatan. Pandemi ini tidak hanya meruntuhkan satu sektor saja, tapi beberapa sektor mengalami keterpurukan. Tentunya hal ini menjadi tantangan bagi pakar kesehatan untuk menemukan vaksin Covid-19 ini dengan segera.

Negara-negara di seluruh dunia berlomba-lomba menemukan vaksin virus Covid-19 ini. Bahkan ada beberapa negara yang sudah memasuki tahap lanjut yaitu uji klinis kepada manusia. Indonesiapun tidak ingin ketinggalan, lewat Bio Farma pemerintah sedangkan mengembangkan vaksin Covid-19 yang dinamai dengan vaksin merah putih yang ditargetkan akan rampung dua tahun lagi. 

Bio Farma juga melakukan kolaborasi Internasional dengan Sinovac perusahaan asal Tiongkok untuk pengembangan vaksin Covid-19. Kolaborasi dengan Sinovac ini dilakukan karena dinilai Sinovac sudah berpengalaman dalam pengembangan vaksin beragam virus yang menjadi epidemi.

Vaksin dari Sinovac Chinapun sudah datang di Indonesia. Dan akan segera dilakukan uji klinis tahap III oleh Bio Farma sebelum bisa diedarkan, dan ditargetkan akan selesai bulan Januari 2021 ini. Uji klinis vaksin Covid-19 dilaksanakan di fakultas Kedokteran UNPAD dengan mengambil contoh sebanyak 1.620 relawan dengan rentang usia antara 18 sampai dengan 59 tahun dengan kriteria-kriteria tertentu.

Dan kolaborasi ini dinilai menguntungkan Indonesia. Menurut Sekretaris  PT Bio Farma Bambang Heriyanto bahwa kerjasama ini akan ada proses transfer teknologi dan kerjasama ini akan dapat memberikan informasi terkait respon vaksin pada penduduk Indonesia (Kompas.com, 05/08/2020).

Dengan adanya kerjasama ini tentunya tidak serta merta diterima sepenuhnya oleh semua orang. Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani Aher menyatakan bahwa uji klinis yang dilakukan oleh Bio Farma terhadap 1.620 relawan ini harus dilakukan secara transparan karena beberapa bulan sebelumnya ditemukan bahwa vaksin yang diproduksi China dibawah standar WHO, “Jangan sampai ada yang dilewatkan. Sebab vaksin yang cacat produksi atau dibawah standar  pasti tidak aman dan membawa resiko tinggi pada penggunanya” tuturnya (WartaEkonomi.com, 03/08/2020).

Tidak sampai disitu, kekhawatiran akan halalnya vaksin juga menjadi polemik, karena Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Dan ini tentunya perlu melibatkan MUI dalam pengembangan vaksin tersebut, sebagaimana MUI menjadi lembaga yang diberi wewenang untuk memberikan label halal oleh pemerintah.

Dengan adanya kerjasama dalam pengembangan vaksin Covid-19, harusnya menjadi perhatian pemerintah, bahwa kerjasama ini dipastikan nantinya tidak menjadi kerjasama yang akan memonopoli kepentingan umum menjadi kepentingan beberapa pihak demi keuntungan semata, sehingga mengabaikan aspek kelayakan dan keamanan, karena fakta yang menyebutkan adanya kasus ketidaklayakan beberapa vaksin yang diproduksi dari negara yang bersangkutan.

Memang sudah menjadi kebiasaan negara yang berideologikan kapitalis, segala sesuatu tidak terlepas dari untung dan rugi. Pengambilan kebijakan dalam pengembangan vaksin pun merujuk pada keuntungan semata.

Tentu berbeda dengan sudut pandang Islam. Pengembangan vaksin yang dilakukan negara tentunya berorientasi  pada kemaslahatan warganya. Karena negara berkewajiban memberikan jaminan kesehatan untuk warganya.  Untuk itu, dalam penanganannya tentunya dengan melibatkan para pakar di bidangnya. 

Negara akan memberikan wewenang kepada para pakar untuk mengambil kebijakan dalam masalah yang memerlukan pendapat mereka. Sebagaimana pernah dicontohkan Umar bin Khathab ra, pada masa kepemimpinannya, Amirul Mukminin merekomendasikan Amr bin Ash ra yang memiliki keilmuan yang lebih dalam mengatasi wabah pada masanya.

Selain itu negara juga memberikan fasilitas-fasilitas yang mendukung untuk pengembangan vaksin seperti penyediaan SDM kesehatan, laboratorium, lembaga riset, industri alat kedokteran dan pembiayaan yang diperlukan untuk pengembangan vaksin.

Hal ini bertujuan agar tidak terjadinya monopoli oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungan, juga dikarenakan negara  merupakan pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kesehatan warganya.

Sebagaimana banyak diriwayatkan pada masa peradaban Islam tercetak para ahli dari kalangan Muslimin di bidang kesehatan, yang menjadi rujukan dunia kedokteran sampai saat ini. Seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhazes), seorang dokter ahli kimia serta filsafat, telah menulis dua ratus judul buku mengenai kedokteran, diantaranya al-Mansuri terdiri atas 10 jilid dan al-Judari wa al-Hasbah (Penyakit cacar dan campak).

Begitupun dengan Ibnu Sina dokter terbesar dalam sejarah peradaban Islam. Ia digelari Medicorum Principal alias Raja diraja Dokter oleh kedokteran Eropa klasik. Dia menulis banyak buku tentang kedokteran seperti al- Qanun fi at-Tibb (Prinsip-prinsip Kedokteran). Dan banyak lagi para ahli pada masa peradaban Islam yang menjadi rujukan dunia kesehatan sampai saat ini.

Negara juga berkewajiban memperhatikan halal tidaknya vaksin yang akan ditemukan nantinya, karna faktor halal dan haram menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan negara. Selain negara memberikan dorongan para pakar menemukan obat untuk wabah, tentunya negara juga akan menghentikan mata rantai penyebaran wabah dengan cara yang pernah dicontohkan dalam Islam.

Sinergi negara dan para pakar dengan tetap pada koridor syara’ inilah yang diperlukan dalam penangan wabah, sehingga tidak akan lagi menambah korban akibat penanganan wabah yang keliru dikarenakan melihat dari segi untung dan rugi semata. Penanganan yang tepat ini hanya didapati dalam negara yang menjadikan Islam sebagai Ideologi. Karena kemaslahatan masyarakat menjadi prioritas negara.

Wallahu a’lam bishshawab
Previous Post Next Post