Oleh : Reni Adelina, A.Md
(Peminat Sejarah Peradaban)
Film Jejak Khilafah Di Nusantara (JKDN) akan tayang perdana pada 1 Muharram 1442 Hijriyah, atau tepatnya Kamis, 20 Agustus 2020. Film ini adalah film sejarah pertama yang mengupas tuntas tentang jejak khilafah dan masuknya Islam di Nusantara.
Khilafah sendiri merupakan syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Sangat jelas, menegakkan khilafah adalah wajib. Khilafah adalah institusi negara yang berideologikan Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah. Hanya dengan tegaknya khilafah maka hukum-hukum Islam di bumi ini akan bisa diterapkan dengan sempurna dan menyeluruh. Sebab hanya dengan penerapan sistem Islam akan mampu menyelesaikan permasalahan umat sampai ke akar-akarnya.
Mustahil kata khilafah dapat dihilangkan. Adapun opini negatif tentang khilafah dikarenakan seseorang tersebut tidak memiliki pemahaman tentang substansi khilafah itu sendiri. Maka dari itu memperjuangkan khilafah bukan tugas suatu ormas Islam tertentu, melainkan memperjuangkannya adalah kewajiban bagi setiap muslim.
Berbicara Islam dan Tanah Melayu
Kerajaan Malaka memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Tanah Melayu. Hadirnya Islam merupakan dampak positif dari ramainya transaksi dagang di Selat Malaka. Malaka merupakan gerbang utama masuknya Islam ke Asia Tenggara. Dari Semenanjung Malaka, Islam bersentuhan dengan bangsa Melayu yang kemudian menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara. Dalam versi lain disebutkan, Islam lebih dahulu dikenal di Samudra Pasai, Aceh, sebelum sampai ke Malaka. Keberadaan Islam di Samudra Pasai merupakan dampak perkembangan penyebaran Islam dari Kerajaan Perlak. Bermula dari Kerajaan Perlak, penyebaran Islam mengalami perkembangan pesat, termasuk di Malaka.
Beberapa sumber sejarah menyebutkan, Islamnya Malaka berangkat dari Kerajaan Samudra Pasai. Parameswara, raja pertama Kerajaan Malaka (1384-1414), beristrikan putri dari Kerajaan Pasai. Setelah menjalin hubungan dengan Pasai, Parameswara memeluk agama Islam. Dengan berislamnya sang sultan, diislamkanlah seluruh kerajaan dan rakyatnya. Islam pun menjadi agama resmi Kerajaan Malaka.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam disebutkan, para pedagang, mubalig, serta guru sufi kemudian datang berbondong-bondong dari Timur Tengah ke bandar Kerajaan Malaka dan Pasai. Dari dua kerajaan tersebut, tersebarlah ajaran Islam ke Pattani (Thailand) serta kawasan semenanjung, seperti Johor, Pahang, dan Perak.
Runtuhnya Kerjaan Malaka, Justru Ajaran Islam Berkembang Pesat
Kerajaan Malaka runtuh pada Agustus 1511 ketika wilayahnya diserang penjajah Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Saat itu, Malaka diperintah Sultan Mahmud Syah. Tapi, runtuhnya Malaka bukan berarti lenyapnya Islam di tanah Melayu. Keruntuhan tersebut justru mendorong penyebaran Islam yang lebih luas.
Para keturunan Sultan Mahmud Shah masih terus berjuang mempertahankan diri, hingga kemudian tersebar ke beberapa wilayah. Riau, Lingga, Johor, dan Pahang menjadi empat negeri utama kelanjutan sejarah kerajaan Islam Melayu. Dahulu Malaka adalah satu kerajaan Islam Melayu yang bergabung dengan wilayah Provinsi Riau yang ada di Nusantara. Lalu dari Provinsi Riau menyebar ke pelosok daerah melalui sultan dan kerajaan.
Membebaskan Malaka dengan Jihad
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani. Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum Muslim setempat.
Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia. Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.
Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul untuk menghadap ‘Sultan Rum’. Utusan ini bernama Husain Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973/1564.
Jihad dan Kerjasama Khalifah dan Gubernurnya di Aceh dalam Membebaskan Malaka.
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi. Dalam surat ini Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini melaporkan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir.
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.
Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 979/1571. Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.
Dengan demikian, bahwa masuknya Islam di Nusantara tidak terlepas dari andil dan bantuan negara khilafah. Sehingga Islam dapat kita rasakan sampai ke pelosok daerah di Nusantara. Justru dengan Islam, semangat yang terjalin adalah bersandar pada aqidah dan ukhuwah Islam. Bukan bersandar pada rasa kebangsaan dan sekat nasionalisme.
Dari pemaparan di atas yang dikutip dari beberapa refrensi, jelas sekali tugas negara bukan hanya berbicara kerja sama antar negara yang berkaitan ekonomi, namun negara juga mempunyai kewajiban berdakwah, mendakwahkan Islam di dalam negeri dan ke luar negeri. Hal ini bisa dilaksanakan jika penguasa mampu menerapkam khilafah. Sebab khilafah adalah ajaran Islam, yang kita wajib memperjuangkannya. Kehebatan khalifah atau pemimpin dalam khilafah sudah sangat terbukti. Maka dari itu sangatlah tepat jika kita mampu mengambil teladannya. Menerapkan dalam kehidupan individu maupun negara. Sekali lagi, Nusantara banyak berhutang kepada khilafah.