Khalifatul Khamis, Jejak Khilafah yang Historis

Oleh: Siti Hartanti 
(Aktivis Dakwah Kampus)

Siapa tak kenal negeri Khalifatul Khamis. Wilayah yang juga dijuluki sebagai Negeri Seribu Benteng ini kerapkali dikunjungi wisatawan maupun wartawan. Bagaimana tidak, negeri yang identik dengan simbol simbol keislaman ini tak hanya memiliki keindahan dan kekayaan alam namun lebih dari itu jejak jejak keislaman begitu kental didalamnya. 

Sebut saja, Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar.

Uniknya, menurut Direktur PAMONG Institute, Wahyudi Al Maroky, benteng yang dibangun oleh Sultan ketiga hingga berlanjut Sultan ke- 6 ini merupakan gambaran kehebatan pemimpin saat itu. Tidak hanya mewariskan karya yang membanggakan, namun lebih mengangumkannya lagi, para sultan ini tidak meninggalkan beban hutang bagi generasi setelahnya, sebagaimana para pemimpin pemimpin di era kapitalisme-sekuler hari ini.

Antropolog Unhas, Dr. Tasrifin Tahara menegaskan keberadaan Benteng Keraton merupakan bentuk imperium kebesaran, ada peradaban yang ditinggalkan. Jika tanpa bukti, orang tidak percaya. Benteng yang hebat ini menggambar Buton sebagai negeri maritim yang besar. 

Lebih jauh dari itu, kita tentu bertanya tanya. Ada apa dibalik kekuatan dan kehebatan negeri seribu benteng ini?

Kehebatan dan kekuatan sebuah negeri tergantung siapa yang memimpin dan dengan apa ia memimpin. Sesuai namanya, negeri khalifatul khamis ini sangatlah erat dengan Sistem Pemerintahan Islam. Khilafah.

Berdasarkan catatan sejarah, Ketua Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Buton, Hasaruddin, menerangkan, seorang ulama bernama Syekh Jalaluddin al- Qubra memperkenalkan Islam kepada masyarakat Buton pada tahun 1412 Masehi. Dakwahnya diyakini sebagai gelombang pertama yang memperkenalkan Islam ke wilayah Buton. 
Selanjutnya, dimasa raja ke-6 Raja Lakilaponto, seorang utusan Khilafah Ustmaniyyah yang menyiarkan dakwah ke wilayah Timur, khususnya Nusantara, ialah Syarif Arab Syeikh Abdul Wahid datang melakukan kontak kepada Raja Lakilaponto. 

Diketahui, kedatangan kepada Raja Lakilaponto ini merupakan kedua kalinya setelah sebelumnya pernah datang pada tahun 1527 H. Menurut beberapa referensi sejarah, kedatangan kedua Syeikh Abdul Wahid ini adalah tak hanya tuk menguatkan ikrar syahadat Raja Lakilaponto, namun juga memahamkan tentang sistem pemerintahan islam yang menerapkan syariat islam secara kaffah. 

Sebagai penguat keterikatan erat Khilafah dan Kesultanan Buton ini, ternyata utusan kedatangan Syarif Arab di Buton ini diluar jalur jalur rencana dakwah Khilafah Utsmaniyah di Nusantara. Bila masuknya utusan utusan Utsmaniyyah di Nusantara terlebih dahulu melalui jalur Aceh baru mengikuti wilayah lainnya, maka beda dengan Buton. Syarif Arab utusan Utsmaniyyah  berangkat dari Selat Malaka langsung menuju Buton. 

Dengan dakwah inilah, Raja Lakilaponto masuk islam dan berganti nama menjadi Sultan Murhum Qaimuddin. Transformasi pun dilakukan.  Sistem kerajaan yang menerapkan hukum yang absolut pun berganti menjadi kesultanan yang hanya mengadopsi syariat islam secara kaffah, bukan hanya dalam lingkup kesultanan namun mencakup seluruh wilayah jangkauannya. 

Raja Lakilaponto dilantik menjadi sultan bergelar Sultan Murhum Qaimuddin khalifatul khamis, karena menjalankan islam secara totalitas. Bahkan pengangkatan sultan baru tidak dilakukan melalui jalur nasab, melainkan dipilih, dilantik oleh  Dewan Kesultanan bahkan calon calon pemimpin telah dididik dan dipersiapkan sejak dini melalui "Zawiyyah"
Tak hanya itu, UU martabat 7, prinsip hidup Kesultanan Buton, adanya lembaga penopang sistem pemerintahan islam yang menggabungkan antara agama dan kekuasaan politik berikut penerapan sistem islam secara totalitas  bahkan dalam skala berpakaian pun tak lepas dari islam. Gelora jihad melawan penjajah Belanda (VOC) ditanah Buton pun menjadi bukti jejak jejak khilafah secara historis. Bukti bukti itu masih ada hari ini. 

Khilafah, Inspirator Jihad
Supremasi politik Khilafah Utsmaniyah atas kaum Muslim sedunia tentu diakui pula oleh kaum Muslim Nusantara yang berada dalam jajahan Belanda. Goenawan, Ketua Sarekat Islam afdeling (cabang) Batavia yang merangkap kepala redaktur salah satu koran terbitan Sarekat Islam, Pantjaran Warta, dalam artikel yang ia tulis pada 10 November 1914, menulis: “Di seloeroeh doenia hanja Turkyelah jang masih tinggal merdika, dari sebab Turkye yang memegang wasiat Nabi kita. Begitoelah orang moeslimin memandang Turkye sebagai keradjaan jang melindoenginja dalam laoetan fitnah dan perdoehakaan dari fehak moesoehnja. Begitulah perasa’annja kebanjakan orang orang moeslimin di tanah-tanah jang ada dalam genggamannja kekoeasa’annja Europa...”

Sungguh, pemerintahan Islam yang bernama Khilafah pernah memainkan perannya di negeri kita. Rentang jarak pusat Khilafah yang jauh di Bagdad, Kairo, atau Istanbul, tidak menyurutkan kepedulian para Khalifah dan kaum Muslim di sana untuk Nusantara. Betapa banyak jejak Khilafah yang masih berbekas di berbagai pulau di Asia Tenggara. Tentu, jejak yang paling jelas dan nyata dari peran Khilafah di masa lalu adalah keislaman kita. Dengan pengiriman para da’i yang menyebarkan Islam dan pasukan militer yang dikirim Khilafah ke Nusantara untuk mengusir penjajah Eropa, kita bisa merasakan nikmatnya Islam dan persaudaraan umat Islam yang tak mengenal sekat kebangsaan.

Karenanya, umat seharusnya tidak anti terhadap Khilafah. Pun tidak menganggap Khilafah tidak memiliki andil bagi berdirinya negeri ini. Karena kunci daripada perjuangan nenek moyang kita adalah islam. Khilafah memiliki jasa yang sangat besar bagi bangsa ini. 

Sejarah didistorsi
Syeikh Taqiyuddin an Nabhani mengingatkan kepada kita untuk tidak mengambil sejarah dari musuh musuh islam, terutama mereka yang sangat membenci islam. (Nizhamul Islam hal. 90)
Nasehat dari Syeikh Taqiyuddin an Nabhani ini benar adanya. Banyak dari sejarah kita hari ini didistorsi. Peranan islam dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini direduksi. Bagimana tidak, generasi hari ini tidak lagi bangga pada islam, tidak lagi menghormati ulama bahkan anti kepada Khilafah. Islam berikut konsep dan ajarannya seperti jihad, sistem hukum islam beserta khilafah seolah menjadi momok menakutkan. Khilafah dianggap ahistoris, dikatakan sama sekali tidak ada relasinya dengan Nusantara. 
Ustadz Ismail Yusanto dalam diskusi bersama para sejarawan mengatakan bila kita melihat secara cemerlang akan kita temukan ada upaya tersistematis untuk mengubur dan mengaburkan peranan Islam di Nusantara. 

Jalan panjang perjuangan bangsa Indonesia seolah tidak bersentuhan dengan Islam, apalagi Khilafah. Pejuang kemerdekaan diklaim sepihak oleh kaum nasionalis, seolah tak ada peran ulama dan kaum muslimin didalamnya. 

Saatnya umat kembali bersatu dalam naungan Khilafah. Menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan serta turut mengambil peran dalam mewujudkan bisyaroh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allahu Akbar.
Previous Post Next Post