Oleh : Maretika Handrayani, S.P
(Aktivis Dakwah Islam, Jambi)
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang tak lupa akar sejarahnya. Memahami sejarah dengan benar adalah perkara yang wajib dilakukan agar bangsa tersebut mengenal jati dirinya. Apalagi bicara Islam sebagai agama dan sistem hidup yang menyeluruh dan sempurna (Syamil wa kamil), urgensitas mengetahui sejarah Islam tidak berhenti di tataran sejarah saja, tapi sepaket dengan memahami Aqidah, syari’ah, dakwah hingga penerapan Khilafah. Layaknya kejahatan memisahkan Ibu kandung dari anak-anaknya, upaya mengaburkan dan mengubur sejarah Islam dari kaum Muslimin adalah sebuah kejahatan dan kezaliman yang tidak boleh dibiarkan.
Upaya pengaburan dan penguburan sejarah masuknya Islam di Nusantara telah dilakukan secara massif dan sistematis dalam tatanan kehidupan hari ini. Lewat mata pelajaran sejarah generasi Muslim diajarkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara murni melalui jalur perdagangan yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat. Lalu terjadi asimilasi perkawinan dengan penduduk pribumi hingga Islam dianut sebagian besar oleh rakyat di negeri ini. Di sisi lain umat digiring pada fitnah yang menganggap institusi penerap syariat Islam (Khilafah) sesat atau radikal. Dengan kejinya, Khilafah disejajarkan dengan isme-isme atau paham-paham barat yang bersumber dari akal manusia yang terbatas, termasuk di dalamnya komunisme. Mata rantai sejarah Islam di Nusantara diputus secara terorganisir dari generasi ke generasi. Bahkan upaya menghilangkan kata Khilafah dari benak kaum muslimin masih gencar dilakukan.
Melalui film Jejak Khilafah di Nusantara yang digarap oleh para sejarawan-sejarawan muda Muslim ditayangkan langsung secara daring bertepatan dengan tahun baru Islam 1 Muharram 1442H atau pada hari Kamis (20/8/2020), mengungkapkan bahwa ada jalinan Nusantara dengan Khilafah Islamiyyah yag merupakan negara Superpower saat itu. Para ahli sejarah mengakui sesungguhnya beberapa wilayah Indonesia pernah menjadi bagian dari Khilafah dan kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan riil umat Islam yang mengemban misi dakwah ke seluruh penjuru alam.
Film dokumenter tersebut menggambarkan secara rinci, ketika Kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara yang masih beragama Hindu sekalipun mengakui kebesaran Khilafah.
Dibuktikan dari berbagai literatur dan peninggalan sejarah jalinan Kerajaan Sriwijaya dengan Kekhilafahan Umayyah di Damaskus melalui surat-menyurat Maharaja Srindravarman kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Khilafah Bani Umayah pada 100 H (718 M). Berupa pengakuan kebesaran Khilafah dan meminta diutusnya Da’i yang dapat mengajarkan hukum-hukum Islam kepadanya.
Jejak Khilafah juga berada di Aceh. Dengan ditemukan makam tiga orang keturunan Bani Abasiyyah di Aceh, yakni Abdullah bin Muhammad bin Abdul Qadir beserta istri dan anaknya. Tergambar pula bagaimana kerajaan Islam di Aceh, yakni Samudera Pasai berbai’at kepada Khalifah Bani Abasiyyah dan mengemban dakwah di Nusantara/Asia Tenggara. Salah satunya mengirimkan Maulana Malik Ibrahim atau yang kita kenal dengan Sunan Gresik untuk mendakwahkan Islam di Majapahit. Sunan Gresik dan para wali lainnya mendapatkan sokongan dari Samudera Pasai untuk mendakwahkan Islam di Nusantara. Dakwah para wali menyebar ke daerah-daerah seperti Palembang, Cirebon, Jipang bahkan Mataram.
Nusantara sedang bergejolak karena datangnya Portugis ke Nusantara. Armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Mendengar kejahatan Portugis di Nusantara, Sultan Sulayman Al-Qanuni menegaskan peperangan terbuka terhadap Portugis di Lisabon. Setelah Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat 1566 M, jabatan Khalifah digantikan dengan Sultan Selim II. Sultan Selim II segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh.
Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini diperintahkan Khalifah untuk berada di Aceh selama masih dibutuhkan Sultan Aceh. Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, seluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, Malaka.
Laksamana Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugis di Samudra Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan Kekhalifahan di Istanbul, Turki.
Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau yang disebut Syamatirah (Sumatra). Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatra. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”
Kekuatan Islam di Aceh masih ada dengan keberadaan Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah yang prestasinya tercatat dalam kitab yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Zainuddin asy Syafi’i murid dari Ibnu Hajar Al Haithami. Di makam Sultan Ali Mughayat Syah tertulis Al Ghazi Fil Bari wal Bahri yangmana gelar Al Ghazi erat kaitannya dengan Khilafah Utsmaniyyah. Di Kampung Pandai juga ditemukan makam prajurit Khilafah Utsmaniyyah dan juga keping dinar dan dirham Turki Utsmani.
Jejak Khilafah di Nusantara adalah fakta sejarah yang tak bisa ditutup-tutupi lagi. Bahwa masuknya Islam ke negeri ini adalah berkat dakwah para Da’i yang diutus oleh Khilafah kepada sulthan dan raja-raja di Nusantara. Khilafah juga telah menoreh sejarah mulia melalui sikap rill nya membantu para sultan melawan penjajahan Eropa di negeri ini.
Maka sebuah kedurhakaan bila rakyat negeri ini memfitnah dan menolak Khilafah. Bahkan menghalangi tersampaikannya sejarah yang benar adalah bentuk kekalahan intelektual. Selain karena Nusantara telah berhutang pada Khilafah, Khilafah juga bagian dari ajaran Islam yang wajib diterapkan.