Oleh : Dewi Rahayu Cahyaningrum
Komunitas Muslimah Rindu Jannah Jember
Pandemi Corona atau Covid-19 masih saja melanda dunia tak terkecuali Indonesia dan masih belum dapat dikatakan akan berakhir, melihat penyebaran Covid-19 yang begitu menggila dan amat sangat luar biasa dahsyat.
Wabah atau pandemi Covid-19 tidak hanya mempengaruhi dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, tetapi juga amat sangat mempengaruhi dalam bidang pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar.
Di masa pandemi kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam pendidikan adalah menggunakan sistem daring atau sekolah online atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk menghindari penyebaran virus Covid-19 dan mencegah terjadinya klaster baru.
Pemerintah mengijinkan untuk mempergunakan dana BOS untuk keperluan kuota internet dalam proses belajar mengajar Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Tetapi masalah yang dihadapi tidak hanya pada kuota internet saja, masalah yang muncul juga karena tidak adanya jaringan internet yang mana pemerintah masih belum bisa memberikan solusinya.
Dengan adanya masalah tersebut, tidak seberapa lama kemudian dari kebijakan belajar mengajar menggunakan proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berganti, dan pemerintah mengambil kebijakan sekolah tatap muka yang menjadi tuntutan dan harapan banyak phak agar tercapai target pembelajaran dan menghilangkan kendala Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Mendikbud Nadiem Kariem mengumumkan bahwa untuk SMK maupun perguruan tinggi di semua tempat boleh melakukan praktek disekolah, yaitu pembelajaran produktif dengan menetapkan protokol kesehatan. Khususnya yang harus menggunakan mesin dan laboratorium. Sedangkan untuk jenjang yang lain seperti SD, SMP, dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pembelajaran tatap muka juga dapat dilakukan (Gridhits, Jumat 7 Agustus 2020).
Sayang beribu sayang pemerintah merespon kebijakan dengan cara yang sporadis, tidak terarah dan memenuhi desakan publik tanpa diiringi persiapan memadai supaya resiko adanya bahaya bisa diminimalisir.
Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Arist Sirait bahwa keputusan dari Kemendikbud belum tepat waktunya, mengingat resiko untuk tertular masih ada, terlebih zona kuning. Beliau menegaskan juga, bukan karena tidak percaya dengan protokol kesehatan yang digalakkan pemerintah dan pihak sekolah, tetapi beliau lebih melihat dari sudut pandang siswa, khususnya untuk sekolah dasar yang memiliki sifat masih kekanak-kanakan.
“Nanti bisa mereka tidak tahu apa yang akan terjadi karena ada temannya yang maskernya lebih baik, pinjam-pinjaman, itu dunia anak. Siapa yang menjamin itu? Guru, enggak mungkin, terbatas,“ tegas Sirait (Tribunnews.com, Sabtu, 8 Agustus 2020).
Kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah berubah-ubah sehingga membuat rakyat menjadi kebingungan yang tidak berkesudahan karena kebolehan adanya tatap muka di zona kuning-hijau dan pemerintah juga mewacanakan kurikulum darurat selama Belajar Dari Rumah (BDR).
Dengan melihat semua fakta kebijakan diatas menunjukkan, bahwa betapa lemahnya pemerintah yang menerapkan sistem kapitalis sekuler dalam mengatasi masalah pendidikan akibat tersanderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi dan tidak adanya jaminan pendidikan sebagai kebutuhan publik yang dijamin penyelenggarannya oleh negara.
*Pendidikan dalam Islam jika pandemi terjadi*
Ilmu menempati tempat yang agung dalam Islam. Islampun mengajarkan adab menyebarkan ilmu. Tentu agar kebaikan dan keberkahannya bisa diraih secara optimal. Salah satunya sebagaimana yang ditegaskan dalam Min Muqawwimat an Nafsiyyah al Islamiyyah “Senantiasa membangkitkan harapan dan tidak membuat putus asa, baik dari rahmat Allah, pertolonganNya, atau dari kelapangan-Nya”.
Membangkitkan harapan adalah dengan hal-hal yang bisa menentramkan orang yang diseru dan mempengaruhi jiwanya. Maksudnya ini tidak bisa diraih kecuali dengan menyisipkan pesan-pesan mendalam Al Qur’an dan as Sunnah. Hal itu bisa didukung dengan mengaitkan nas-nas Al Qur’an dan as Sunnah dengan beragam fenomena yang terjadi di tengan-tengah masyarakat khususnya di masa seperti sekarang yang pandemi Covid-19.
Tatkala terjadi krisis penghidupan diikuti dengan berbagai bencana alam termasuk pandemi sebagai akibat jauhnya masyarakat dari syariah Islam, maka sistem pendidikan Islam memberikan jalan keluarnya:
*Pertama*, pendidikan haruslah diselenggarakan dengan landasan akidah Islam. Sekolah dan guru bahkan orang tua haruslah mendidik karena dorongan iman, yaitu melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Pendidikan pun harus ditujukan untuk menghasilkan output pendidikan yang berkepribadian Islam (pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan Islam). Artinya, peserta didik dipahamkan tsaqafah (ilmu-ilmu) ke-Islaman, di samping diajarkan ilmu-ilmu terapan (kimia, fisika, teknik, kedokteran, dan lain-lain) serta kecakapan hidup.
Di masa pandemi, landasan dan tujuan ini harus tetap dikuatkan. Terlebih, sejatinya manusia amat lemah untuk bisa mendapatkan jalan keluar dari pandemi, melainkan jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkenan memberi kemudahan. Maka pendidikan haruslah menguatkan takwa berupa ketundukan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala secara totalitas.
*Kedua*, kurikulum haruslah disusun mengikuti tujuan sahih tersebut. Negara harus menyusun materi pengajaran secara lengkap dan efektif sesuai jenjang usia. Bobot materi tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu terapan (umum) harus seimbang. Ilmu-ilmu yang mengasah kecakapan hidup pun harus selalu menyertai dalam rangka membentuk kepribadian Islam.
Apalagi di masa pandemi. Belajar, baik dengan tatap muka maupun jarak jauh, tetaplah akan dilakukan dengan senang hati. Guru akan berusaha kreatif menyajikan kurikulum secara baik. Siswa pun siap menerima ilmu. Inilah yang membedakan dengan proses pembelajaran selama ini. Kurikulum yang sangat padat serta nihil dari aspek ruhiyah tentu dirasakan sebagai beban.
*Ketiga*, metode pengajarannya harus sahih. Sejatinya, pendidikan tidak diselenggarakan untuk kemewahan (kekayaan) intelektual semata. Namun, untuk membentuk perilaku. Hal ini tentu sangat tergantung pada metode penyampaian ilmu.
Dalam Islam, metode pengajaran yang sahih berupa proses penyampaian pemikiran oleh guru dan penerimaan oleh siswa. Di dalamnya terjadi proses berpikir. Yakni, adanya penggambaran atas fakta (ilmu yang disampaikan) yang diberikan guru kepada siswa. Inilah yang dimaksud dengan proses penerimaan yang disertai proses berpikir (talqiyan fikriyan) yang berhasil memengaruhi perilaku.
Jadi, standar keberhasilan belajar bukanlah nilai. Namun, perilaku dan kemampuan memahami ilmu untuk diamalkan. Ini pula yang membedakan asesmen belajar dalam sistem pendidikan saat ini. Sehingga, setiap guru harus memiliki kecakapan dalam metode pengajaran tersebut. Dalam kondisi pandemi prinsip ini tetap harus menjadi perhatian.
*Keempat*, menggunakan teknik dan sarana pengajaran yang sahih. Belajar tatap muka tentu berbeda tekniknya dengan jarak jauh. Teknologi informasi bisa dimanfaatkan untuk merealisasikan target pendidikan. Yang penting, teknik apa pun tidak boleh mengabaikan metode talqiyan fikriyan. Karenanya, yang dibutuhkan adalah kesabaran dan ketekunan guru dalam proses pengajaran, baik tatap muka maupun jarak jauh. Ketika tanggung jawab selalu diemban oleh setiap pendidik, maka proses pendidikan akan tetap produktif dengan segala dinamikanya.
*Kelima*, dukungan langsung dan sepenuhnya dari negara pada semua aspek termasuk anggaran. Hal ini agar setiap individu masyarakat terjamin hak pendidikannya pada semua kegiatan pembelajaran. Situasi pandemi memang lebih menguras tenaga dan biaya. Karenanya, harus diantisipasi oleh negara dengan memberikan model pembiayaan berbasis baitulmal. Baitulmal didesain untuk memiliki kemampuan finansial terbaik bagi berjalannya fungsi negara pada kondisi apapun.
Wallahua’lam Bishshawab.