Jejak Khilafah di Nusantara, Saatnya Umat Membuka Mata



Oleh: Sumiati | Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif 

Dilansir oleh Trendopini.com, tidak semata-mata Sukarno dulu mengatakan jas merah (jangan lupakan sejarah). Karena sejarah akan menjadi pelajaran berharga bagi sebuah bangsa. Termasuk tentang  kebenaran terkait peran Islam di negeri ini. Ada buku sejarah yang cukup komprehensif terkait peran Islam di Indonesia, yakni Api Sejarah I dan II yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara.

Buku Api Sejarah akan banyak membangunkan kesadaran bangsa ini bahkan akan bisa mengubah mindset atas negeri ini di masa lalu. Sejarah bangsa ini nampaknya harus dilakukan rewriting dan retelling. Nicko Pandawa dengan skripsinya yang setebal 500 halaman tentu merupakan karya ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai usaha rewriting melengkapi Api Sejarah. Sementara pemutaran film Jejak Khilafah di Nusantara adalah sebagai upaya retelling.

Menurut Karl Lamprecht, dalam bukunya What is History, Five Lectures on the Modern Science of History, New York: The Macmillan Company, 1905, halaman.3 menulis bahwa sejarah merupakan sains sosio psikologi. Maksudnya dalam penulisan sejarah sangat dipengaruhi oleh tendensi dan preferensi penulisnya. Itulah mengapa sejarahnya sama, namun sudut pandangnya sering kali berbeda antara satu penulis dengan penulis yang lain.

Islam masuk Nusantara (Indonesia) pada abad ke 7 Hijriyah, dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke 7. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Uka Tjandrasasmita, Kedatangan dan penyebaran Islam).

Meski ada literatur yang menyebutkan Islam masuk Asia Tenggara pada abad 9 atau 13, namun menurut R.K.H Abdullah bin Nuh, TW Arnold, BH Burger dan Prajudi lebih kuat pada abad ke 7 melalui jalur perdagangan saudagar Arab. Namun berkembang menjadi institusi politik pada abad ke 9, dan abad ke 13 kekuatan politik Islam menjadi sangat kuat. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. TW Arnold, The Preaching of Islam. BH Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomi sosiologis Indonesia).

Bahkan Islam telah hadir di Nusantara jauh sebelum Indonesia lahir. Islam mampu mempengaruhi institusi politik yang ada saat itu. Hal ini nampak pada tahun 100 H (718 M). Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan dai yang mampu menjelaskan Islam. Ada jejak kuat antara khilafah dan nusantara yang tak mungkin dihapus. (Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia 2007 : 2).

Isi surat Raja Sriwijaya: Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang cucunya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kabur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak. Namun sekedar tanda persahabatan. Saya ingin anda mengirimkan kepada saya seorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.

Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam. Sayang, pada tahun 730 M, Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha. (Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama, 2005 : 27-29).

Beberapa institusi politik Islam di Nusantara, diantaranya adalah:
Kesultanan Islam Peureulak, Sumatera, berdiri 1 Muharam 225 H/12 November 839 M. Kerajaan Islam Ternate Maluku, berdiri tahun 1440 M dengan Raja Muslim Bayang Ullah, menerapkan Islam setelah menjadi Kesultanan Ternate dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin 1486 M. Kerajaan Islam Tidore dan Bacan Maluku, banyak kepala suku Papua yang masuk Islam. Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjung Pura, Menpawah, Sintang dan Kutai. Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Palembang.

Institusi politik Islam lainnya yang berdiri di Nusantara adalah sebagai berikut:
Kesultanan Demak dan dilanjutkan kesultanan Jipang, kesultanan Pajang, kesultanan Mataram di Jawa. Kesultanan Banten dan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Di Nusa tenggara, penerapan Islam dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima.

Kelak ketika penjajah seperti Jepang, Inggris, Portugis, Belanda dan lainnya dengan membawa misi glory, gospel dan gold, maka umat Islamlah yang kemudian berdiri tegak terdepan melawan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari adalah jejak perjuangan Islam yang tak mungkin bisa dihapus.

Para ulama dan kyai serta pejuang-pejuang muslim bahkan muslimah turut andil dalam pergolakan melawan penjajah, khususnya penjajahan Belanda yang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan penjajahan Portugis atau Inggris. Di berbagai daerah di nusantara terjadi perlawanan oleh para ulama dan santri. Seperti misalnya peperangan di Maluku, Makassar, Banjar, Minangkabau, Jawa dan Aceh, semuanya dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim setempat, baik ulama maupun bangsawan.

Oleh karena itu, khilafah sebagai institusi Islam skala dunia telah sangat lama memiliki jejak keislaman di nusantara. Begitu banyak bukti dan peninggalan untuk sejarah ini, begitupun kaitan antara Islam dengan kemerdekaan Indonesia bagaikan setali mata uang, tak mungkin bisa dipisahkan. Islamlah agama yang anti penjajahan di negeri ini, maka sangatlah mustahil menghapus jejak Islam dalam mengukir kemerdekaan di negeri ini.

Sungguh memprihatinkan saat ini, saat sejarah dilupakan. Masyarakat Indonesia tidak paham bagaimana memaknai kemerdekaan. Akibat penjajahan kapitalis ini pula, masyarakat tidak tahu siapa yang paling berjasa dalam kemerdekaan Indonesia, efek dari umat Islam menutup mata dari sejarah, enggan membaca serta menggali apa yang terjadi di negeri ini dahulu kala. Tampak jelas keberhasilan penjajah membuat malas umat Islam. Dikarenakan terus menerus pemahaman umat dicocoki dengan pemahaman kapitalis, masyarakat dibuat hanya senang mendengar bualan-bualan para antek yang malas dan bermental pesuruh. Maka tidak dapat dipungkiri, beginilah akhirnya nasib bangsa Indonesia, diliputi kebohongan yang membodohkan. 

Seharusnya di hari kemerdekaan beberapa hari kemarin, menjadi momen besar untuk menggali sejarah kemuliaan di negeri ini. Bukan hanya sekedar ritual lomba tarik tambang, panjat pinang, pawai, berseragam, dan lain-lain. Hanya sekedar seremonial dibalut kelalaian akan makna kemerdekaan sesungguhnya. Dibalik itu semua umat Islam harusnya memiliki aktivitas yang lebih berharga dan bermanfaat demi mendapatkan nilai merdeka hakiki dari penjajahan yang sebenarnya tidak tampak oleh masyarakat pada umumnya. Hanya orang yang mampu berpikir mustanir (cemerlang) saja yang mampu melihat sesuatu dibalik dinding. Sehingga tidak dapat dibohongi musuh dengan sekedar dipikat dengan sesuatu yang kecil, yang bersifat sementara. Tetapi dibalik itu semua bangsa ini dihancurkan secara perlahan, bahkan mereka tidak merasa jika saat ini sedang dibunuh perlahan.

Demikianlah akibat tidak adanya khilafah, penjajahan gaya baru yang kini menghegemoni negeri ini oleh Barat Amerika dan Timur China hanya bisa dilawan dengan spirit keislaman. Namun sayang, khilafah tak lagi ada, maka hampir seluruh negeri-negeri muslim justru kini dalam cengkeraman penjajahan asing dan aseng.
Menegakkan kembali institusi Islam khilafah adalah jalan satu-satunya untuk mengembalikan kemerdekaan negeri-negeri muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Dengan paparan terkait sejarah yang panjang. Semua itu tidak pernah lepas dari sejarah dan keberadaan khilafah, serta menunjukkan bahwa Islam menjadi kunci perjuangan melawan penjajah. Umat Islam harus menggali kembali kebenaran jejak khilafah di Nusantara. Karena khilafah merupakan kebutuhan bagi umat demi perubahan hakiki. Begitupun saat ini geliat masyarakat terkait perjuangan penegakkan khilafah kian bersinar. Satu persatu cengkeraman barat dalam benak kaum muslim lepas. Dengan hadirnya pemahaman yang tepat dan membangkitkan.  

"Bagi seorang mufassir Sayyid Qutb mengatakan bahwa sejarah adalah interpretasi peristiwa yang memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat. Sejarah adalah interpretasi. Sejarah adalah pelajaran. Bukankah kita diberikan akal oleh Allah untuk senantiasa merenungkan berbagai fakta".

"Begitu pun menurut Imam As Suyuthi mendeskripsikan sejarah sebagai pertarungan potensi kejahatan manusia dan potensi kebaikan manusia, keduanya akan dicatat sebagai sejarah. Dalam deretan pertarungan antara haq dan bathil, ambil peran pejuang kebenaran jangan berperan sebagai pecundang". Saat kita kembali kokohkan barisan, demi kemenangan agung yang menanti dijemput oleh semangat jihad. 

Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post