Oleh: Komariah Dahlan S. S
Kata "Khilafah" kini tengah bergema kembali. Tidak hanya di sekup nasional, kata "Khilafah" kian menggema di seantero bumi. Secara umum, khilafah diartikan sebagai sistem pemerintahan Islam. Kini, teriring berita gembira bahwa ide khilafah sebagai ajaran Islam terus bergaung mendunia, diterima umat dan diperjuangkan bersama, ada saja berita menyedihkan yang mengiringi gaung kata "Khilafah".
Lihat saja, berita tentang penolakan ide khilafah oleh rezim sekuler Turki. Paska pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai masjid setelah bertahun lamanya difungsikan sebagai museum, dikala kegembiraan dan optimisme umat Islam akan kebangkitan Islam meninggi, kini rezim sekuler Turki kembali menunjukkan wajah asli sekulernya dengan menuntut majalah Gerçek Hayat atas publikasi seruan majalah ini untuk membangkitkan kembali kekhalifahan Islam. Asosiasi Bar Ankara mengajukan pengaduan pidana terhadap Gerçek Hayat atas tuduhan menghasut orang-orang untuk melakukan pemberontakan bersenjata melawan Republik Turki, menghasut masyarakat membentuk kebencian dan permusuhan dan menghasut orang untuk tidak mematuhi hukum (Republika.co.id, 28 Juli 2020). Hal ini senada dengan penegasan juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang pada Senin (27/7/2020) meyakinkan publik bahwa Turki akan tetap menjadi republik sekuler (Okezone.com, 28 Juli 2020).
Berbicara tentang Turki, masyarakat, dan kebudayaan Islam yang menyelubunginya tentulah kita faham bahwa Turki memiliki hubungan erat dengan Islam. Turki pernah mengalami masa kejayaan peradaban kala berada dibawah kekuasaan Islam, tepatnya di bawah Khilafah Islam Utsmani yang pada zamannya ialah negara adidaya bak Amerika Serikat saat ini. Istanbul, salah satu kota di Turki bahkan pernah menjadi ibukota dari Khilafah Islam Utsmani. Setelah runtuhnya Khilafah Islam Utsmani, berdirilah Republik Turki. Di bawah komando Mustafa Kemal Ataturk yang dikenal sebagai "Bapak Turki Modern", berubahlah Turki menjadi Republik Turki dengan setiap identitas sekulernya. Mulai saat itu aturan Islam disingkirkan sama sekali dari kehidupan publik, terlebih dari kehidupan bernegara. Sebagai gantinya, Ataturk menjadikan segala yang berasal dari Barat sebagai kiblat. Sampai-sampai azan berbahasa Arab yang berkumandang diubah menjadi berbahasa Turki. Hagia Sophia masjid megah hasil penaklukan Sulthan Muhammad Al Fatih di masa kekhilafahan Turki Utsmani lantas dialihfungsikan menjadi museum. Hingga kini, seluruh perangkat sistem pemerintahan Turki jauh dari nilai-nilai Islam. Meski sebagian tatanan masyarakat Turki lebih terlihat Islami beberapa waktu kini, namun sejatinya segala politik pemerintahan Turki tetap sekuler adanya.
Sekulerisme yang diartikan sebagai ide yang memisahkan agama dari kehidupan memang tidak pernah rela jika Islam agama yang mulia ini bangkit. Pertentangan sekulerisme dengan Islam sangat besar bahkan dari akarnya. Islam diturunkan oleh Allah Sang Khalik. Islam mengajarkan keimanan kepada Allah dan setiap aturan yang diturunkanNya. Karenanya tidak ada pilihan lain bagi seorang mukmin kecuali menerima seperangkat aturan kehidupan tersebut lantas menerapkannya di seluruh lini kehidupan, termasuk dalam hal bernegara. Bertolak belakang dengan Islam, sekulerisme lahir dari ide fikir manusia. Ide ini menuntut kita menyingirkan aturan-aturan agama (Islam) dari kehidupan terlebih dalam hal bernegara. Sembari itu, sekulerisme menuntut manusia membuat aturan bagi kehidupannya termasuk dalam hal bernegara.
Nyatalah sekulerisme bertentangan secara diametral dengan Islam. Karenanya rezim sekuler Turki tidak akan memberi kesempatan untuk Islam bangkit menggantikan kekuasaannya. Euforia difungsikan kembali Hagia Sophia sebagai masjid oleh rezim ini tidak lebih dari sekedar mengambil simpati mayoritas rakyat Turki yang masih memiliki perasaan Islam. Selebihnya, jika hal ini dianggap sebagai jalan untuk bangkitnya kekhilafahan Islam, maka bersiaplah untuk kecewa.
Wallahu a'lam bisshowab