Oleh: Reski Pratika
(Aktivis Intelektual Muslimah)
Setiap memasuki bulan Agustus, seantero rakyat Indonesia diminta untuk memasang umbul-umbul untuk memeriahkan dan menandakan bahwa dibulan tersebut secara hukum Indonesia lepas dari penjajahan Jepang. Bahkan satu dua minggu sebelum tanggal 17 banyak diadakan lomba rakyat seperti gerak jalan, lari karung, makan kerupuk tarik tambang, panjat pinang, dll. Sebagai ungkapan suka cita kemerdekaan. Tepat tanggal 17 Agustus sebagai puncak perayaan kemerdekaan, diadakan upacara bendera sebagai lambang dimana hari tersebut dibacakannya teks proklamasi kemerdekaan oleh bapak proklamator Indonesia.
Dan tahun ini tepat 75 tahun Indonesia merdeka, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya perayaannya kali ini agak berbeda karena adanya pandemi virus Covid-19. Yang tidak berubah adalah permasalahan di negri ini masih tetap sama. Angka kemiskinan masih tinggi, malahan semakin meningkat selama masa pandemi. Korupsi, narkoba, tindak kriminal masih menjadi PR yang tak kunjung selesai. Pendidikan dan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat makin tak terjangkau. Listrik, air, BBM, kebutuhan pokok makin melejit.
Utang negara semakin menggunung dan semakin meninggi dari waktu ke waktu. Pajak semakin beraneka rupa, ada saja cara pemerintah untuk menyedot hasil keringat rakyat. Kekayaan alam dan hasil bumi ibu pertiwi dikuasai asing dan aseng.
Pemerintah dan segala jajaranya telah gagal melaksanakan wasiat dan mandat para pendiri negri ini yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Bahkan para pejabat publik yang diberi kuasa dan tanggung jawab untuk mengurus negri ini malah bersikap mencla-menlce tanpa prestasi nyata yang membuat rakyat bangga. Justru dari lisan-lisan mereka menjadi polemik dan kontroversi dimasyarakat, alih-alih menenangkan rakyat perkataan para pejabat tersebut justru menyakiti rakyat.
Seperti pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, baru-baru ini menyebutkan jumlah rumah tangga miskin terus meningkat lantaran keluarga miskin menikah dengan keluarga miskin lain, sehingga memunculkan rumah tangga miskin baru. Dari pernyataan tersebut dapat dipastikan bahwa sebagai penjabat publik, Muhadjir, telah gagal paham akar masalah yang menyebabkan kemiskinan.
Berikutnya ada Sri Muliyani selaku menteri keuangan menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu sensisitif masalah utang, tidak perlu takut berhutang toh harta kekayaan Indonesia banyak. Sepertinya menteri keuangan satu ini kurang jauh plesiran mencari ilmu. Selalu saja solusi atas permasalahan ekonomi adalah hutang. Padahal sumber segala permasalahan ekonomi adalah hutang ribawi.
Sebagus dan semewah apapun insfraktruktur yang dimiliki jika dibuat dari hasil berhutang tetap saja tidak bisa dimiliki secara utuh, pada saat jatuh tempo sang pemberi hutang akan menagih, entah itu berupa kebijakan politik yang menguntungkan mereka atau legitimasi sebagai tuan tanah, yang menyebabkan rakyat menjadi penyewa di negri sendiri. Hal tersebutlah yang menjadi kunci untuk membuka pintu penjajahan non fisik seperti yang dialami Indonesia saat ini.
Itulah sebabnya Islam sangat mengharamkan praktek ribawi apapun bentuknya. Begitupun dengan pemungutan pajak terhadap rakyat, negara yang dikelola berdasarkan hukum islam tidak pernah menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara, kecuali dalam keadaan darurat dan mendesak, yang hanya dilakukan temporer hingga keuangan negara membaik, dan hanya dibebankan kepada kalangan hartawan.
Sementara, Indonesia yang katanya berulang tahun ke-75 justru pajak adalah sumber APBN utama. Pajak di negri ini beraneka macam rupa dan turunannya. Tanah dan bangunan yang dimiiliki ada pajak bumi dan bangunannya, kendaraan yang dibeli meskipun telah lunas tetap harus dibayar pajaknya setiap tahun, begitupun dengan penghasilan setiap bulannya ada potongan pajak penghasilannya dan masih banyak jenis pajak yang harus dibayar setiap tahunnya. Singkatnya apapun yang dimiliki dan dibeli tidaklah dimiliki sepenuhnya melainkan hanya disewa dari negara.
Pajak tidak ubahnya upeti pada masa kerajaan dan penjajahan, hanya nama dan bungkusnya saja yang diperbaharui. Merujuk pada sejarah lahirnya kapitalisme dan sosialisme dikarenakan ketimpangan sosial yang terjadi. Pada era renaisance (abad kegelapan), para raja dan bangsawan, dengan memperdaya para gerejawan, menindas kaum marjinal. Rakyat dipaksa memberi upeti kepada kerajaan, kemiskinan dan ketidakadilan merajalela yang menyebabkan gerakan dan gelombang besar dari kaum tertindas untuk menghilangkan otorisasi raja dan kaum bangsawan. Begitupun pada masa penjajahan, rakyat melakukan perlawanan karena sudah sangat menderita akibat ulah penjajah, mereka dipaksa bekerja memeras keringat tetapi hasil dan jerih payahnya dinikmati oleh penjajah.
Begitupun dengan sekarang, sekeras apapun rakyat bekerja dan membanting tulang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Yang membedakan adalah pada masa renaisance rakyat paham lawan mereka adalah para raja dan bangsawan. Begitupun pada masa penjajahan, rakyat sadar yang harus mereka lakukan adalah mengusir penjajah. Akan tetapi kondisi saat ini, ummat tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah secara non-fisik. Mereka diperdaya dengan teori-teori dan jargon kapitalisme. Rakyat benar-benar tidak memahami bahwa akar masalahnya adalah kapitalis dengan paham sekulernya.
Sebagaimana perkataan Syaikh M. Mutawalli Asy-Sya'rawi rh "jika engkau melihat ada orang miskin di negeri kaum muslimin, maka di sana pasti ada orang kaya yg mencuri hartanya". Jumlah orang kaya didunia ini hanya sekitar 1% dari jumlah populasi dunia, artinya 95% lainnya harus berjibaku dan saling sikut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan sosial yang memicu tindak kriminal dan aksi-aksi anarkis lainnya. Karena permainan para kapitalislah sehingga terjadi pertarungan dimana manusia yang satu menjadi mangsa bagi manusia lainnya atau dikenal dengan istilah homo homini lupus.
Oleh karena itu pada momentum 75 tahun Indonesia lepas dari penjajah, coba renungkan lagi makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Bersegeralah bangkit dari ketidaksadaran bahwa kerusakan yang terjadi hari ini akibat dari penerapan sistem kufur dan satu-satunya solusi adalah mengganti ideologi dan sistem bukan hanya sekedar mengganti orang.
Hanya islam lah yang mampu menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, ketika pertama kali islam menyebar maka lenyaplah perbudakan, harkat dan martabat wanita terangkat, kaum papah dan lemah mendapat perlindungan. Hal yang belum pernah terealisasikan oleh bentuk ideologi dan agama manapun, bahkan Amerika, yang menjadi pusat demokrasi, tidak mampu menyelesaikan masalah rasisme kulit putih dan kulit hitam, justru menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Hanya saja islam yang dimaksud disini bukan hanya sekedar islam dalam kerangka ibadah-ibadah magdah semata tetapi penerapan islam secara keseluruhan mulai dari sistem pemerintahan, perekonomian, pergaulan, pendidikan, dan perpolitikan dalam dan luar negri. Sebagaimana penerapan ideologi islam yang dicontohkan para khalifah pada saat memimpin negara Khilafah.