Dispensasi Nikah, Buah Regulasi 'Bubrah'

Oleh : Diana Wijayanti

Benar-benar miris, perilaku remaja jaman 'now'. Sebagaimana dirilis oleh Pengadilan Agama Kelas IA Palembang, mencatat ada 71 remaja di Palembang mengajukan dispensasi nikah.

Panitera Pengadilan Agama Kelas 1A Palembang, Drs Taftazani SH mengatakan, untuk di Palembang yang mengajukan dispensasi nikah ada tapi tak sebanyak di Lubuklinggau yang mencapai 297 orang. palembang.tribunnews.com. Senin (10/8/2020).

Kota Pangkal Pinang juga merilis data ajuan dispensasi nikah mencapai 40 kasus (Januari-Juli) 2020.

Sementara di Pagaralam pun demikian, dalam waktu dua bulan ( Januari -Februari) bisa mencapai 100 persen lonjakannya.

Tentu fakta ini membuat semua pihak prihatin. Pasalnya alasan  mayoritas remaja yang mengajukan dispensasi nikah karena hamil nikah, dan karena usia pasangan yang belum mencapai 19 tahun.

Maraknya pengajuan dispensasi nikah, disinyalir dipicu adanya perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Undang-Undang Perkawinan.

Pada mulanya UU Perkawinan dibuat untuk menekan angka nikah dini pada anak. Usia minimal pernikahan yang semula 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, namun ketentuan tersebut dianggap diskriminatif.

Akhirnya, digugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil melalui uji materi undang-undang. Pada bulan Oktober 2019, UU itu pun direvisi dengan mengubah usia pernikahan menjadi minimal 19 tahun untuk kedua calon mempelai.

"Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai 19 tahun," begitu bunyi pasal 7 ayat (1) UU no 16 tahun 2019. Seperti dikutip laman setkab.go.id. Kamis (24/10/2019)

Akibat pemberlakuan regulasi ini bukan menghenti pernikahan dini namun terjadi lonjakan tajam. Hal ini karena solusi yang ditawarkan memang bukan untuk menyelesaikan akar  persoalan, namun solusi tambal sulam yang sarat  dengan agenda terselubung untuk legalisasi zina.

Solusi ini bersumber pada sistem Kapitalisme yang berasas Sekularisme yang diterapkan di negeri ini. Sebagai negara Kapitalisme, negeri +62 tunduk pada konvensi internasional, yang mendikte setiap negeri yang mengekornya.

Perlu diketahui lahirnya UU perkawinan tahun 2019, bukan hasil pemikiran anak bangsa, namun itu semua tak lepas dari sekenario global negara Kapitalisme dunia dengan alatnya, PBB

Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa ( DKPBB) wajib ikut meratifikasi konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women yang di singkat CEDAW pada tahun 1984.

Hingga akhirnya dibuatlah UU yang sesuai dengan konvensi CEDAW tersebut dari waktu ke waktu. Hingga menunjukkan hasilnya pada tahun 2019.

Sekilas UU no 16 tahun 2019 sangat bagus untuk  mewujudkan persamaan perempuan dan laki-laki pada usia pernikahan, tidak diskriminatif dan juga untuk menghindarkan keburukan akibat pernikahan dini. Namun racun yang disusupkan jauh lebih dahsyat dampaknya.

Tak ayal pemberlakuan UU ini, menyebabkan seks bebas (zina) makin merajalela, pada remaja karena pernikahan yang dipersulit sementara pornoaksi dan pornografi  bebas, akhirnya interaksi laki-laki dan perempuan dibebaskan. Dengan kata lain, seks bebas itu 'dilegalkan' dengan dalih Hak asasi manusia (HAM).

Tidak hanya di media cetak dan elektronik, perilaku seks bebas disajikan luas di gadget yang dimiliki anak-anak. Tak ada batasan lagi untuk mengaksesnya.

Akibatnya kerusakan moral tak terperikan. Zina dianggap biasa,  Hamil diluar nikah tak lagi tabu bahkan hubungan sejenis pun merebak. Bak bola salju yang terus membesar, tidak bisa lagi dihentikan laju perkembangannya.

Dampak yang lebih dahsyat lagi adalah perang ideologi. Islam sebagai ideologi yang shohih dan mulai mampu membangkitkan kaum muslimin membuat ideologi Kapitalisme berang.

Wal hasil, mereka membuat strategi jahat merusak keluarga dan generasi muslim secara legal dengan pengesahan UU perkawinan no 16 tahun 2019.

Serangan itu, berupa gugatan kaum Feminis terhadap hukum pernikahan Islam. Dalam kacamata Islam, keluarga dibangun berdasarkan dua jalan yaitu pernikahan dan kepemilikan budak. Haram dan dosa besar perilaku zina dan hubungan sejenis. 

Menikah sangat dianjurkan dalam Islam, agar terjaga kehormatan dan membolehkan pernikahan pada saat 'aqil baligh' baik perempuan maupun laki-lakinya. 

Sehingga usia tidaklah menjadi patokan pernikahan, namun sesuai kesempurnaan aqal yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Bila wanita, ditandai dengan datangnya menstruasi dan kaki-laki setelah mimpi basah.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya :

“Dan apabila anak-anakmu telah ihtilaam, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (QS. An-Nuur [24]: 59)

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Ù„َا ÙŠَÙ‚ْبَÙ„ُ اللَّÙ‡ُ صَÙ„َاةَ Ø­َائِضٍ Ø¥ِÙ„َّا بِØ®ِÙ…َارٍ

“Allah tidak menerima shalat wanita yang mengalami haid, kecuali dengan memakai kerudung.” (HR. Abu Dawud no. 641, Ibnu Majah no. 655, shahih)

Selain memberi batasan pernikahan secara rinci, Islam juga membekali pasangan yang akan menikah dengan hukum tentang hak dan kewajiban suami istri, agar pernikahan yang telah dilaksanakan memperoleh kehaharmonisan.

Jaminan oleh negara dalam memenuhi kebutuhan pokok keluarga serta sanksi yang tegas terhadap pelanggar syariah dalam berumah tangga juga dijamin oleh negara.

Bila Islam telah merinci secara sempurna aturan pernikahan, hingga tercipta keharmonisan keluarga, kenapa masih mengambil solusi diluar Islam (Sistem Kapitalisme) yang telah terbukti melahirkan regulasi 'bubrah'?
Wallahu a'lam bishshawab
Previous Post Next Post