DINASTI POLITIK PRODUK SISTEM DEMOKRASI

By : FATA VIDARI, S. Pd
Penulis dan pemerhati sosial
Banyuwangi, Jawa Timur

Istilah dinasti politik akhir-akhir ini mengemuka kembali menjelang hajatan besar pilkada 2020. Meski bukan hal baru terjadi di dalam sejarah pelaksanaan demokrasi sejak kemerdekaan, nyatanya masih terus menerus menjadi perdebatan. Politik Dinasti merupakan sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang terikat dalam hubungan keluarga. Banyak pakar politik menilai dengan  komposisi yang demikian budaya dan perilaku koruptif akan makin berpeluang besar terjadi. 

Majunya Gibran Rakabuming Raka, putra presiden RI yang ikut dalam kontestasi Pilkada Solo tahun ini memicu perbincangan masyarakat tentang prkatek politik dinasti. Meski demikian calon kandidat yang diusung oleh PDIP ini tetap maju dalam Pilkada Solo kedepan.  Tak hanya itu, menantu putra sulung Presiden juga disebut akan maju dalam Pilkada Medan. Demikian pula Putri wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah bakal diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) untuk maju dalam Pilkada Tangsel 2020. 

Tidak hanya itu. Di beberapa daerah nyatanya aroma dinasti politik juga menguat di Pilkada 2020 ini. Di antaranya putra bupati Serang Ratu Tatu Chasanah (adik Atut), Pilar Saga Ichsan yang diusung Partai Golkar sebagai calon wakil walikota. Pun adik wali kota Tangsel Airin Rachmi Diani, Aldrin Ramadian; anak Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindhito Himawan Pramono (Pilkada Kediri); Keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menjadi calon wakil walikota yang diusung PDIP-Gerindra; dan adik Mentan Syahrul Yasin Limpo, Irman Yasin Limpo (Pilkada Makassar).

Di Banyuwangipun ternyata Isu politik dinasti juga hangat di perbincangkan. Salah satu calon kandidat Bupati yang akan bersaing dalam Pilkada Banyuwangi 2020 adalah Ipuk Fiestiandani, istri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Nama Ipuk tertera dalam surat rekomendasi Calon Bupati Banyuwangi yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan menggandeng Sugirah  yang saat ini menjabat sebagai bendahara DPC PDI Perjuangan Banyuwangi. Majunya Ipuk pada pilkada tahun ini tentunya menyingkirkan kader senior partai yang lebih dulu berkecimpung di dunia politik. Dengan bekal nama besar Bupati Anas yang telah memimpin 2 periode, tidak bisa dipungkiri ini adalah modal untuk meraup suara dan memenangkan kontestasi Pilkada Banyuwangi.

Sebuah riset dari Nagara Institute sedikitnya 99 orang anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti politik karena memiliki hubungan keluarga dengan pejabat publik. Sementara pada Pemilu 2014 terdapat 51 kasus dan Pemilu 2009 ada 27 kasus. Riset tersebut juga menunjukkan dari 541 wilayah meliputi provinsi dan kabupaten/kota yang menggelar pilkada sepanjang tiga periode terakhir (2015, 2016, 2017), sebanyak 80 wilayah atau 14,78 persen terjadi praktek dinasti politik. 

Sistem politik yang rusak memicu Dinasti politik
Perdebatan tentang  politik dinasti bukan saja soal etika, pantas atau tidak pantas. Namun ini adalah sebuah  kesalahan konsep politik yang diadopsi dan melahirkan kelemahan di tataran praktis. Akhirnya fakta praktek politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan, orang yang kompeten dilengserkan karena alasan bukan keluarga. Dapat dipastikan pemimpin atau pejabat negara hasil dari politik dinasti berpeluang tidak memiliki kapabilitas menjalankan tugas karena berada di puncak kekuasaan hasil kongkalikong elite penguasa.

Bila dirunut, pangkal masalah politik dinasti terletak pada kacaunya sistem politik dalam pemerintahan demokrasi itu sendiri. Pembagian kekuasaan dengan konsep trias politika  yaitu menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif-, ternyata dirasa belum cukup menurut sistem Demokrasi untuk menghindari pemusatan kekuasaan politik kepala negara beserta kabinet. Maka untuk menghindari munculnya kekuasaan diktator, Demokrasi memunculkan konsep tambahan pendistribusian kewenangan politik dan administrasi antara pusat dan daerah (desentralisasi), yang dikenal dengan otonomi daerah. Dengan demikian masyarakat yang tinggal di daerah memiliki kebebasan untuk dapat mengatur serta juga mengurus kepentingannya sendiri. 

Nyatanya dengan otonomi daerah Kekuasaan politik tetap berputar disekitar elite tertentu, bahkan dilegalkan dengan undang-undang. Hal ini ditunjukkan adanya penghapusan oleh Mahkamah Konstitusi tentang aturan yang tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal tersebut melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah inkumben. Dalam penjelasan, yang dimaksud sebagai “konflik kepentingan” adalah sang calon berhubungan darah, hingga ipar dan menantu, dengan pemimpin daerah, misalnya bupati atau gubernur. Aturan ini dibuat untuk mencegahnya terbentuknya dinasti politik, yang telah bermunculan di banyak daerah dan cenderung koruptif. Alasan Penghapusan pasal ini oleh MK karena dinilai melanggar HAM, diskriminatif dan melanggar hak konstitusi warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan. 

Akibat dari konsep politik yang kacau tersebut akan banyak pemimpin lokal menjadi politisi berpengaruh hingga semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong berupaya terlibat dalam sistem pemerintahan.  Mereka tidak hanya akan menyelewengkan anggaran, tapi juga akses inkumben untuk memobilisasi birokrasi dibawahnya demi kemenangan keluarga mereka dalam pemilihan kepala daerah. dan akan semakin parah karena aturan main dan pengawasan sangat lemah. Inilah kenyataan bahwa mekanisme demokrasi sendiri telah menghalalkan undang-undang direvisi dan diganti oleh elite kekuasaan agar sejalan dengan kepentingan mereka. Mengapa bisa terjadi? Sebab demokrasi menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, sekaligus menempatkan kekuasaan di tangan rakyat pada saat yang sama.

Dinasti politik bentukan sistem oligarki
Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indonesian Political Review, Ujang Komarudin  ia mengungkapkan Indonesia saat ini sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat. Tak hanya di level nasional, tetapi juga di tingkat daerah. (nasional.kompas.com, 18/7/2020). Suatu keniscayaan dalam demokrasi, publik akan menjumpai politik oligarki yang dibangun partai politik berkuasa sementara politik dinasti dilakukan oleh individu yang berkuasa. 

Diawali dari keinginan dalam diri ataupun keluarga untuk memegang kekuasaan, adanya kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok, adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi, dan adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi. Dalam demokrasi, dukungan kepada penguasa itu tidak gratis, selalu ada motif dan kepentingan tertentu. Sehingga ketika telah berkuasa, urusan rakyat akan diatur sesuai kepentingan sekelompok pendukung dan penyandang dananya, dalam hal ini para Kapitalis.  
Suara terbanyak Bisa diraih dengan dana besar, ketenaran, ataupun pengaruh jabatan. Faktor kedekatan dengan sosok berpengaruh bisa menjadi modal vital bagi kontestan kepala daerah. Bagi yang minim dukungan dan tak punya sosok berpengaruh akan sulit maju dan memenangi kompetisi. Karenanya, politik dinasti bisa menjadi jalan pintas meraih kekuasaan, apalagi telah dilegalkan dalam undang-undang. Maka sudah bukan hal yang baru lagi  berita korupsi sumber daya alam dan lingkungan yang kian marak, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN. Serta para pemimpin daerah yang terlibat korupsi. 

Sistem Islam Menutup Peluang Politik Dinasti
Islam menempatkan kedaulatan di tangan syara’ dan kekuasaan di tangan umat. Islam juga mewajibkan umat Islam memiliki seorang kepala negara, Khalifah, dan hanya seorang saja. Islam pun meletakkan hak untuk mengadopsi undang-undang, tabanni di tangan seorang khalifah. Islam datang dalam bentuk sistem yang komprehensif mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk pemerintahan.  Sistem pemerintahan Islam menjadi sistem pemerintahan yang khas, unik, dan berbeda dengan sistem mana pun yang ada di dunia dan dikenal dengan sebutan negara Khilafah. Dalam Khilafah penguasa yang dipilih dan diangkat (dibaiat) oleh rakyat/umat hanya satu untuk seluruh kaum muslimin yang disebut khalifah.
Khalifah memiliki syarat pengangkatan (syarat in’iqad) yakni laki-laki, muslim, akil, balig, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tanggung jawab Khilafah. Bila telah dibaiat seorang khalifah dengan baiat in’iqad, maka terdeklarasikanlah Khilafah. Adapun penguasa (hukkam) lain, penguasa daerah tidak dipilih rakyat, namun diangkat Khalifah. Mengapa? Sebab sekalipun kekuasaan di tangan rakyat, namun kedaulatan di tangan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak diterima sistem pewarisan (putra mahkota). Peluang munculnya politik dinasti ditutup rapat sistem Islam. Adapun syarat seorang kepala daerah sama dengan syarat khalifah, sebab masing-masing adalah hukkam (penguasa), yakni laki-laki, muslim, akil, balig, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tanggung jawab.

Khilafah menggunakan sistem sentralistis. Keunggulan sistem tersebut dalam politik dan kekuasaan adalah dengan diangkatnya kepala daerah atas penunjukan kepala negara khilafah menutup peluang munculnya raja-raja kecil di daerah. Hanya pemimpin berintegritas (ber-syakhshiyah Islamiyah) dan memiliki kelayakan (kemampuan dan kelayakan) yang akan menjadi penguasa (hukkam).

Sulaiman bin Buraidah menuturkan riwayat dari bapaknya yang berkata,
“Rasulullah Saw. itu jika mengangkat seorang amir pasukan atau detasemen, senantiasa berpesan, khususnya kepada mereka agar bertakwa kepada Allah, dan kepada kaum muslim yang ikut bersamanya agar berbuat baik.” (HR Muslim)

Secara umum sistem pemerintahan Khilafah bersifat sentralistis, sedangkan sistem administrasinya bersifat desentralistis. Sehingga kita pun mendapati sistem Khilafah juga mengadopsi sistem desentralisasi pada sebagiannya.Kepala daerah memiliki kewenangan pemerintahan di wilayahnya saja. Pengangkatannya oleh khalifah dan semua wewenang administrasi di bawah kontrol dan monitor khalifah. Wewenang pemerintahan kepala daerah dikecualikan dalam urusan pasukan, peradilan, dan keuangan. Kepala daerah tidak berwenang menjalin hubungan dan menerima dana bantuan dari pihak lain, baik negara maupun lembaga asing. Seseorang tidak bisa menjadi kepala daerah atas dukungan pemodal dan asing. Kepala daerah tidak bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari kedudukannya sebagai penguasa daerah.

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’idi:
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah mengangkat Ibn Lutbiyah sebagai amil zakat untuk mengurusi zakat Bani Sulaim. Ketika ia datang kepada Rasulullah Saw. dan beliau meminta pertanggungjawabannya, ia berkata, “Ini untuk Anda dan ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepadaku.” Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah tidak lebih baik engkau duduk-duduk saja di rumah bapakmu dan rumah ibumu sehingga datang kepadamu hadiahmu itu jika kamu memang orang yang jujur?” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jelaslah sistem demokrasi adalah sistem yang lemah sejak konsepnya. Pelaksanaannya tentu lebih bobrok lagi. Sementara sistem Khilafah adalah sistem yang sahih sejak konsepnya. Jika ada titik-titik kelemahan dalam pelaksanaannya, semata karena negara Khilafah adalah negara manusiawi (daulah basyariyah) bukan negara malaikat. Wallaahu a’lam bishawab.
Previous Post Next Post