DINASTI POLITIK BUAH DARI SISTEM DEMOKRASI

Oleh : Nurhayati, S.Pdi

Politik dinasti belakangan ini terus menjadi perbincangan. Dalam diskusi  "Hati-hati Politik Dinasti Rawan Korupsi" yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta  Pusat, Selasa 3 Januari 2017, Arif menuturkan pendidikan politik terkesan diabaikan oleh elite. Ironisnya, hal ini mengakibatkan demokrasi gagal melahirkan pemimpin yang berintegritas dan membuat wacana politik tak lagi cerdas."Masyarakat dibiarkan bodoh dan tak punya daya di hadapan kekuasaan," kata Arif

Selain Arif, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. "Bisa dikatakan Jokowi sedang membangun dinasti politik. Mungkin mumpung sedang jadi Presiden, sedang punya kekuasaan, akhirnya dorong anaknya jadi wali kota," kata Ujang. (Kompas.com, Sabtu (18/7/2020).

Bupati Sleman Bantah Tudingan Dinasti Politik Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa yang saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020. Ujang juga menilai pencalonan keluarga Presiden dipilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain. Ia pun menambahkan bahwa hal tersebut akan berbahaya bagi proses demokratisasi. Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik. 

Meski begitu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melegalkan ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Alhasil, banyak politikus melahirkan Politik Dinasti melalui  keluarga hingga kerabat mereka.

Tak dipungkiri, keberadaan dinasti politik bukan barang baru dalam kehidupan bangsa Indonesia. Mahkamah Konstitusi pun sudah melegalkan praktik ini. Namun, banyaknya bukti bahwa praktik ini lebih banyak penyimpangannya dibanding manfaatnya yang seharusnya membuat banyak pihak lebih membuka mata. Adapun hal-hal yang mengakibatkan munculnya dinasti politik adalah adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan, kelompok terorganisir karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok. Selai itu, aanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk mengabungkan kekuatan modal dengan kekuatan Politisi serta  adanya Pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaaan modal sehingga mengakibatkan terjadinya korupsi.

Dalam negeri demokrasi, politik dinasti dan praktik korupsi sepertinya merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Bagaimana tidak, untuk membangun dinasti politik, tentu yang dibutuhkan tidak hanya modal sosial, namun juga kapital yang kuat.  Memang dalam demokrasi, semua orang dimungkinkan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Namun, pada akhirnya, kita semua harus kecewa mendapati kenyataan bahwa politik lebih banyak dikuasai para pemburu kekuasaan bernalar Machiavellian alias menghalalkan segala cara.

Tentu hal ini sangat berbeda dalam pandangan Islam, dalam Hadis Nabi suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan, dan tidak memperebutkan atau memintanya. Sebagaimana sabdanya: Dari Usaid bin Hudhair, seoang laki-laki Anshar berkata kepada Nabi “Wahai Rasulullah, tidakkah kau mengangkatku jadi pegawai sebagaimana engkau telah mengangkat sifulan”. Rasulullah menjawab “Engkau akan menemukan sepeninggalku orang-orang yang mendahulukan diri sendiri, maka bersabarlah hingga engkau bertemu denganku di telaga (surga)”.
Sejalan dengan ini pula, dalam sebuah riwayat Rasulullah saw. Pernah suatu ketika menegur sahabat nya Abdurrahman Bin Sumarah, untuk tidak menuntut kedudukan dan jabatan. “Rasulullah SAW bersabda kepadaku “ wahai Abdurrahman Bin Sumarah, jangan lah kamu mencintai kedudukan dan pemerintahan. Sungguh jika kau di serahi suatu jabatan karena permintaan mu, maka kamu akan memikul resiko nya sendiri, tetapi jika kamu di serahi suatu jabatan tampa meminta, maka kamu akan di tolonh oleh Allah SWT,” (HR. Bukhari)
Salah satu pangkal soal politik dinasti dalam sistem demokrasi adalah dijadikannya partai sebagai jalan utama untuk kekuasaan dan menjadi pihak yang menentukan pemimpin dan penguasa. Ini berbeda dengan Islam. Meski Islam tidak menghalangi partai dijadikan jalan untuk meraih kekuasaan, namun secara mendasar Islam menetapkan fungsi Partai bukan untuk itu. Islam menetapkan, fungsi pokok partai adalah mendakwahkan Islam, amar makruf dan nahi mungkar (QS Ali Imran [3]: 110), termasuk di dalamnya mengoreksi penguasa. 
Dari sisi penentuan penguasa daerah baik wali (gubernur) atau ‘amil (penguasa setingkat kabupaten/kota), Islam memiliki sistem yang sangat berbeda dengan demokrasi. Dalam demokrasi penentu penguasa adalah partai dan rakyat hanya pemberi stempel. Bahkan rakyat tidak berdaya menghentikan penguasa yang dalam pandangan rakyat buruk, kecuali melalui mekanisme periodik yang namanya pemilu. 
Dalam Islam, wali atau ‘amil tidak dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau tidak langsung. Wali dan ‘amil diangkat oleh khalifah. Sebab hanya Rasul saw saja sebagai kepala negara, yang menunjuk wali dan ‘amil. Meski tidak dipilih rakyat, tetapi rakyat menentukan keberlanjutan jabatan wali dan ‘amil itu. Jika rakyat, baik secara langsung atau melalui wakilnya, menunjukkan ketidaksukaan terhadap wali dan ‘amil serta meminta diganti, maka khalifah atau kepala negara harus mengganti wali dan ‘amil itu.
 Hal itu seperti yang terjadi ketika penduduk Bahrain mengadukan ‘Ala` bin al-Hadhrami yang diangkat Rasul menjadi wali Bahrain, maka Rasul pun langsung memberhentikannya dan menggantinya dengan pejabat baru yang diridhai rakyat. Dengan sistem demikian, maka tidak perlu biaya yang karenanya meminimalkan peluang terjadinya gurita persekongkolan demi mengembalikan biaya politik atau untuk memupuk modal proses politik berikutnya. Selain itu, rakyat akhirnya benar-benar bisa menjamin kelangsungan wali dan ‘amil yang terus memperhatikan urusan rakyat dan berlaku baik terhadap rakyat.
 Dengan mekanisme demikian, apakah wali dan ‘amil itu kerabat atau orang dekat khalifah atau bukan, tidak jadi masalah. Sebab mekanisme seperti itu akan memberikan jaminan yang lebih bagi terealisasinya penguasa daerah yang terus peduli dan memperhatikan rakyat, sekaligus bersih dan berlaku baik kepada rakyat. 
Sementara itu untuk pejabat di bawah penguasa, baik direktur direktorat, kepala dinas, kepala kantor dan para pejabat dan pegawai, maka penunjukkannya harus tetap mengedepankan keamanahan, kapabilitas, kemampuan, profesionalisme dan etos. Dalam Islam jabatan adalah amanah, dan jika diserahkan kepada orang yang tidak layak,itu adalah satu bentuk pengkhianatan terhadap amanah dan akan mengakibatkan kerusakan. Rasul saw bersabda: 
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancuran”. Orang arab baduwi itu berkata : “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda: “Apabila urusan disandarkan (diserahkan/dipercayakan) kepada selain ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Ketaqwaan pada Allah melahirkan pemimpin yang memiliki rasa takut melanggar perintah-Nya. Pemimpin bertakwa akan menyadari posisinya sebagai pengurus rakyat, bukan sebagai penghisap darah rahyat, seperti yang ada pada sistem demokrasi saat ini. Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata umat karena dikenal ketakwaan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah syara. Walahu a'lam bissowab
Previous Post Next Post