Dilema Dunia Pendidikan di Masa Pandemi

Oleh : Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi

Bagaikan makan buah simalakama, maju salah mundur juga salah. Itulah ungkapan yang menggambarkan kondisi pendidikan saat pandemi seperti ini. Sejak munculnya kasus Covid-19 di Indonesia  bulan Februari lalu sampai saat ini, semua kegiatan yang awal dilakukan di luar rumah  dianjurkan untuk dilakukan di rumah. Salah satunya kegiatan belajar mengajar, yang diharuskan untuk dilakukan dari rumah secara daring.

Adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), menimbulkan berbagai kendala yang dialami oleh siswa, guru, maupun  orangtua. Kendala-kendala yang dialami seperti beban tugas, penguasaan materi, kendala jaringan, kuota internet, stres, dan lain-lain. Hal inilah yang kemudian menjadikan sekolah tatap muka menjadi harapan agar tercapai target pembelajaran dan menghilangkan kendala-kendala selama PJJ.

Sebagai responnya, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan akhirnya mengeluarkan kebijakan sekolah tatap muka pada zona hijau dan kuning. Dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat (7/8/2020), Mendikbud Nadiem Makarim, mengumumkan bahwa SMK dan perguruan tinggi di seluruh zona sudah diperbolehkan melakukan kegiatan sekolah tatap muka. Tetapi protokol kesehatan harus tetap dilakukan secara ketat. Begitu juga untuk jenjang SD,SMP, dan SMA yang berada pada zona kuning dan zona hijau diperbolehkan melakukan sekolah tatap muka, dengan ketentuan maksimal 18 peserta didik yang hadir. (hits.grid.id, 7/8/2020)

Hal tersebut tentu menimbulkan respon dari berbagai pihak, salah satunya dari Lapor Covid 19. Sebuah lembaga independen yang mengeluarkan data-data terkait pandemi corona di Indonesia. Menurut Irma, insiator Lapor Covid 19, pembukaan sekolah berdasarkan zonasi Corona tidaklah tepat. Karena, zona hijau dan kuning tidak mengindikasikan bahwa wilayah tersebut benar-benar bebas dari Corona. (kumparan, 12/08/2020)

KPAI juga menyebutkan, jika masih banyak sekolah yang masih bingung di era new normal, terutama dalam kegiatan sekolah tatap muka di zona hijau dan zona kuning. KPAI menyebutkan masih banyak sekolah yang belum siap secara infrastruktur fisik, berbagai SOP seperti kedatangan siswa ke sekolah, kegiatan di kelas, kepergian dari sekolah, dan ibadah di masjid sekolah. (cnnindonesia.com, 12/08/2020)

Oleh karena itu, kebijakan yang muncul dianggap sebagai kebijakan yang sporadis, tidak terarah dan cenderung hanya memenuhi desakan publik tanpa diiringi dengan persiapan yang memadai. Sebagai contoh, pemerintah mengijinkan penggunaan dana BOS untuk keperluan kuota internet, tetapi masalah tidak adanya jaringan internet tidak diberi solusi. Kemudian pemerintah mengijinkan semua SMK dan perguruan tinggi di semua zona untuk belajar dengan tatap muka agar bisa praktek, tetapi tidak dibarengi dengan penyiapan protokol. Serta kebijakan pemerintah yang berubah-ubah tentang kebolehan tatap muka di zona kuning dan zona hijau ataupun mewacanakan kurikulum darurat selama PJJ. 

Semua fakta tersebut telah menunjukkan lemahnya rezim yang bersandar dalam sistem sekuler dalam mengatasi masalah pendidikan. Sebagai akibat tersanderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi. Pendidikan sebagai kebutuhan publik yang seharusnya wajib dijamin penyelenggaraannya oleh negara, tetapi tidak dijamin oleh negara. Selain itu, diterapkannya sistem kapitalisme dalam pemenuhan hajat hidup rakyat, mengakibatkan hajat hidup rakyat tidak terpenuhi secara maksimal. Karena sistem kapitalisme hanya berorientasi materi dalam setiap kebijakannya. 

Hal ini tentu berbeda dengan Islam. Dalam Islam pemimpin (khalifah) berperan sebagai ra’in (pengurus), yang bertanggung jawab atas terjaminnya hajat kebutuhan rakyat. Khalifah akan mengurus dan memenuhi kebutuhan rakyat sesuai hukum syari’at yang telah ditetapkan. Dalam Islam negara memiliki kewajiban untuk menjamin 3 kebutuhan dasar umat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara langsung.

Karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang pemenuhannya wajib dijamin oleh negara, sehingga jaminan pembiayaan kebutuhan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Hasilnya akan dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat secara murah dan gratis. Jaminan dalam bidang pendidikan tersebut antara lain, jaminan gaji bagi para guru, dosen dan pegawai pendidikan terkait. Beasiswa bulanan bagi setiap mahasiswa maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan. Seperti perpustakaan, auditorium, asrama mahasiswa, serta perumahan dosen dan ulama. Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam sistem Islam diambil dari Baitul Mal, yaitu dari pos fa’i dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. 

Syari'at Islam juga telah mengatur tatkala ada wabah penyakit untuk memisahkan antara yang sehat dengan yang sakit. Yaitu dengan mengadakan karantina wilayah pada daerah yang terdampak wabah penyakit agar wabah penyakit tidak semakin menyebar luas. Bagi daerah terdampak wabah, masyarakat yang sakit akan dirawat dengan pelayanan medis dengan kualitas terbaik secara gratis. Sehingga masyarakat yang berada di wilayah yang sehat bisa tetap beraktivitas seperti biasanya. Kegiatan belajar mengajar serta kegiatan ekonomi lainnya masih tetap bisa berjalan dengan baik.

Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Hanya Islam yang mampu menjamin kemaslahatan bagi umatnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita bergerak untuk mengembalikan kejayaan Islam. Agar tidak hanya masalah pendidikan saja yang terselesaikan, tetapi juga seluruh problematika yang dihadapi oleh umat saat ini mampu terselesaikan secara tuntas. Yaitu dengan penerapan Islam secara kafah.

Wallahu a’lam bishshawab.
Previous Post Next Post