Demi Daring, Nekat Maling

Oleh: Siva Saskia

Ditengah masa pandemi yang belum terlihat tanda-tandanya akan berakhir. Dunia pendidikan yang merupakan salah satu aspek penting bagi generasi penerus bangsa, mau tidak mau terkena imbasnya juga. Dunia pendidikan kembali tenggelam dalam kegelapan akibat kurangnya kesiapan pemerintah menghadapi hal ihwal tentang kebijakan yang di ambil. Dari hari ke hari kita sering dibuat miris melihat fakta yang terjadi. Bagaimana tidak, sebagian siswa agar bisa  mengikuti pembelajaran daring harus berjibaku dengan berbagai persoalan. Di tambah persoalan perjuangan para orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya.  Sebagaimana dilansir dari CnnIndonesia.com Jumat (24/7/2020), Mohammad Rafli siswa SMPN 7 Pamekasan. Latar belakang keluarganya adalah petani yang hidup sederhana, ibunya menangis karena anakannya ketinggalan pembelajaran sejak adanya pandemi ini, Rafli tidak bisa mengikuti pembelajaran secara daring karena orangtuanya tidak bisa membelikan handphone untuk rafli. ayahnya Rafli walaupun hanya seorang kuli yang pendapatannya tak seberapa tetap menyisihkan uang untuk bisa membeli handphone supaya anaknya bisa belajar.

Kasus lain terjadi, dilansir dari m.detik.com, seorang ayah di Garut Jawa barat nekat mencuri handphone milik majikannya, dengan alasan karena sang ayah tidak ingin putri kesayangannya ketinggalan pelajaran daring karena tidak mempunyai handphone, karena ayahnya belum bisa membelikan putrinya handphone untuk belajar, kemudian seorang ayah rela mencuri.

Disini kita bisa melihat, Kebijakan yang diambil pemerintah nyatanya tidak di imbangi dengan penjaminan dalam proses pembelajarannya. Juga semakin memperlihatkan sampai dimana kegagalan dunia pendidikan di negeri ini. Metode pembelajaran dari rumah yang dianggap solusi alternatif pun banyak kekurangannya, yang ada berbagai masalah malah bermunculan, bahkan kasus-kasus kejahatan turut hadir mewarnai kebijakan sistem pendidikan di negeri ini.

Dalam proses pembelajaran di rumah tentu para siswa tak perlu keluar rumah untuk belajar dan tak perlu mengeluarkan biaya yang tinggi untuk angkot dan uang jajan ,hanya diam di rumah sudah bisa mengikuti pembelajaran. Sepintas terlihat seperti berbagai kemudahan hadir menghiasi para pelajar di dunia pendidikan. Mungkin untuk orang yang berkecukupan dan mempunyai uang banyak bukanlah suatu masalah karena mereka dapat mengakses internet tanpa batas. Tapi bagaimana dengan mereka yang kurang mampu dan hidup serba kekuranga?. 

Untuk masyarakat yang kurang mampu jelas pembelajaran daring ini menjadi sebuah masalah, karena banyak faktor yang menghambat pembelajaran. Karena proses pembelajaran yang membutuhkan beberapa komponen perlengkapan selain alat tulis dan buku pelajaran, para siswa tentu harus menyiapkan kuota yang ekstra untuk mengakses internet. Dan sayangnya kuota itu tidak gratis, sehingga hal ini perlu merogoh kocek yang lumayan. Mungkin dengan siswa yang latar belakang orang tuanya serba kecukupan hal ini tak menjadi masalah. Tapi bagaimana dengan anak yang latar belakang keluarganya kurang mampu, jangankan untuk membeli kuota Handphone nya pun mereka tak punya, hal ini jelas menjadi masalah penghambat pembelajaran secara daring.

Jelas saja bila kita mau cermati, saat ini sektor telekomunikasi, teknologi, dan media berhasil meraih profit di tengah kekacauan ekonomi negara akibat pandemi. Siapa yang di rugikan dan siapa yang di untungkan semakin terlihat. Mimpi besar hidup daring tidak lain agar masyarakat terhubung dengan digital. Karena bagi kapitalisme, teknologi adalah komoditas ekonomi, orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk dapat menikmati teknologi, akibatnya lambat laun manusia malah dianggap tidak mempunyai fungsi hanya karena mereka gagap teknologi.

Beberapa fakta tadi telah menoreh luka pada pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Tentu hal ini membutuhkan pemikiran dan solusi serius agar mampu menyelesaikan problem hak pendidikan anak Indonesia. Absennya pemerintah dalam upaya pemenuhan hak pendidikan anak Indonesia, pemerintah pusat terlalu fokus pada pelaksanaan PJJ di Jakarta sehingga tidak melihat fakta yang terjadi di daerah, selain itu Kemendikbud terlalu banyak memfokuskan kepada POP maupun pendidikan vokasi yang berujung pada pernikahan SMK dan kampus dengan industri. Sehingga polemik yang seharusnya jadi konsentrasi utama, yakni pemenuhan jaminan pendidikan terhadap anak di seluruh negeri ini terutama dimasa pandemi menjadi terabaikan.

Yang jelas belajar daring justru membuahkan diskriminasi pendidikan. Realitasnya, lagi-lagi hanya mereka yang punya uang yang bisa sekolah dengan nyaman, karena hanya yang punya uang yang bisa membeli pulsa/kuota data yang besar beserta perangkat penunjang lainnya. Dalam sistem kapitalisme, penguasa seringkali mengabaikan tanggungjawabnya sebagai riayyah. Hal itu tidak lah heran karena yang jadi dasar adalah untung rugi. Hanya dalam Islamlah periayahan umat khususnya dalam pendidikan akan terjamin sampai di tingkat individu, baik itu mereka yang hidupnya berkecukupan maupun yang kurang mampu. Keadilan akan terasa bila sistem islamlah yang di terapkan. Tidak akan terjadi politisi bencana umat apalagi sampai pengabaian tugas riayyah. Sebab hal itu sudah menjadi tanggung jawab Negara dalam memenuhi hak warganya. 
Wallohu’Alam bi showwab.
Previous Post Next Post