By : Nirmala
(Aktivis BMIC Samarinda)
Kasus Kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Hingga Juli 2020, jumlah kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Jatim yang mencapai hampir 700 kasus. Lebih mencengangkan saat Komnas Perempuan menemukan jumlah laporan kekerasan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak 2.341 kasus atau sekitar 65 persen dibanding tahun lalu. Inses menduduki peringkat pertama dari semua jenis kekerasan yang dialami anak perempuan, yaitu sebesar 822 kasus dan setelahnya ada 792 kasus pemerkosaan, artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. Selama pandemi Covid-19 saja, jumlah kekerasan terhadap anak dan perempuan meningkat dratis. (Kompas.com).
Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, Komnas Perempuan juga mencatat bentuk atau pola baru dari kekerasan terhadap kekerasan berbasis gender online . Berdasarkan CATAHU 2020, angka kekerasan berbasis gender online ini terus meningkat, sepanjang tahun 2019 ada 281 kasus yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan. Kekerasan siber meningkat 300% dari tahun-tahun sebelumnya.(jurnalperempuan.org)
Bahkan baru-baru ini kembali terjadi Kasus Pemerkosaan di Samarinda yang diduga dilakukan oleh seorang ayah kepada anak kandungnya sendiri.(Kaltim, Presisi.co). Juga eberapa bulan sebelumnya Kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan kelas 2 SD di Jambi oleh empat orang kakak kelasnya. Pelecehan seksual di dalam kelas itu dilakukan sekelompok siswa yang masih mengenakan seragam sekolah. Peristiwa tersebut menjadi catatan kelam kasus kekerasan terhadap anak perempuan Indonesia. (Detik.com 20/03/2020).
Sehingga Selama masa pandemi Covid-19 terdapat 3.000 kasus sejak 1 Januari hingga 19 Juni 2020. Di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, angka ini tergolong tinggi. Ungkap Asisten Deputi Bidang perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings. (tirto.id, 24/6/2020)
Desak Pengesahan RUU P-KS, Solutifkah?
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Ratna menyampaikan bahwa tren kekerasan, terutama kekerasan seksual semakin meningkat yang menimbulkan keprihatinan, sehingga payung hukum terkait penghapusan kekerasan seksual perlu menjadi prioritas dan pemikiran bersama. (https://kaltim.antaranews.com/).
Desakan pengesahan RUU P-KS makin kuat dan massif diteriakkan setelah terjadi peningkatan kasus kekerasan. RUU P-KS bila dibandingkan dengan UU yang ada, diyakini para aktivis perempuan dapat mengurangi kekerasan terhadap perempuan.
Selain karena angka kekerasan perempuan yang semakin meningkat. Alasan lain yang mendesak RUU P-KS untuk segera disahkan adalah dalam UU sebelumnya dianggap penyelesaian kasus kekerasan seksual merugikan perempuan juga dalam pembahasan KUHP tidak ada bentuk pemidanaan dan penindakan tegas terhadap jenis kekerasan seksual. Sedangkan dalam pembahasan RUU P-KS korban dan keluarga mendapat pemulihan dari negara juga pelaku kekerasan seksual mendapat akses rehabilitasi.
Bahkan terdapat 9 bentuk kekerasan seksual yang harus dimasukkan ke dalam RUU PKS kata Asnifriyanti (pengurus LBH APIK Indonesia) meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual (Suara.com). Harapan besar Inilah yang melatarbelakangi dan membius mereka untuk tetap getol memperjuangkan RUU P-KS.
Ketua DPW PSI Kaltim Novita Rosalina juga menanggapi “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat mendesak untuk disahkan karena selain definisi kekerasan seksual yang mesti diperbarui, pasal-pasal dalam KUHP selama ini belum cukup mengakomodir keberpihakan pada korban,”. Kamis (30/7/2020).
Padahal, RUU P-KS tidak memiliki kekuatan dan tidak akan mampu mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak selama sekularisme masih menjadi landasan kehidupan.
UU Perlindungan Anak misalnya, meski sudah direvisi dua kali dan menetapkan pemberatan hukuman untuk pelaku kekerasan terhadap anak, juga tidak berdaya membunuh nafsu jahat para pelaku. Kekerasan terhadap anak masih saja terjadi. Demikian halnya KDRT, terus saja terjadi bahkan menempati proporsi kekerasan terbesar hingga 75%, padahal UU PKDRT sudah disahkan sejak tahun 2004.
Maka, sebenarnya kejahatan terhadap perempuan tidak akan selesai hanya dengan melegalisasi undang-undang. Sementara ideologi yang menaungi negaranya adalah ideologi kapitalisme yang merendahkan perempuan.
Sistem liberal kapitalisme: biang atas segala kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan adalah sesuatu yang lumrah di sistem kehidupan yang kapitalistik. Hal tersebut karena kapitalisme tidak menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga. Dalam kehidupan sekuler Kapitalis menjadikan perempuan sebagai objek komoditas belaka alias alat untuk meraup keuntungan. Perempuan diberi kebebasan yang berlebihan dalam berekspresi sehngga kaum perempuan terus mengalami kekerasan seksual. Meski, telah mengeluarkan berbagai bentuk kebijakan serta payung hukum namun nyatanya, kebijakan-kebijakan tersebut pun tidak mampu menyelesaikan masalah perempuan hingga hari ini.
Gaya hidup sekuler-kapitalis yang menjadi asas kehidupan negara harini adalah biang semua kejahatan seksual itu terjadi. Masyarakat yang dibesarkan dalam ideologi tersebut, menafikan peran agama sehingga menjadikan individu tega melakukan kejahatan terhadap sesama, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Maka tak heran.
Tanpa agama, manusia menjadi lebih kejam dari binatang yang tercermin dalam makin tingginya KDRT dalam bentuk kekerasan terhadap anak perempuan dan inses. (Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2020).
Ditambah lagi banyak kebijakan yang kontradiktif dan kontraproduktif dengan misi perlindungan perempuan.
Merevisi perundang-undangan atau menggagas peraturan baru bukan solusi terhadap kekerasan perempuan. Sejatinya yang dibutuhkan adalah perubahan sistem yang mendasar.
Maka, kasus kekerasan terhadap perempuan akan terus ada bahkan semakin bertambah jika peran negara tidak ada, dan peran negarapun tak cukup jika negara masih menjadikan sistem sekuler-kapitalis ini menjadi asas dalam berkehidupan.
Islam menjaga kehormatan perempuan
Islam memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawaab melindungi kehormatan perempuan, bahkan mewajibkan bagi kaum adam untuk melindungi serta menjaga kehormatan perempuan.. Kita meyakini bahwa syariat yang di tuurnkan Allah adalah kemaslahatan bagi manusia dimanapun. Sehingga perlu di pahami terkait tujuan penciptaan perempuan dan laki-laki berdasarkan sudut pandang Islam.
Islam memiliki jaminan perlindungan terhadap perempuan dalam artian Islam, memiliki strategi yang jelas dan tepat untuk menjaga serta melindungi kehormatan perempuan. Diantaranya hukum terkait interaksi atau pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Interaksi yang terjaga tentu akan mencegah adanya hal-hal yang dapat merangsang terjadinya aktivitas maksiat. Perempuan juga harus menutuup auratnya serta laki-laki menundukkan pandangannya. Kemudian Islam juga melarang wanita bepergian jauh sendirian tanpa seorang mahram, tentu ini bukanlah bentuk pengekangan melainkan adalah bentuk penjagaan bagi kaum perempuan.
Islam melarang segala bentuk aktivitas yang menjadikan perempuan sebagai objek komoditas serta merendahkan kehormatan perempuan, seperti yang di jajakan oleh kehidupan kapitalisme liberal hari ini. Selain itu Islam juga membatasi media massa dan informasi agar tetap menginformasikan sesuatu yang berguna untuk membina ketakwaan dan menumbuhkan ketaatan pada Allah SWT. Apa pun yang akan melemahkan keimanan dan mendorong terjadinya pelanggaran hukum syara’ akan dilarang keras. Semisal konten-konten porno dan cabul yang bisa menjerumuskan pada aktivitas maksiat.
Perempuan pun bisa berkiprah di politik dan berkontribusi dalam kemaslahatan umat tanpa mengabaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Perempuan tidak dibebani dengan urusan nafkah. Inilah yang menjadikan perempuan dalam Islam justru bisa memiliki semuanya.
Islam selain mengatur pergaulan antar lakil-laki dan perempuan dan mengakomodir media massa dan informasi, Negara juga memberikan hukuman tegas terhadap pelaku kejahatan, termasuk orang-orang yang melakukan kekerasan dan pelecehan perempuan. Hukuman tegas akan membuat jera pelakunya dan mencegah orang lain melakukan kemaksiatan yang sama. Inilah bentuk jaminan perlindungan keamanan terhadap perempuan dalam Islam.
Maka, sejatinya yang mendesak dan dibutuhkan perempuan bukanlah RUU P-KS melainkan diterapkannnya Islam dalam sebuah institusi negara khilafah.
Wallahu a’lam biashshowab.