Oleh: Reziloviyana, S. Akun
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Pandemi belum pergi. Dan kehidungan tetap harus berjalan dengan segala kebutuhan yang harus dipenuhi. Banyak masyarakat yang harus kehilangan mata pencarian ketika pandemi melanda. Pemerintah memang telah menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang miskin, namun tetap belum mampu memenuhi segala kebutuhan mereka. Di antara bantuan pemerintah yang telah dicairkan adalah BLT, dana desa, dan BST sebesar Rp. 600.000 perbulan dan ada juga penambahan 3 bulan penerimaan namun dengan jumlah yang turun menjadi Rp.300.000, serta sembako murah yang diterima masyarakat. Tentu saja, hal ini jelas tidak mencukupi kebutuhan hidup masyarakat dalam satu bulan.
Alih-alih menambah jumlah penerima dan nominalnya, pemerintah kini berencana memberikan BLT untuk pegawai swasta.
Bantuan Rp 600 ribu per bulan buat pegawai swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta/bulan akan cair dua bulan sekali. Artinya, pegawai swasta akan memperoleh Rp 1,2 juta dalam 1 kali pencairan.
Total subsidi gaji yang diberikan itu ialah Rp 2,4 juta/pekerja. Pencairan akan dimulai pada bulan September hingga Desember 2020 dengan skema di atas.
Syarat untuk memperoleh BLT harus pekerja yang aktif terdaftar di BPJS ketenagakerjaan dengan iuran di bawah Rp 150 ribu/bulan atau setara dengan gaji di bawah Rp 5 juta/bulan.
Ini dimaksudkan sebagai apresiasi bagi para pekerja yang terdaftar dan membayar iuran BPJS ketenagakerjaan sekaligus untuk mendongkrak komsumsi dan mengerakkan ekonomi riil serta kesejahteraan pekerja yang terdampak Covid-19, kata Menteri ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, dalam keterangan resminya, Jumat (7/8/2020).
Kebijakan ini merupakan angin segar bagi sebagian pihak. Terkhusus bagi yang berstatus sebagai pegawai swasta yang terdaftar sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan. Sementara bagi pegawai swasta yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan, sebagai buruh harian lepas, sebagai pedagang kaki lima, sebagai guru honorer K2 dan lain lain. Yang tidak menerima BLT Dana desa, BST maupun BLT untuk pegawai swasta justru merasa terintimidasi dan terzhalimi. Pasalnya pada masa pandemi ini semuanya mengalami kesulitan ekonomi. Lantas sudah tepat sasarankah pemerintah dalam menyalurkan anggaran?
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad menilai BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp 5 juta ini akan sia-sia. Penyebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, kelompok pekerja ini rata-rata memiliki kemampuan finansial yang memadai. Alih-alih untuk konsumsi, BLT yang diterima justru akan disimpan.
Kedua, justru yang seharusnya berhak untuk mendapat insentif ini adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2.3 juta rupiah, pekerja harian, dan korban PHK.
Ketiga, pemilihan data BPJS Ketenagakerjaan sebagai basis BLT patut dipertanyakan. Bagaimana dengan nasib pekerja yang kesulitan ekonomi karena PHK, dirumahkan, habis kontrak tapi tidak terdaftar di BPJS atau tidak terdata oleh Kemenaker (Tirto.id, 9 Agustus 2020).
Ketum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih mengaku bingung dengan kebijakan pemerintah tersebut. Sebabnya, 51 ribu PPPK (Pegawal Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) hasil seleksi Februari 2019 saja belum juga diangkat menjadi ASN. Mengapa pemerintah malah menjanjikan bantuan sosial kepada 13 juta pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan (jpnn.com, 7 Austus 2020).
Kebijakan ini masih saja mengedepankan aspek ekonomi. Sesuai dengan pandangan kapitalistik yang merupakan buah dari sistem kapitalisme. Seharusnya negara mengedepankan seluruh kebutuhan masyarakat agar dapat terpenuhi.
Berbeda dengan Islam dalam melakukan pengurusan terhadap urusan rakyat. Dalam Islam, negaralah yang bertanggung jawab dan memastikan rakyatnya tercukupi kebutuhannya. Seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, serta kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Dalam Islam negara wajib memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Baik dalam keadaan normal maupun di saat pandemi.
Dalam masa pandemi, aktivitas rakyat terhenti dan kegiatan ekonomi juga terhenti. Maka negara wajib memenuhi seluruh kebutuhan pokok rakyat yang terdampak dengan capat tanpa mekanisme dan persyaratan yang berbelit-belit yang menyulitkan rakyat. Sebab, seluruh masyarakat yang terdampak pandemi berada dalam kesulitan dan kesengsaraan. Pemerintah tidak hanya memberikan bantuan kepada segelintir orang, melainkan kepada seluruh rakyat yang membutuhkan.
Begitulah ketika Islam memimpin di tengah-tengah umat. Segala aturannya akan menjamin seluruh kebutuhan dan ketentraman dan terpenuhinya seluruh hak hak rakyat. [Wallahu a'lam bish showab].