BLT Pekerja Swasta: Kebijakan Tambal Sulam di Tengah Pandemi

By : Fatimah Azzahrah

Di tengah kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemerintah berencana untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja swasta. Hal ini bertujuan untuk mendorong konsumsi masyarakat khususnya pekerja dengan harapan dapat mempercepat pulihnya ekonomi Indonesia. 

Terdepat beberapa syarat untuk dapat menerima BLT ini yaitu, pekerja merupakan seorang WNI, terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan bulan Juni 2020 dengan iuran di bawah Rp150.000 per bulan, menerima gaji di bawah Rp5 juta, memiliki rekening bank yang aktif, dan tidak termasuk dalam peserta penerima manfaat program kartu Prakerja. 

Dana yang dikucurkan pemerintahpun tidak sedikit yaitu mencapai Rp37,7 triliun dengan pekerja yang terdaftar sebanyak 15,7 juta orang. Para pekerja tersebut akan mendapatkan subsidi upah sebesar Rp600.000 per bulan selama empat bulan atau total Rp2,4 juta. 

Sayangnya kebijakan BLT ini merupakan kebijakan tambal sulam dan tidak tepat sasaran. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Taufik Ahmad menilai BLT yang diberikan kepada pekerja bergaji di bawah Rp5 juta ini akan sia-sia. Menurutnya, alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan yang akhirnya membuat ekonomi tetap mandek. (tirto.id)

Kebijakan ini juga dinilai tidak adil. Ketika kriteria penerima BLT didasarkan pada data BPJS Ketenagakerjaan, maka ini menunjukkan ada ketidakadilan disana. Lantas, bagaimana nasib pekerja yang terkena PHK, dirumahkan, habis kontrak dan tidak terdata oleh Kementerian Ketenagakerjaan?
Akhirnya BLT hanya bisa mengungkit perekonomian, tidak bisa mendorong daya beli masyarakat. Dan ini hanya untuk golongan pekerja swata menengah ke bawah. 

Selain itu, BLT yang diberikan sebesar Rp600.000 nyatanya tidak mencukupi. Di tengah pandemi ini kebutuhan dasar masyarakat seperti listrik, air, pulsa, kesehatan, dsb tentu semakin mahal. Alih-alih menyelesaikan, kebijakan ini malah memicu masalah baru. Masalah yang akan membuat kegaduhan di tengah masyarakat. 
Kebijakan BLT ini menegaskan pemerintah tidak serius dalam mencari solusi atas persoalan rakyatnya. Kebijakan yang terburu-buru dan tak matang hanya akan menghabiskan anggaran tanpa memberikan dampak yang berarti. Bukanya menyelamatkan ekonomi Indonesia, justru kebijakan ini menimbulkan masalah baru lagi bagi masyarakat. 

Sebenarnya kita tidak perlu heran, karena memang seperti inilah kebijakan yang dihasilkan di tengah iklim sistem Kapitalisme seperti saat ini. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan memang sebatas tambal sulam dan diambil “asal cepat” saja. Menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru. Bahkan, keadilanpun sulit didapat bagi masyarakat yang terdampak ekonomi akibat pandemi ini.
Previous Post Next Post