Blokir Film Khilafah: Kekalahan Intelektual dan Penguburan Sejarah

Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm. 

Ada yang berbeda dari perayaan tahun baru islam kali ini, karena untuk pertama kalinya di Indonesia, ditayangkan film Jejak Khilafah di Nusantara. Film yang digagas oleh sejarawan muslim, dalam bentuk historiography, dengan konsep menarik dan kekinian, menjadi trending di jagad maya. Tak ayal, film ini menuai banyak pujian, namun mendapatkan juga banyak labeling negatif dari pihak yang tidak senang akan penayangannya. 

Tentu saja dalam menyaksikan penayangan film JkdN, harus dengan perjuangan. Diawal waktu yang terjadwal untuk diputar, film tak dapat di akses. Link terus dipantau kurang lebih satu jam agar bisa diakses. Itupun selama penayangan, beberapa kali terhenti sendiri. Hingga muncul di di layar monitor, “Konten ini tidak tersedia di domain negara ini karena ada keluhan hukum dari pemerintah”. Dibanned. Ada upaya untuk diblokir. 

Dunia medsospun ramai membicarakan JKdN dari segala perspektif. Banyak kalangan mempertanyakan, di mana letak pelanggaran hukumnya. Tengku Zulkarnain, Wasekjen MUI dalam tweetnya menyatakan “Apa alasan keluhan Pemerintah atas video Jejak Khilafah Di Nusantara sebagai Sejarah? Apakah ada hukum yang dilanggar? NKRI negara hukum, tidak boleh sewenang-wenang...!” 

Ungkapan senada juga dilontarkan Profesor Suteki, Pakar Hukum dan Filsafat Pancasila, yang dijadikan meme di medsos, menulis “Tampaknya Film Dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara dianggap lebih berbahaya dari pada FILM porno. Film JKdN tidak bisa diakses, tapi film porno dapat diakses.” Netizenpun tak kalah ramai mempertanyakan alasan pemblokiran, juga tantangan untuk menunjukkan bukti jika memang tidak ada jejak Khilafah di Nusantara, dengan karya yang sebanding. 

Upaya Pemblokiran Bukti Kekalahan Intelektual dan Penguburan Sejarah 

Guru besar UIN Ciputat Oman Fathurahman mengatakan Kesultanan Aceh pernah mengajukan diri untuk menjadi negara vassal (bawahan) kekhalifahan Turki Utsmani/Ottoman tetapi ditolak karena sejumlah pertimbangan. Turki tidak mau Nusantara menjadi bagian dari sistem pemerintahannya. Tetapi untuk menjadi saudara iya, semangatnya adalah semangat keagamaan.

Dengan penggunaan diksi yang ingin memisahkan Aceh dengan Khilafah Turki, Oman menyebut Aceh bukan sebagai negara vassal Turki Ottoman. Vassal adalah negara pengikut, atau negara yang tunduk dan takluk pada Otoritas Negara lain.

Hanya saja, bantahan Oman Faturrahman ini justru menegaskan adanya Jejak Khilafah di Nusantara, yakni diantaranya jejak kiprah Turki Utsmani di Kesultanan Aceh.

Oman menyebut Turki membantu mengirimkan bantuan militer saat diminta Kesultanan Aceh. Terbukti ada suplai bala militer dari Turki saat Aceh meminta untuk melawan tentara kolonial.

Dari sejumlah manuskrip yang diteliti, Oman mengatakan Aceh memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan Turki Utsmani tetapi tidak ada riwayat sebagai negara vassal.

Pernyataan Oman ini menegaskan beberapa substansi penting sejarah jejak Nusantara dan Khilafah Turki Utsmani, yakni :

Pertama, pengiriman bantuan militer itu justru menegaskan adanya jejak (baca : hubungan) antara Khilafah Turki Utsmani dengan kesultanan Aceh. Terlepas, Oman menafsirkan hubungan ini hanyalah sekedar hubungan persaudaraan, hubungan antara sesama akidah Islam, hal ini justru membuktikan kekhilafahan Islam yang berpusat di Turki ketika itu, memiliki perhatian dan memikirkan keadaan kaum muslimin diseluruh dunia termasuk yang ada di kesultanan Aceh.

Khilafah Turki menyadari, tanggungjawabnya sebagai pemimpin untuk seluruh kaum muslimin bukan hanya muslim yang ada di Turki. Jika bukan sebab tanggung jawab akidah Islam, dimana Negara Islam memiliki kewajiban menjaga keamanan dan memberikan perlindungan kepada seluruh kaum muslimin, tentulah Khilafah Turki tidak perlu repot-repot dan menghamburkan biaya untuk mengirim bantuan militer.

Kedua, jejak Khilafah Turki Utsmani di Aceh meneguhkan hubungan jejak persaudaraan Islam, bukan penjajahan. Jejak Khilafah Turki, berbeda dengan jejak Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang yang menjajah Nusantara.

Karena itu, Nusantara termasuk Indonesia sejatinya lebih memiliki alasan untuk berkhidmat kepada Khilafah karena memiliki sejarah persaudaraan dan menerima bantuan, ketimbang membebek pada Belanda yang menjajah lebih dari 3,5 Abad. 

Lucunya, narasi yang ditebarkan rezim dan anteknya justru ingin menjauhkan Umat dari Khilafah, ingin menggambarkan Khilafah sebagai memecah-belah, menumpahkan darah, anti perbedaan, dan sederet stigma negatif lainnya.

Padahal, fakta sejarah sebagaimana diungkap Oman Faturrahman, sejarah Khilafah adalah menolong Nusantara, bersaudara dengan Nusantara, dan membantu Nusantara melawan penjajahan. Namun, rezim justru mempertahankan hukum warisan penjajah Belanda ketimbang menerima ajakan untuk menerapkan hukum Islam, menerapkan hukum Allah SWT.

Ketiga, terlepas hubungan Nusantara adalah Vassal Turki Utsmani atau bukan, faktanya sejarah telah menunjukkan kesultanan Islam di Nusantara menerapkan hukum Islam, sama seperti yang diterapkan di kekhilafahan Turki, dan tidak menerapkan hukum penjajah Belanda maupun Inggris. 

Sistem hukum sekuler dipaksakan penjajah, setelah penjajah melakukan aneksasi, kolonialisme terhadap kesultanan Islam di Nusantara, dan menghapus keberlakuan hukum Islam yang telah eksis dan menjadi nadi kehidupan di Nusantara.

Sekali lagi, nampaknya siapapun yang ingin menegasikan hubungan Nusantara dengan Khilafah, justru menguatkan hubungan itu. Pasca penayangan film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKdN), jejak Khilafah semakin terlihat jelas. Adapun debu-debu penjajahan dan sistem hukum warisan penjajah, semakin tersingkap borok-boroknya. 

Khilafah  Ajaran Islam

Ikhtiar menyampaikan fakta, mengungkap kebenaran ternyata tak selamanya mendapatkan sambutan baik. Bahkan pemblokiran terjadi saat Indonesia dalam suasana peringatan kemerdekaan yang ke-75. Di mana nilai kemerdekaan tersebut saat anak bangsa berekspresi dalam bentuk film dokumenter yang notabene megungkap kebenaran justru dihadang? Tidak berlebihan saat ada anggapan bahwa kita belum merdeka. Bukan dari todongan senjata ataupun hujan bom, tapi dari intervesi juga persekusi, hanya karena berbeda pandangan. 

Portugal, Spanyol, Prancis, Inggris, Belanda, Jepang, Khilafah juga PKI sama-sama pernah meninggalkan jejak di negeri ini. Tetapi mengapa Khilafah menjadi satu-satunya yang gaungnya tak terdengar sebanding dengan kisah para penjajah itu? Bahkan negeri ini kini erat berhubungan dan bekerjasama dengan mereka. Penulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” menduduki jabatan penting di negeri ini. Sementara pejuang Khilafah begitu dimusuhi seolah lebih berbahaya dan mengancam. 

Pertanyaannya adalah, adakah pihak yang dirugikan dengan film ini? Adakah pihak yang terusik eksistensinya atau terganggu kepentingannya? Kepentingan apa atau siapa yang bisa dirugikan atau terancam dari sebuah film dokumenter? 

Wallahu a'lam bish-showab.
Previous Post Next Post