Oleh : Siti Rohmah, S.E
Dunia "mati suri" semenjak virus corona melanda. Sejak kemunculannya pertama kali di kota Wuhan, China pada akhir tahun 2019, virus ini begitu masif menyebar ke seluruh dunia. Lebih dari 188 negara terjangkit dengan kasus 21.8 juta orang positif, 773 ribu meninggal dan 14 juta pasien sembuh (woldometers.info, Senin, 17/8/2020).
Pun tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data dari BNPB_Indonesia per hari Minggu, 17/18/2020 kasus positif corona mencapai 139.549 orang, 6.150 jiwa meninggal dan 93.103 pasien sembuh. Dan cenderung masih mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini membuktikan bahwa Covid-19 belum usai.
Adapun upaya pencegahan dan penanggulangan telah diupayakan sedemikian rupa oleh pemerintah. Mulai dari kebijakan work from home, school from home, social distancing, phisycal distancing hingga pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun hingga kini upaya tersebut terasa belum cukup mampu mengendalikan dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Terhitung lebih dari enam bulan kebijakan telah berjalan, yang secara tidak langsung sangat mempengaruhi sektor ekonomi masyarakat.
Masyarakat banyak berdiam diri di rumah, cenderung membatasi aktivitas fisik di luar rumah, termasuk untuk bekerja. Akibatnya, perputaran ekonomi cenderung berhenti. Terutama di sektor riil. Hal ini nampak sekali pada profesi masyarakat menengah kecil yang menjajakan dagangan door to door. Tak ada orang yang keluar rumah, tak ada yang berbelanja dan tak sedikit mereka yang pulang dengan tidak membawa uang dan dagangan mereka masih utuh. Kondisi ini sempat terjadi pada awal awal pemberlakuan lockdown.
Adapun dari sisi perusahaan/pabrik banyak yang merumahkan karyawannya. Tak pelak hal ini menyebabkan angka pengangguran kian meninggi. Masyarakat tidak memiliki cukup uang untuk berbelanja, sehingga daya beli masyarakat pun menurun. Tingkat konsumsi turun tapi produksi tetap. Hal ini menyebabkan stok produk menumpuk dari sisi perusahaan yang mengakibatkan kerugian.
Dunia pariwisata, perhotelan dan segala bisnis yang menyangkut kumpulan banyak orang pun terdampak. Sektor penerbangan pun sempat lumpuh beberapa bulan lalu. Ini baru sektor dalam negeri yang terdampak, belum aktivitas perdagangan internasional dan semacamnya, semisal expor impor yang pastinya terdapat pembatasan dari segi frekuensi ataupun kuantitasnya. Pastinya kondisi semacam ini mempengaruhi perekonomian secara nasional yaitu ekonomi mengalami kelesuan dan pelemahan, yang jika berlangsung secara berturut-turut bisa mengarah kepada resesi ekonomi.
Resesi ekonomi adalah suatu kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun secara berturu-turut. Kondisi itu terlihat dari permintaan melemah, penjualan dan pendapatan bisnis menurun,kegiatan ekonomi stuck, dan banyak perusahaan merugi.
Badan Pusat Statistik menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 minus sebesar 5,32 persen. Sementara di kuartal II 2020 mengalami kontraksi minus 4,19 persen. Dan di kuartal III diprediksikan pertumbuhan ekonomi masih dalam keadaan minus. Jika kondisi tak kunjung mengarah kepada perbaikan ekonomi, bisa jadi Indonesia akan menuju pada jurang depresi ekonomi.
Dalam kondisi resesi semacam ini, solusi yang ditawarkan oleh teori kapitalis salah satunya adalah dengan penggelontoran dana oleh pemerintah kepada masyarakat yang harapannya bisa mendorong daya beli meningkat kembali. Hal ini terlihat dari cairnya bantuan sosial dari pemerintah baik berupa uang tunai ataupun bantuan sosial lainnya berupa paket sembako. Namun efektifkah solusi tersebut? Pada faktanya kita sering mendengar ada masyarakat yang tak tersentuh bantuan sama sekali, dan kadang masih banyak yang belum tepat sasaran.
Di sisi lain upaya penanggulangan kelesuan ekonomi yang sering digaungkan adalah penciptaan ekonomi kreatif, dimana kebanyakan kaum perempuan dan ibu-ibu sebagai pelaku utamanya. Ini adalah solusi semu yang mengalihkan solusi utama untuk mengatasi permasalahan secara komprehensif.
Sebagai umat muslim, pasti meyakini bahwa tatkala Allah menurunkan ujian (permasalahan) Allah juga akan memberikan seperangkat solusi yang bisa digunakan untuk mengatasi persoalan tersebut. Permasalahannya, apakah selama ini kita mau mengambil solusi Islam dalam kehidupan secara menyeluruh? Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin.
Islam bukan agama ritual, namun dia adalah seperangkat aturan yang bisa digunakan untuk mensolusikan dan mengatur seluruh lini kehidupan, baik tataran individu, masyarakat maupun negara. Pada level individu, seorang muslim akan didorong untuk senantiasa menjadi individu yang bertakwa. Dari individu yang bertakwa akan melahirkan masyarakat yang bertakwa pula. Namun belum cukup, Islam tak kan sempurna jika tidak diterapkan dalam tataran bernegara yang bisa mencakup urusan khalayak secara umum.
Tatkala pandemi seperti sekarang ini solusi yang ditawarkan Islam salah satunya adalah mencari penyebab apa yang menjadi asal muasal permasalahan inti. Dalam perspektif Islam, penyebab utama krisis ekonomi ada lima hal. Yang pertama adalah buruknya perilaku pelaku ekonomi, sifat serakah, individualis, hedonis, spekulasi, sikap curang, dan monopoli (Al-waie, 3/5/2020).
Kedua, faktor dan peristiwa eksternal , seperti bencana, siklus bisnis, wabah penyakit menular, ketidakstabilan politik, ketidakstabilan sosial, serta sistem moneter nasional.
Ketiga, tata kelola yang buruk, hal ini terjadi pada lembaga publik dan swasta, termasuk administrasi yang buruk, korupsi, kontrol harga, kurangnya regulasi, dan penempatan orang yang salah. Larangan korupsi ini bahkan disebutkan dalam Firman Allah surat al-Maidah [5]: 38, yang artinya “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjaka dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.
Keempat, sistem moneter/keuangan yang tidak stabil. Hal ini mencakup sistem bunga ribawi, uang kertas, perbankan konvensional.
Kelima, sistem fiskal yang tidak tidak efektif dan tidak berkelanjutan, pajak dan utang negara yang berlebihan, serta manajemen persediaan komoditas strategis yang buruk, semakin membuka peluang terjadinya krisis ekonomi yang parah.
Oleh karena itu agar terselamatkan dari jurang resesi di masa pandemi ini, sudah saatnya kita mengganti aturan sesuai dengan yang disyariatkan Islam. Hal itu bisa diterapkan jika sistem khilafah ditegakkan.