Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S. Kom
Aktivis Dakwah Muslimah
Kesehatan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Adalah hal yang wajar, ketika ada yang sakit, maka dia akan berusaha mencari obat untuk menyembuhkan. Begitu pula dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Di tengah kepanikan karena pasien positif terus bertambah, masyarakat menanti kehadiran obat terbaik yang diharapkan bisa segera menyembuhkan penyakit ini. Namun sayang, respon pemerintah dinilai sangat lambat. Maka ketika ada klaim penemuan obat, terjadi histeria. Masyarakat pun menaruh harapan besar.
Baru-baru ini, ada seorang pria mengaku sebagai profesor bernama Hadi Pranoto. Ia mengklaim telah menemukan antibodi Covid-19 dan menyembuhkan ribuan orang. Hal itu diketahui dari Channel YouTube Dunia Manji. Pada kesempatan itu, Hadi Pranoto diwawancarai oleh musisi Erdian Aji Prihartanto atau Anji di Pulau Tegal Mas, Lampung.
Saat diwawancarai oleh Anji, Hadi Pranoto mengenalkan diri sebagai pakar mikrobiologi sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19. Antibodi tersebut terbuat dari bahan herbal. Ada beberapa jenis kandungan yang terdapat di dalamnya yang diklaim bisa menyembuhkan pasien terinfeksi Covid-19. Semua bahan bakunya pun berasal dari Indonesia.
Dia mengklaim bahwa antibodi tersebut bisa menyembuhkan dan bisa mencegah. Ia pun menyebut antibodi itu sudah disebarluaskan ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Antibodi Covid-19 ciptaannya tak butuh waktu lama untuk menyembuhkkan. Ia juga mengklaim bahwa pasien yang terinfeksi bisa sembuh dalam kurun waktu 2-3 hari.
Bagaiakan oase di padang pasir. Di tengah kegalauan masyarakat menanti obat penyembuh, tentu saja berita ini membuat gempar masyarakat. Banyak yang menyangkal, namun tak sedikit pula yang percaya. Klaim ini menumbuhkan harapan semu. Bahkan dikhawatirkan bisa membuat masyarakat lengah dan tidak peduli lagi dengan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus Covid-19.
Bila ditelisik lebih jauh, aksi Anji dan Hadi Pranoto bukan kasus pertama terkait klaim obat Covid-19. Beberapa waktu lalu, beberapa pejabat negara juga sempat memamerkan obat atau ramuan herbal yang diklaim bisa menyembuhkan pasien Covid-19.
Misalnya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang memperkenalkan Herbavid-19. Politikus Partai Gerindra itu mengaku sembuh dari Covid-19 setelah mengonsumsi jamu tersebut. Bahkan Satgas Lawan Covid-19 DPR mendaftarkan Herbavid-19 ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Pada 30 April lalu, jamu ini mendapat nomor registrasi TR203643421.
Namun jamu itu batal diproduksi massal usai menuai polemik. Terlebih lagi setelah protes keras Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Indonesia terhadap jamu impor dari China tersebut.
Kasus lainnya datang dari pemerintah sendiri. Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo memperkenalkan Kalung Kayu Putih (Kalung Eucalyptus) buatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Politikus Partai Nasdem itu menyebut kalung eucalyptus bisa mematikan 42 persen virus corona dalam 15 menit pemakaian. Sementara jika dipakai setengah jam, maka 80 persen virus corona dalam tubuh bisa mati, klaim Syahrul. Pernyataan Syahrul memicu protes dari publik dan parlemen. Setelah ramai dicerca, akhirnya Kementan menjelaskan kalung eucalyptus bukan antivirus corona.
Ada pula pernyataan Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal M Fadil Imran yang mengaku memberikan obat herbal asal China, Lianhua Qingwen Jiaonang ke pasien positif virus corona dengan gejala ringan sampai sedang. Fadil mengaku berinisiatif memberikan obat itu ke masyarakat Jatim yang positif virus corona berdasarkan praktik pengobatan yang sudah dilakukan di Wuhan, China dan bahkan Jakarta.
Rakyat Hilang Percaya
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, ada empat penyebab maraknya klaim obat penyembuh atau penangkal virus corona (Covid-19).
Pertama, menurut dia, adalah buruknya politik manajemen wabah oleh pemerintah. "Sejak akhir Februari sampai sekarang, kita melihat penanganan, politik manajemen penanganan wabah itu kedodoran," kata Tulus dalam konferensi persnya, Senin (10/8/2020), dikutip dari Kompas.com.
Penyebab kedua adalah aspek tekanan psikologi konsumen. Tulus mengatakan, banyak masyarakat takut dengan pandemi Covid-19 yang belum memiliki obat penawar atau vaksin. Ditambah lagi, dengan adanya tekanan ekonomi yang terdampak oleh pandemi Covid-19. "Konsumen mendapatkan tekanan yang mendalam soal ekonomi. Gaji dipotong, PHK, ini membuat konsumen mencari jalan keluar," ungkap dia.
Penyebab ketiga adalah kurangnya literasi konsumen terhadap produk obat-obatan terutama herbal. Ia mengatakan, masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bahwa perlu ada izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada setiap obat. "Bukan hal yang baru. Kebetulan Covid-19 menjadi perhatian bersama, klaim-klaim yang serupa muncul marak," lanjut dia.
Adapun penyebab terakhir adalah belum optimalnya penegakan hukum di Indonesia terkait pengawasan obat di masa pandemi Covid-19. Menurut dia, perlu ada sinergi yang kuat antara semua pihak agar penegakan hukum bisa berjalan dengan baik. "Dalam penegakkan hukum bukan semata-mata BPOM, polisi, tapi sinergi BPOM, polisi dan hakim," ucap dia.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah selama hampir 6 bulan penanganan wabah ini memang membuat rakyat hilang percaya. Pemerintah terkesan tidak siap dan gagap dalam memerangi keganasan virus ini. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Presiden sempat menyerukan untuk berdamai dengan Corona. Tidak ada roadmap yang jelas dalam penanganan wabah. Pemerintah bahkan disinyalir lebih mementingkan ekonomi daripada kesehatan masyarakat itu sendiri. Terbukti, seruan pelaksanaan new normal terus didengungkan, padahal kasus positif terus meroket.
Islam Menjaga Kepercayaan Masyarakat
Di zaman keemasannya, para dokter Muslim sangat bersemangat mengembangkan sains dan teknologi baru di dunia kesehatan. Jabir al Hayan (721-815 M) misalnya menemukan teknologi destilasi, yaitu pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia di Baghdad. Lalu ada Banu Musa (800-873 M) yang menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri. Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) yang menemukan kemoterapi. Kemudian bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.
Dunia juga sangat mengenal Ibnu Sina, bapak kedokteran modern yang sangat dikenal karena bukunya Qanun fi-at-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Selama abad 15 dan 16 saja, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 35 kali. Beliau jugalah yang menemukan termometer, meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian.
Tradisi riset di bidang kedokteran sangat dihargai di dunia kesehatan Islam. Ini jauh sangat maju dibandingkan apa yang didapati di kedokteran Eropa di masa itu. Eropa masih diliputi dengan aroma sihir dan mistis. Ar-Razi pada abad-10 sudah memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya tidak dibangun dari eksperimen ilmiah. Ibnu Sina juga dikenal dengan tujuh aturan dasar dalam uji klinis atas suatu obat yang dikembangkannya.
Kompetensi tenaga medis juga sangat diperhatikan saat itu. Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan test-test kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya. Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.
Para dokter muslim juga telah mengembangkan kode etik kedokteran. Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab al-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. (helpsharia.com)
Islam mengamanahkan kepada pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan setiap individu masyarakat. Layanan ini diberikan secara cuma-cuma namun dengan kualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat. Baik kaya maupun miskin, berkulit gelap maupun terang, muslim maupun nonmuslim. Rasulullah bersabda yang artinya: ”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
Sehubungan dengan itu, di pundak pemerintah juga terletak tanggung jawab untuk menyediakan segala sesuatu yang diperlukan bagi terwujudnya jaminan kesehatan individual masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah pembiayaan kesehatan, penyediaan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, penyediaan dan penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan, penyediaan peralatan kedokteran, obat-obatan dan teknologi terkini. Negara wajib menyediakan sarana pra sarana lainnya yang penting bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan terbaik, seperti listrik, transportasi dan air bersih, dan tata kelola keseluruhannya.
Dengan demikian, rakyat akan selalu percaya dan mendukung penuh upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Termasuk mencari alternatif obat yang bisa digunakan untuk penyakit-penyakit baru. Tidak ada klaim yang membingungkan masyarakat. Klaim hanya bisa dilakukan setelah melewati tahapan uji klinis yang ketat. Selain itu, penegakan hukum juga juga dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu.