Oleh : Marginingsih, S. Pd
(Aktivis Peduli Pendidikan )
Bagai dianak tirikan, nasib guru Honorer K2 masih belum menemui kejelasan hingga sekarang. Pengabdian sepenuh jiwa tidak berbalas penghargaan dari Negara. Gaji yang tak seberapa, bahkan ketiadaan gaji selama berbulan-bulan, menjadi fakta yang sangat memilukan. Bukannya matre, tetapi mereka juga manusia, mempunyai berbagai hajat sebagaimana para pejabat.
Ketua Perkumpulan Honorer K2, Titi Purwaningsih dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan komisi II DPR di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2020 menyampaikan bahwa masih banyak guru Honorer yang digaji secara tidak layak, bahkan ada yang hanya 150.000 per bulannya. Kondisi ini bertolak belakang dengan Program pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp600.000 kepada para pekerja swasta bergaji di bawah 5 juta. Tentu hal ini memunculkan kecemburuan sosial, termasuk kecemburuan di kalangan pekerja Honorer. Titi Purwaningsih mengatakan bahwa jika ada dana puluhan triliun untuk bansos Pekerja bergaji dibawah Rp5 juta, lebih baik dana itu digunakan untuk mengangkat guru Honorer K2 menjadi Aparatur Sipil Negara (jpnn.com (7/8/2020).
Berbagai kritik ini pun membuat pemerintah kembali mengklarifikasi pernyataan nya. Dilansir dari detik.com (12/8/2020), Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan bahwa bantuan Rp600.000/bulan dari pemerintah juga akan mengalir untuk pegawai non PNS yang bekerja di kantor Pemerintah alias Honorer. Jumlah penerima bantuan yang semula 13.870.496 orang bertambah menjadi 15.725.232 orang. Oleh karena itu anggaran untuk BLT ini pun naik menjadi 37,7 triliun dari semula 33,1 triliun. Data penerima didasarkan dari data pegawai yang terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Kebijakan ini pun masih saja menuai kritik. Direktur Eksekutif Institude for Development offline Ekonomics anda Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp 5 juta ini akan sia-sia. Pasalnya batas gaji 5 juta itu terlalu tinggi, padahal menurut Badan Pusat Statistik, upah buruh saja rata-rata Rp2,92 juta. Artinya dalam rentang Rp2,9-5 juta, masih banyak yang mampu dengan asumsi mereka tidak dirumahkan atau di-PHK. Tauhid juga menyoroti nasib pekerja informal yang setaunya banyak tidak terdaftar. BPJS per januari 2019 mencatat hanya ada 2,4 juta pekerja informal yang terdaftar, padahal potensinya 60 juta. Termasuk juga pegawai Honorer, banyak yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan (tirto.co.id, 9/8/2020).
Dari sini bisa kita lihat bahwa kebijakan pemberian BLT ini salah sasaran dan tidak menyentuh semua kalangan miskin. Banyak pegawai non PNS termasuk Honorer yang tidak terdaftar karena banyak dari mereka bukan peserta BPJS Ketenagakerjaan.
*Nasib Guru Belum Merdeka*
75 tahun Indonesia merdeka, tidak berarti kemerdekaan hakiki kita rasakan. Potret Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa masih sangat memilukan. Berkali-kali guru Honorer diberi janji, sampai saat ini janji tidak juga ditepati. Jika kita amati, pendidikan sebagai pilar penting dalam pembangunan bangsa, masih sangat jauh dari kata sempurna. Kita masih banyak menyaksikan bangunan sekolah reyot, bahkan beberapa bangunan sekolah ambruk hingga memakan korban. Guru pun digaji dengan nominal yang pas-pas an, terlebih guru Honorer yang gajinya tak genap 1 juta.
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah menetapkan anggaran pendidikan yang cukup besar yaitu 508,1 triliun, 20% dari APBN 2020. Namun, mengapa kualitas pendidikan kita masih buruk?
Menteri Keuangan pada Kabinet Kerja, Sri Mulyani mengatakan bahwa beliau kecewa, APBN yang diberikan oleh Negara untuk pendidikan Indonesia belum memadai. Pasalnya, skor Indonesia berdasarkan hasil skor penilaian siswa Internasional (PISA), Indonesia masih kalah dengan peringkat pendidikan negara Thailand dan Vietnam (ayo.semarang.com, 29/11/2020). Dilansir dari halaman yang sama, ternyata alokasi anggaran pendidikan selama ini tidak hanya untuk Kemendikbud saja, tetapi juga dibagikan kepada sejumlah pemangku kepentingan yang terkait dengan dunia pendidikan seperti Kementerian Agama dan Kemenristekdikti. Jadi, selama ini Kemendikbud hanya mengelola 10% anggaran pendidikan. Maka sangat wajar dana yang sangat minim ini tidak mampu memberikan akses pendidikan berkualitas bagi segenap anak bangsa, pun tidak mampu memberikan intensif yang layak bagi para guru. Terlebih pada masa pandemi saat ini. Anggaran pemerintah semakin membengkak, tak ayal hutang menjadi solusi nya.
*Salah Kelola Keuangan Negara*
Sungguh sangat disayangkan, negeri yang berlimpah kekayaan alam nya seperti Indonesia, menjadi negara dunia ketiga yang terbelakang pendidikannya. Mengapa bisa?
Jika kita lihat APBN Indonesia 2020, masih saja kran pendapatan negara bersumber utama dari pajak dan hutang, bukan dari kran kekayaan sumber daya alam. Total anggaran pendapatan negara 2020 yaitu 2.233,2 triliun, 1.865,7 triliun atau 83 persen berasal dari pajak, sedangkan kran SDA hanya sebesar 160,4 triliun atau 0,07% saja (kemenkeu.go.id/apbn2020). Bisa dikatakan, belum ada inisiatif pengelolaan yang serius dan mandiri terhadap SDA negara. SDA Indonesia diliberalisasikan pengelolaan nya sehingga banyak pihak asing ikut mengeruk kekayaan kita yang berlimpah. Rakyat menikmati secuil saja.
Lalu, bagaimana dengan hutang Indonesia? Dilansir dari berita.jember (19/7/2020), hutang Indonesia terus mengalami kenaikan, hingga akhir Mei 2020, hutang luar negeri Indonesia tembus US$ 404,7 miliar atau setara dengan Rp5.949 triliun. Hutang RI mencapai 5 kali lipat APN 2020. Fantastis! Hutang sebesar ini akan sangat membebani APBN sehingga banyak alokasi dana terbuang untuk membayar hutang dan bunga nya. Dana yang harusnya bisa digunakan untuk menggaji guru, digunakan untuk membayar bunga hutang yang jumlahnya mencapai ratusan triliun.
*Guru Sejahtera dalam Sistem Sempurna*
Kondisi terpuruk seperti ini, harus membuat negari ini segera mencari solusi. Negara harus mencari dan mengadopsi sistem aturan yang sempurna, jauh dari sistem kapitalisme seperti saat ini. Guru yang mempunyai jasa mulia dalam mendidik dan menanamkan nilai-nilai aqidah akhlak pada generasi bangsa, sudah selayaknya mendapatkan fasilitas dan gaji layak.
Tercatat dalam sejarah, diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaidah, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji 15 dinar atau setara dengan Rp31 juta setiap bulan. Kepemimpinan Islam dalam menghadirkan sistem pendidikan yang berkualitas dilakukan tanpa ketergantungan kepada asing. Negara mengelola SDA dengan pengelolaan mandiri dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk menggaji para guru tanpa membedakan status guru, ASN atau non ASN (honorer). Guru mendapatkan perhatian yang serius oleh Negara. Bahkan di dalam Islam, guru mendapatkan posisi mulia. Disebutkan dalam sebuah hadist _"Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bershalawat kepada muallim (orang yang berilmu dan mengajarkannya) yang mengajarkan kebaikan kepada manusia_. (HR. Tirmidzi). Jika semut saja memuliakan muallim (guru), maka sudah menjadi kewajiban negara untuk memuliakan nya.
Inilah gambaran sistem yang mandiri, yang mampu membuat negara kuat tanpa bergantung dengan pihak lain, tanpa hutang dan intervensi dari pihak asing. Tak ada salahnya jika sistem baik ini kita jadikan solusi dalam memperbaiki negeri ini. Berharap kemuliaan akan menaungi negeri dan seluruh guru di negeri ini.
_Wallahu'alam bisshowab_