Oleh : Sri Rahmawati
Kewajiban seorang istri muslimah terhadap suaminya bisa dibilang teramat sulit untuk dijalankan namun ada pula yang mudah dan mampu menjalankannya dengan penuh keikhlasan seperti yang dicontohkan oleh para wanita teladan yaitu istri-istri Rosululloh SAW.
Fenomena jaman sekarang, banyak para wanita yang abai menjalankan kewajibannya sebagai istri secara paripurna.
Ada penuturan seorang teman saya yang baru saja resign dari sebuah perusahaan. Selama hidup bertahun-tahun dalam karirnya yang terbilang lumayan gemilang, selalu mendapat pujian, simpatik, dan setiap rekan kerja dimanapun yang dia temui menaruh rasa hormat kepadanya. Begitu memutuskan resign dan menjalani kehidupan sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu yang full membersamai keluarganya dirumah dua puluh empat jam sehari. Dia awalnya merasa begitu kaget dengan keadaan yang drastis berubah, “saya shock banget, beneran deh seorang ibu rumah tangga itu kerjaannya pembantu abis dah, enggak pernah saya seletih ini tiap hari. Enakan dulu semasa kerja, pulang kantor sudah tersedia makan sore plus teh manis yang dibikin asisten di rumah, anak-anak sudah mandi semua harum, rumah rapi bersih, hampir tiap hari pulang kerja mampir belanja dulu kebutuhan sendiri dan keluarga pakai uang sendiri, dompet tebal tidak perlu minta suami, sama tetangga dan keluarga dihargai. Pulang kerja badan capek tinggal nelfon tukang pijit.”
“Lah sekarang menjadi ibu rumah tangga memangnya kenapa?” tanya saya.
“Asli dah pembantu abis, dulu karir sekarang kuli, semua yang saya anggap kerjaan rendahan kudu dilakuin, pagi paling sibuk di dapur sampai nyemirin sepatu suami, suami berangkat kerja dan anak-anak berangkat sekolah enggak bisa istirahat lanjut beres-beres dan ini itu sampe malam pun kudu nyiapin apa yang dibutuhkan suami pulang bekerja, udah ngantuk mau tidur malah suami minta dipijit dan dilayani, belum yang balita merengek terbangun, ampun dah semenjak saya keluar kerja, suami malah makin manja, dikit-dikit sering minta ini dan itu.”
Ada lagi kisah lucu teman saya yang kreatif sibuk bisnis sendiri di rumah. Suatu malam saking letihnya dia berbisnis, ketika suaminya memintanya untuk dilayani, spontan terlontar kata-kata yang tidak baik dari mulutnya, “Maaf Mas, saya ngga berdaya, capek banget, sana gih Mas cari lagi istri lain, saya rela Mas poligami”.
Kisah lucu lain, teman saya yang tidak bekerja alias ibu rumah tangga, dia terlihat begitu kesal ketika pulang dari acara reunian. Setelah ditanya dia menjawab,”Nyebelin ustadz tadi, masa menyamain seorang istri dengan pekerja seks komersil (PSK)”, “memangnya kenapa?” tanya saya merasa bingung maksudnya apa, “Iya, katanya seorang istri itu dalam melayani suaminya harus lebih-lebih dari seorang PSK. Sudah tahu pekerjaan saya di rumah tuh seabreg, masa kudu dandan menor menyambut suami pulang gitu”.
Ada juga seorang istri yang begitu taat menjalankan perintah Alloh, namun setengah hati menjalankan kewajibannya kepada suami, “Saya merasa suami menghalangi jalan saya untuk taat kepada Alloh, saya jadi tidak bisa istiqomah tahajud dan puasa sunah gara-gara suami selalu minta dilayani.”
Kebanyakan wanita menikah belum mempersiapkan bekal ilmu yang cukup untuk menjalankan bahtera dalam rumah tangga. Namun, dengan kasih sayang dan rahmat Alloh, setiap istri dibimbing melalui pelajaran kehidupan yang syarat makna.
Apakah betul seorang istri sholihah melakukan pekerjaan-pekerjaan rendahan, kuli, tukang masak, tukang nyemir sepatu, tukang disuruh-suruh, hingga harus melebihi seorang PSK dalam melayani suami. Apakah pekerjaan tersebut tidak bernilai?
Menurut Alquran dan hadits, istri yang salehah adalah ia yang mengikuti perkataan suami. Suami merupakan imam dan pemimpin bagi wanita yang telah menikah.
Dalam surat An Nisa ayat 34, Allah berfirman, "Kaum laki-laki itu pemimpin wanita. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) alas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Maka wanita yang salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki."
Tentunya yang harus diikuti adalah aturan ataupun nasihat yang berhubungan dan tidak melenceng dari apa yang sudah diajarkan dan diperintahkan Allah SWT.
Mengikuti apa yang disampaikan suami bukan semata-mata karena suami, melainkan karena memang disebutkan pula oleh Allah, ketaatan ini hadir atas dasar karena Allah SWT.
Apabila di malam hari seorang istri yang sudah lelah dengan tugas kesehariannya, diminta sang suami untuk memijitinya, bersabarlah dan segera laksanakan. Sambil memijiti suami, istri bisa mendulang pahala lebih banyak lagi sambil lisan berdzikir, beristrighfar, mudah-mudahan Alloh menggugurkan dosa-dosa istri kepada suami seiring dengan tenaga yang kita keluarkan untuk membahagiakan suami. Istri cerdas dia yang melakukan kewajibannya terhadap suami sambil menjalankan amalan sunnah berdzikir. Atau istri yang menahan rasa ngantuk untuk sekedar menjadi pendengar setia atas curhatan suami menjelang tidur adalah ibadah. Istri sholihah sangat memperhatikan kebutuhan dan keinginan sang suami, hingga urusan kecilpun terlihat noda sedikit di sepatunya segera membersihkannya.
Ketaatan seorang istri pada suaminya disebut setara nilainya dengan jihad kaum lelaki. Hal ini dikisahkan ketika ada seorang perempuan yang datang kehadapan Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah SAW, saya mewakili kaum wanita untuk menghadap tuan (untuk menanyakan tentang sesuatu). Berperang itu diwajibkan Allah hanya untuk kaum lakilaki, jika mereka terkena luka, mereka mendapat pahala dan kalau terbunuh maka mereka adalah tetap hidup di sisi Allah. lagi dicukupkan rezekinya (dengan buah-buahan Surga). Dan kami kaum perempuan selalu melakukan kewajiban terhadap mereka (yaitu melayani mereka dan membantu keperluan mereka) lalu apakah kami boleh ikut memperoleh pahala berperang itu?"
Mendengar itu, Rasul pun bersabda, "Sampaikanlah kepada perempuan-perempuan yang kamu jumpai bahwa taat kepada suami dengan penuh kesadaran maka pahalanya seimbang dengan pahala perang membela agama Allah. Tetapi sedikit sekali dari kamu sekalian yang menjalankannya."
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Para Istri, jihadmu yang mulia ada di dalam rumahmu. Pekerjaan rumah tangga itu bukanlah pekerjaan rendahan, sebagaimana Sayidina Fathimah anak kesayangan Rosululloh yang terluka kedua telapak tangannya karena mengerjakan pekerjaan rumah tangga sangat dipuji oleh Rosululloh serta menyarankan Fathimah untuk tetap bersabar menjalankan tugasnya tanpa dibantu asisten rumah tangga. Hanya dengan dzikrulloh di malam hari menjelang tidur yang akan men-charge tenaganya agar kembali enerjik menjalankan aktivitas keesokan harinya.
Setiap kali letih itu hadir, setiap kali berbarengan dengan permintaan suami untuk dilayani, banyak ngobrol saja sama Alloh di dalam hati, “Tidak apa-apa ya Alloh, saya letih sekali tapi saya senang melakukannya agar Alloh juga senang dan semakin sayang kepada saya.Tidak apa-apa ya Alloh, saya ridho dan Alloh akan menghadiahi syurga. Tidak apa-apa ya Alloh, rumah tangga saya akan dipenuhi limpahan barokah selamanya” Komunikasi dengan Alloh adalah penyemangat diri. Dzikrulloh adalah power bank yang akan memberikan kekuatan dan semangat luar biasa bagi para istri untuk bisa kembali beraktivitas yang maksimal.
Diri kita memang lemah, kita mudah lelah. Mintalah dikuatkan oleh Allah. Minta diberikan keberkahan dalam aktivitas. Karena sungguh, sekuat apapun kita, kita tidak akan berdaya tanpa Nya.
Wallahu'alam bish shawab.