Oleh: Herawati, S.Pd.I
"Terima Kasihku Ku Ucapkan
Pada Guruku Yang Tulus
Ilmu Yang Berguna Slalu Di Limpahkan
Untuk Bekalku Nanti"
"Setiap Hariku Di Bimbingnya
Agar Tumbuhlah Bakatku
Kan Ku Ingat Slalu Nasihat Guruku
Trima Kasihku Guruku".
Lantunan indah lagu yang berjudul "Terima kasihku" ciptaan Sri Widodo, tidak seindah nasib guru diera kapitalisme, pahlawan mulia tanpa tanda jasa, saat ini sedang berduka karena jauh dari kata sejahtera.
Dilansir dari, https://mediaindonesia.com/read/detail/305735-tunjangan-dipotong-untuk-penanganan-covid-19-guru-protes.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun. Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun.
Pemerintah seharusnya menjadi institusi yang menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat, khususnya guru. Tidak sepatutnya pemerintah memotong tunjangan guru, terlebih di masa pandemi, pemerintah seharusnya memberi bayaran terbaik kepada guru dalam menjalankan amanahnya sebagai seorang pendidik generasi.
Tugas mulia ini dirasakan guru lebih berat karena generasi saat ini sudah banyak mengalami degradasi moral yang sikapnya pada guru terkadang tidak manusiawi minim adab, maka seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih pada guru dan dunia pendidikan, bukan sebaliknya.
Kebijakan sepihak pemerintah memotong tunjangan guru telah menegaskan bahwa rezim kapitalisme egois dan minim empati terhadap kepada guru, bahkan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyayangkan langkah pemerintah ini.
Didalam pemerintah IsIam (khilafah), pendidikan mendapat tempat yang sangat penting dalam Islam, ini karena disesuaikan dengan seruan Rosulullah tentang penting dan wajibnya menuntut Ilmu, karena hakikatnya ilmu adalah cahaya yang bisa mengantarkan pada Iman dan takwa, Rasulullah bersabda;
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim”
(HR. Ibnu Majah no. 224)
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, Allah Ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”
(HR. Muslim no. 2699)
Maka tidak heran banyak sekolah dan universitas didirikan dimasa pemerintahan Islam, salah satunya adalah Universitas tertua adalah universitas al-Qarawiyyin, Universitas Sankore, dan Universitas Al-Azhar.
Perihal gaji guru, maka saat itu Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada guru perorang sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).
Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000.
Dalam sistem Islam kesejahteraan guru sangat diutamakana.
Pada masa kekhilafah Abbasiah, khalifah Al- Ma'mun para sejarawan mencatat bahwa tidak ada seorang khalifah dari Bani Abbasiah yang lebih berilmu dari pada Al Ma’mun. Khalifah Al-Ma'mun berani mengeluarkan biaya yang besar untuk para penerjemah.
seperti Hunain bin Ishak mendapatka hadiah emas dari Al Ma’mun seberat buku yang diterjemahkannya.
Itulah keagungan sistem pemerintahan Islam, yang sangat tinggi perhatiannya pada guru dan pendidikan, karena generasi Rabbani lahir dari sistem pendidikan Islam, bukan dari sistem pendidikan sekuer.