Tak Cukup Boikot, Butuh Sistem Untuk Menangani LGBTQ

Oleh: Ainul Ma’rifah, S.Si

“Barangsiapa yang berzina maka harus dihukum mati, baik orang yang sudah menikah ataupun belum. Dan barangsiapa berbuat homoseksual maka harus dijatuhi hukuman mati.”

Itulah salah satu bunyi undang-undang dalam kitab Ilyasa. Kitab yang menjadi aturan bagi bangsa Mongol di Mongolia. Mongolia adalah sebuah negara di sebelah utara China yang berbatasan dengan wilayah Siberia, Rusia. Tercatat dalam sejarah bahwa bangsa Mongol mulai muncul pada akhir abad ke-12 atau awal abad ke-13 masehi. Dimana sebelumnya bangasa ini tidak pernah diperhitungkan dalam kancah dunia internasional kala itu. 

Kemunculan bangsa Mongol diawali oleh persatuan negeri mereka dalam satu kepemimpinan oleh seorang Khan (gelar bangsawan bangsa Mongol) yang Temujin dan kemudian digelari nama Jenghis Khan. Dalam sejarah kehidupan manusia, Jenghis Khan adalah salah satu manusia yang memiliki sejarah kelam kebengisan dan kekejiannya dalam penakhlukkan negeri-negeri yang ia kuasai. Termasuk kebengisannya telah meruntuhkan kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1258 M.

Al-Maqrizi, seorang sejarawan Mesir pada abad pertengahan yang aktif selama era bani Mamluk pernah menuturkan tentang kitab Ilyasa milik bangsa Mongol. Ia berkata, “Jenghis Khan yang berhasil menyatukan bangsa Mongol mulai membangun dinasti dengan menetapkan sejumlah aturan dan hukuman yang dikumpulkan dalam sebuah kitab bernama Ilyasa. Ketika buku itu sudah secara resmi digunakan, maka segala isisnya kemudian diukir pada lempengan dari baja agar dapat menjadi acuan bagi kaumnya. Lalu bangsa Mongol pun menjalankan semua hukum yang tercantum disana, hingga Allah manqdirkan berakhirnya dinasti tersebut. Ketika itu Jenghis Khan bukanlah seseorang yang memeluk suatu agama tertentu. Sehingga, dengan disahkannya kitab tersebut, maka Ilyasa menjadi undang-undang mulai saat itu hingga seterusnya. Dan tidak ada yang boleh melanggar hukum yang tertera dalam kitab tersebut.”

Kerasnya kepemimpinan Jenghis Khan telah menjadikan bangsa Mongol tak pernah melanggar aturan tersebut. Termasuk hukum yang mengatur tentang perbuatan homoseksual. Tak ada satupun bangsa Mongol berani melanggarnya. Ketegasan Jenghis Khan dalam menjalankan hukum-hukum yang dibuatnya bukan hanya isapan jempol semata. Baginya, menjaga hukum-hukum tersebut agar tetap dipatuhi lebih penting dari pada membunuh seorang rakyat yang melanggar dan merusak ketetapan hukum tersebut.

Itulah sejarah bangsa Mongol dengan undang-undang Ilyasanya. Satu aturan yang patut dicermati oleh manusia abad 21 hari ini sepertinya, utamanya tentang hukuman bagi pelaku homoseksual. Ketika gelombang manusia-manusia yang menyebut diri mereka “kaum pelangi” dengan percaya diri tampil di depan publik dan merayakan bulan mereka pada Juni lalu. Apalagi munculnya dukungan besar dari dunia atas keberadaan mereka yang sangat meresahkan. Diawali oleh perusahan sebesar Unilever atas pernyataannya di akun media sosial instagram yang akhirnya mendapat kecaman dari masyarakat luas. Tidak hanya itu,  platform besar media sosial seperti instagram, facebook, google juga terang-terangan menunjukkan dukungan atas keberadaan mereka. Hingga memunculkan kecaman di dunia maya dan diiringi seruan boikot atas produk-produk mereka, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia.

Pertanyaannya, apakah aksi boikot saja sudah cukup untuk menghilangkan perbuatan menyimpang pelaku seksual kaum LBGTQ? Tidak mungkin bisa. Membuat aksi boikot mungkin hanya akan merugikan produsen, tetapi tidak ada jaminan bahwa dukungan terhadap kaum LGBTQ akan dihentikan. Tidak ada jaminan pula bahwa kaum yang tergabung dalam LGBTQ akan musnah. Tetap saja mereka akan eksis dan percaya diri menunjukkan siapa dirinya.

Maka disinilah perlu sebuah hukum dan tidak cukup hanya boikot. Sebagaiamana dengan aturan kitab Ilyasa bangsa Mongol. Jika Jenghis Khan yang tak bertuhan saja paham bahwa perilaku LGBTQ adalah perilaku menyimpang dan pelakunya harus dihukum mati, apalagi kita bangsa yang beragama. Maka penghentian paling efektif terhadap perilaku menyimpang LGBTQ adalah juga harus dilakukan dengan upaya sistematis dalam sebuah aturan perundang-undangan.

Hanya saja, tidak mungkin aturan tersebut diterapkan oleh sistem dimana justru perilaku kaum LGBTQ mendapat dukungan dan mendapat jaminan di dalamnya. Sistem sekuler kapitalistik tak akan mungkin bisa menerapkan hukum tersebut. Karena kebebasan berekspresi termasuk dalamnya aktivitas berorientasi seksual dijamin dalam iklim sekuler kapitalistik.

Oleh karenanya, hanya sistem yang mengatakan bahwa LGBTQ adalah perilaku menyimpang yang bisa menerapkannya. Dan sistem tersebut harus bersumber dari Sang Pemilik kehidupan sebagai acuan bagi manusia, dan bukan sistem buatan manusia itu sendiri. Dan hanya sistem Islam dari Sang Khalik Allah SWT yang mampu melaksanakannya. Sudah jelas di dalam syariat Islam bahwa perilaku homoseksual atau disebut liwath adalah perilaku menyimpang LGBTQ yang dalam sistem Islam memiliki undang-undang tersendiri. Dalam Islam perilaku omoseksual tersebut dibelakukan atas pelakunya hukuman mati. Itulah satu-satunya cara menghilangkan kaum LGBTQ. Tidak ada yang lain. Wallahua’lam bi ash-showab.
Previous Post Next Post