Mahasiswa Pascasarjana
Senin, 13 Juli 2020, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) dan organisasi nirlaba Internews menggelar aksi diskusi webinar dengan tajuk “Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual Secara Serius” (sulsel.idntimes.com, 14/07/2020). Solusi yang ditawarkan dari permasalahn tersebut adalah keinginan untuk membahas RUU PKS lebih mendalam sebagai bentuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual yang kini marak terjadi.
Maraknya kasus kekerasan seksual mulai dari ranah balita hingga dewasa semakin menambah miris kerusakan pergaulan saat ini. Dikutip dari medcom.id (08/07/2020), bahwasanya data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia, jumlah kasus kekerasan seksual meningkat mencapai 100 lebih dalam setahun. Disisi lain, jumlah kekerasan yang tidak dilaporkan juga diyakini masih ada, dikarenakan ketakutan korban untuk melapor. Kekerasan seksual terhadap perempuanpun masih berasa di jumlah terbesar dibandingkan dengan kekerasan seksual terhadap laki-laki.
Beberapa lembaga mensolusikan upaya penanganan kekerasan seksual dengan pembahasan dan pengesahan RUU PKS. RUU PKS digadang-gadang sebagai solusi terbaik pencegahan kekerasan seksual di Indonesia. Lantas benarkah seperti itu?
Menilik pengertian kekerasan seksual sendiri sebenarnya cukup mengherankan, hal ini dikarenakan terdapat beberapa kriteria kekerasan seksual sebagai aktivitas paksaan. Seperti pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi atau sterilisasi, dan prostitusi paksa. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah jika melakukan aktivitas tersebut karena kehendak pribadi maka tidak masuk kedalam kekerasan seksual?
RUU PKS cenderung melanggengkan liberalisasi. Liberalisasi prostitusi dengan dalih dilakukan karena keinginan hati. Maraknya aborsi dengan dasar ketidakterpaksaan dan pada akhirnya perzinahan bebas terjadi di negeri ini. Niatan ingin menghapus kekerasan seksual melalui RUU PKS, namun malah semakin membuka celah lebar adanya liberalisasi seksual. Masihkan kita berharap pada RUU PKS?
Sejatinya kekerasan seksual akan terus terjadi selama kondisi negeri ini masih dengan pemahaman serba bebas. Apalagi hukum yang diberikan kepada orang satu dan orang lain memiliki perbedaan sanksi dengan kasus hukum yang sama. Tidak adanya pemahaman yang benar terkait sistem pergaulan di tengah-tengah masyarakat dan kehidupan di sistem kapitalisme yang serba acuh semakin memperburuk kondisi.
Hal ini jauh berbeda dengan pandangan Islam yang memandang manusia, baik laki-laki dan perempuan dengan sebaik-baik pandangan. Islam memanadang bahwa laki-laki yang baik adalah laki-laki yang menundukkan pandangannya, memuliakan istrinya dan menjaga anak-anaknya, sehingga tidak terbesit keinginan untuk menyentuh yang bukan muhrim apalagi sampai melakukan kekerasan seksual. Begitupula wanita yang baik adalah wanita yang menjaga kemaluannya, sehingga wanita akan berhati-hati dalam aktivitasnya agar tidak mendatangkan pandangan maupun aktivitas buruk dari laki-laki. Hanya saja kondisi seperti ini tidak akan bisa terlaksana secara sempurna jika tidak ada peran negara yang menjaminnya. Oleh karena itu, hanya sistem Islamlah yang benar-benar mampu mewujudkan kondisi ideal pergaulan laki-laki dan perempuan serta secara tuntas menghapus kekerasan seksual baik kepada laki-laki, perempuan, anak, maupun orang tua.