Oleh: Ade Farkah
(Anggota Forum Muslimah Peduli Umat)
Covid-19 layaknya bola salju terus menggelinding, membesar secara liar dan tanpa henti. Begitulah kiranya, gambaran yang terjadi di negeri ini. Bahkan mungkin di seluruh dunia. Tentu, dengan efek domino yang memilukan. Salah satunya, membawa krisis.
Krisis memang tidak dikehendaki. Terkadang begitu saja terjadi. Namun, kedatangannya bisa diprediksi. Tanda-tandanya bisa dipelajari. Dalam banyak ayat Alquran, disebutkan bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada segenap manusia untuk menggunakan akalnya, memikirkan kejadian alam beserta hikmahnya.
Karenanya, Allah Swt. memberikan pujian kepada siapa yang mematuhinya. Yakni bagi upaya manusia mengoptimalkan rasionalitasnya untuk memaknai tanda-tanda kebesaran-Nya. Sekaligus hinaan bagi orang-orang sombong dengan pengabaiannya.
Lantas muncul pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia? Agaknya tak bisa mengelak, negara kita tengah berada di tengah pusaran badai krisis. Masih menjadi tema hangat. Publik Indonesia disuguhi pemberitaan heboh. Rekaman video berisi momen ketika presiden bernada tinggi.
Pasalnya, Jokowi merasa kecewa dengan kurangnya sense of crisis yang dimiliki oleh para menteri. Bahkan sampai muncul ancaman untuk melakukan pembubaran lembaga atau menempuh tindakan reshuffle. Sindiran tajam dihujamkan kepada mereka sebagai pengayom dan pengurus rakyat (detik.com, 28/6/20).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap tindakan presiden, ada hal menarik untuk dicermati. Sense of crisis adalah sesuatu yang alamiah terjadi. Kemunculannya tidak bisa direkayasa karena melibatkan aspek emosi. Meski hal ini bisa saja dilatih. Kemungkinan semacam ini hanya timbul dalam lingkungan yang steril dari pengaruh duniawi (harta, tahta dll). Termasuk dalam hal mengurus rakyat.
Sense of crisis memiliki banyak pengertian diantaranya kepekaan, kewaspadaan, kesegeraan, kesigapan dalam menghadapi krisis. Krisis sendiri merupakan keadaan mendesak yang harus segera diselesaikan. Oleh karena itu, selain melibatkan aspek emosi untuk bisa berempati, juga dibutuhkan kecerdasan untuk mengatur strategi agar tindakan menjadi tepat sasaran.
Hal semacam ini mustahil didapatkan pada orang-orang yang cinta dunia dan takut mati. Karena orientasi mereka bukanlah rida dari Tuhan pencipta alam. Melainkan bagaimana memperkaya diri sendiri dan melebarkan kekuasaan. Itulah sejatinya karakter yang diciptakan oleh sistem sekuler seperti hari ini.
Dalam sistem sekuler-kapitalis, pengurusan terhadap rakyat didasarkan pada prinsip untung rugi. Sehingga tidak heran jika kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat kontradiktif. Tumpang tindih antara satu dengan lainnya.
Inilah penyebab krisis menjadi semakin besar. Bermula pada kesalahan tentang penetapan aturan pengelolaan manusia, alam semesta dan kehidupan. Yakni pengabaian terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt. sebagai zat yang maha mencipta (Al Khaliq) dan mengatur (Al Mudabbir).
Kini, bisa kita saksikan akibatnya. Timbul berbagai macam kerusakan yang disebabkan oleh kesombongan dan keserakahan manusia.
Untuk dapat memiliki sense of crisis yang tinggi, maka perlu adanya ketajaman perasaan dan pemikiran. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang merasa cukup dengan harta dan selalu mengingat mati. Mereka lahir dari sistem yang benar berdasarkan prinsip ketuhanan dan sesuai dengan fitrah manusia yakni sistem Islam.
Dalam sistem Islam, mengatur urusan umat adalah amanah yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya di yaumil hisab. Barangsiapa teguh memegang amanahnya, maka ada pahala sebagai balasannya. Pun sesiapa abai terhadap amanah yang dipikulnya, maka azab Allah menantinya.
Inilah prinsip utama dalam pelaksanaan tugas pengurusan umat. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang diambil dalam rangka mengurus kebutuhan masyarakat merupakan kebijakan solutif dan tidak membebani masyarakat. Dengan demikian, sense of crisis akan muncul dengan sendirinya tanpa harus menunggu perintah. [] Waallahu a'lam