Oleh : Yuni Puspita
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Surabaya
Sungguh miris saat kita membandingkan apa yang menjadi cita-cita hukum dengan kondisi real saat ini. Seolah keadilan merupakan barang limited edition yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir kalangan. Ketika kita menyaksikan dengan jelas keadilan tidak ditegakkan dengan semestinya. Sungguh memilukan hukum negeri ini, konon keadilan telah disematkan dalam Pancasila yaitu sila ke-5 yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Namun sampai detik ini kita masih menyaksikan bahwa sebuah ketidakadilan masih di pertontonkan dengan sangat vulgar. Lalu apakah Pancasila sila ke-5 hanya digunakan sebagai slogan semata? Jangan sampai hukum ini diinjak sendiri oleh mereka yang mengaku sebagai penegak sebuah keadilan.
Kepolisian, kejaksaan dan pengadilan itu ada untuk rakyat, bukan untuk melindungi mereka sendiri.
Dan hari ini kita melihat kembali bagaimana kebobrokan sebuah sistem yang memperlihatkan ketidak adilan sebuah hukum di Indonesia.
Dari kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan. Dimana tersangka pelakunya hanya dituntut 1 tahun penjara. Novel Baswedan menilai penyiraman air keras terhadap dirinya merupakan serangan yang maksimal, tetapi anehnya pelaku hanya dituntut hukumam yang ringan.
Demikianlah ketika hukum buatan manusia yang diterapkan maka kebobrokan dan kerusakan akan selalu ditemukan. Berbeda jika hukum yang diterapkan adalah hukum yang berasal dari pencipta manusia yaitu Allah Al-'Adl. Maka keadilan akan sangat sempurna tercipta bagi kehidupan manusia sebagaimana yang telah terbukti di masa 1400 tahun silam. Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 50, yang berbunyi:
أَفَحُكْمَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
Di dalam hukum Islam, ada bentuk hukum yang di sebut qishas yaitu pembalasan yang setimpal. Nyawa dibalas dengan nyawa, telinga dibalas dengan telinga, mata dibalas dengan mata. Tetapi ketika si korban atau keluarga korban memaafkan maka di dalam Islam ada yang disebut dengan diyat. Diyat adalah tebusan yang harus dibayar oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban. Contoh pembunuhan misalnya, apabila korban atau keluarga korban memaafkan. Maka si pembunuh wajib memberikan 100 ekor unta kalau dikonversikan ke dalam rupiah 1 ekor unta adalah 40 juta. Maka si pembunuh wajib membayar 4 miliar. Untuk Diyat yang lain contohnya penglihatan, apabila seseorang menjadi korban hilang kedua matanya atau penglihatannya maka diyatnya penuh seperti diyat pembunuhan. Kalau pun kemudian dimaafkan, maka wajib membayar 100 ekor unta sebagai diyat. Akan tetapi jika salah satu penglihatan yang hilang maka membayar separuhnya yaitu 50 ekor unta atau senilai 2 miliar. Diyat hanya berlaku apabila korban memaafkan, akan tetapi jika si korban keberatan dan tetap menuntut diterapkan hukum berarti kembali lagi kepada hukum qishas yaitu hukum yang setimpal.
Inilah adilnya hukum Islam dimana salah satu tujuannya adalah Hifdzun Nafs atau menjaga jiwa.
Islam bukan hanya mengatur sistem hukum saja akan tetapi segala aspek kehidupan. Mengatur sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan atau interaksi dengan masyarakat, maupun sistem perdagangan. Karena hanya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dapat menjadikan rahmat untuk seluruh alam.
Semoga hukum Allah Ta'ala ini bisa merata di seluruh semesta dan diterapkan di nusantara.
Wallahu a'lam bishawab