By : Tri Silvia
'Jokowi Marah', itulah tagline besar yang dipampang oleh berbagai media. Video yang menunjukkan luapan kemarahan Presiden atas kinerja para menteri, di upload dan beredar sepuluh hari usai kejadian. Dalam video tersebut, beliau memarahi para menterinya yang beliau anggap tidak punya 'Sense of Crissis'. Beliau pun mengkritik tentang lambatnya para menteri untuk menyelesaikan persoalan bencana yang hingga kini masih meliputi negeri ini dan berbagai belahan dunia lainnya, corona.
Tak lama setelah video tersebut beredar, kolom komentar pun langsung dibanjiri oleh para netizen yang terhormat. Berbagai argumentasi muncul tanpa sela. Komentar-komentar tersebut muncul begitu saja dalam jumlah yang banyak dan sudut argumentasi yang berbeda-beda. Mulai dari argumen yang positif semisal pujian atas tindakan bapak presiden, mendukung resuffle kabinet, ikut mengklaim kesalahan para kementrian, dan bahkan bersedih melihat kemarahan yang sangat dari sang Presiden. Namun, banyak pula netizen yang mengeluarkan argumen yang berseberangan semisal, kemarin kemana saja, harusnya pemimpin tertingginya juga dimarahi, marah kok pake teks, kecewa dengan penanganan covid, prank, dan lain-lain. Sampai ada pula yang menanyakan tentang masalah RUU HIP yang sedang panas-panasnya sebelum video tersebut dikeluarkan. Tak hanya para netizen yang berkoar tentang pendapatnya, para pakar komunikasi dan perpolitikan pun turut angkat suara terkait dengan hal tersebut.
Teknologi dunia kini sudah semakin canggih, termasuk teknologi informasi didalamnya. Akses media sosial pun sudah teramat lancar, hingga masyarakat semakin lincah dan cerdas menanggapi/ menyikapi suatu kondisi peristiwa yang ada. Mereka pun dihadapkan dengan berbagai fakta yang jelas terpampang di depan mata. Tak ada yang tersamar, hanya saja pilihan-pilihan lah yang membuat mereka enggan melihatnya, memalingkan muka atau justru melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang yang mereka kehendaki saja, yang mengandung manfaat untuk mereka.
Pemimpin yang baik adalah cerminan dari masyarakat yang baik. Begitupula masyarakat yang baik merupakan hasil dari pengaturan pemerintahan yang baik. Ada keterkaitan diantara keduanya bahkan amat sangat erat. Pemimpin memiliki tugas mengayomi rakyat, adapun rakyat harus taat dan tunduk terhadap aturan pemimpin. Namun dengan catatan jika dan hanya jika pemimpin tersebut membawa kebenaran untuk rakyatnya. Tak perlu lihat kebaikan atau manfaat dari sudut pandang manusia yang beragam. Lihat saja aturan ilahiah yang terpampang, sudah jelas mengatur seluruh aspek kehidupan tanpa cacat dan cela. Tak berdasar akal manusia, sehingga tak akan ada salah yang terjadi. Semua kebijakan dilakukan atas dasar tanggungjawab dan ketaatan pada Ilahi Rabbi, bukan sebab manfaat apalagi keuntungan.
Sebagaimana tugas pemimpin untuk mengayomi urusan rakyat, sudah seharusnya beliau memiliki kuasa untuk mengatur para aparat dibawahnya. Tidak hanya dalam kondisi sekarang dimana semuanya sudah terlalu rumit untuk diuraikan. Namun dari awal masuknya virus corona ke Indonesia, bahkan sejak awal mewabahnya virus tersebut di negara asal. Harusnya pemimpin sudah bisa sigap menyikapi dan menyusun strategi bersama para aparat di bawahnya. Sehingga tidak ada kesimpangsiuran kebijakan ataupun informasi yang keluar dari satu pihak saja. Sehingga negeri ini mampu melesat dengan cepat dalam memberantas pasukan virus corona yang amat sangat berbahaya tersebut. Oleh karena itu, wajarlah jika banyak diantara para netizen yang mempertanyakan tentang 'kenapa baru sekarang, kemarin kemana saja?'.
Salah urus ini terjadi nyatanya bukan hanya karena lambatnya penanganan Pemerintah, rumitnya pengurusan bantuan, atau hilangnya 'Sense of Crissis' di hati mereka para pejabat tinggi. Salah urus ini pun tidak hanya terjadi ketika virus corona ini menerpa, melainkan jauh dari itu. Yakni ketika kapitalis demokrasi secara resmi didaulat untuk menjadi satu-satunya sistem yang mengatur segala urusan kenegaraan maupun kerakyatan. Dari sanalah soal tata urus resmi dimiliki para kapitalis dengan berbagai strateginya yang memuakkan. Menyengsarakan rakyat untuk keuntungan pribadi dan para pemodal besar. Urusan agama disingkirkan, diganti dengan kebebasan yang senantiasa menistakan fitrah manusia. Itulah inti dari segala permasalahan yang ada hari ini. Dan itulah yang harus diganti, bukan pemimpinnya, apalagi kabinetnya. Walaupun dengan adanya penggantian sistem maka semuanya akan terombak total, tapi sistem yang jelas akan mempermudah segala permasalahan untuk mencapai penyelesaian yang hakiki.
Islam dengan segala aturannya, sangat mumpuni untuk mengurusi satu negara. Bahkan tak hanya negara yang mampu untuk diurus, melainkan seluruh dunia akan bisa dirangkul dalam satu ikatan aturan, yakni aturan Islam. Semoga aturan ini tak lagi terkubur dengan Alquran yang perlahan berubah menjadi abu-abu sebab tak pernah lagi dibuka dan dibaca, apalagi menelaahnya perkata. Semoga aturan ini bisa terlaksana secara sempurna, sehingga rahmatan Lil alamiin bisa menjadi nyata.
Wallahu A'lam bis Shawwab