By : Yanti Mursidah Lubis
Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini dibatalkan atau diulang. Alasannya, kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Komnas Anak mendapat banyak laporan terkait syarat usia tersebut. Imbasnya, banyak siswa yang tidak mendapatkan sekolah padahal siswa tersebut memiliki nilai akademik yang tinggi. Hal tersebut juga berdampak pada kondisi psikologis anak, yang menjadi tidak percaya pada pemerintah karena merasa sia-sia telah belajar keras. Menurutnya, banyak laporan dan protes dari orang tua siswa terhadap mekanisme pembatasan usia pada sistem PPDB, sehingga menuntut agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membatalkan proses PPDB DKI Jakarta dan mengulang kembali proses penerimaan murid.(Vivanews.com)
Demikianlah, sengkarut PPDB zonasi tahun ini benar-benar makin merisaukan banyak pihak. Saat bukan pandemi saja sudah sarat masalah, apalagi kini di tengah pandemi. Jika ditelusuri, problem PPDB Zonasi ini sejatinya tak lepas dari paradigma pengelolaan kekuasaan negara yang neoliberal. Sebagai bagian dari sistem politik dan ekonomi global, Indonesia menganut model pengelolaan kekuasaan Reinventing Government. Dengan model ini, negara dituntut memberi kesempatan seluas-luasnya kepada swasta (masyarakat) untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara. Selanjutnya negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, bukan pelaksana (operator). Oleh karena itu, peran sekolah swasta menjadi hal yang sangat diharapkan dalam proses pendidikan. Data yang disampaikan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) menunjukkan bahwa jumlah sekolah negeri pada jenjang SMP lebih sedikit dibandingkan SMA. Sementara lebih dari 60% SMA ternyata merupakan sekolah swasta. Berkaitan dengan kurangnya daya tampung sekolah negeri, Pemerintah beranggapan bahwa membangun sekolah negeri baru untuk meningkatkan akses pendidikan bukan langkah yang ekonomis untuk dilakukan dalam waktu dekat.
Dengan demikian, benang kusut PPDB Zonasi sejatinya tak akan terurai selama Negara tidak mengubah paradigma pelayanan pendidikan. Dan hal ini terkait dengan sistem politik demokrasi kapitalis neoliberal. Berbeda dengan sistem kapitalis, dalam Khilafah, kepala negara (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Negara hadir sebagai pelaksana (operator, bukan regulator atau fisilitator) dalam pelayanan pendidikan. Hal ini karena Islam telah memandatkan kepada negara berupa tanggung jawab pengurusan seluruh urusan umat. Sebagaimana dalam hadis dinyatakan:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Dengan peran utama ini, negara bertanggung jawab untuk memberikan sarana prasarana, baik gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru kompeten, kurikulum sahih, maupun konsep tata kelola sekolahnya. Negara juga harus memastikan setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan pendidikan secara mudah dan sesuai kemampuannya. Dalam hal ini, birokrasi Khilafah berpegang kepada tiga prinsip: kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang mengurusi. Dengan prinsip ini kerumitan mendaftar sekolah sangat bisa diminimalisasi.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (melaksanakan qishash) maka lakukanlah pembunuhan itu secara ihsan (baik/sempurna). Jika kalian menyembelih, maka lakukanlah penyembelihan itu secara ihsan.” (HR Muslim dari Syadad bin Aus)
Sebagai operator (pelaksana tanggung jawab), negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta seraya berlepas tanggung jawab. Dalam negara Khilafah, sekolah swasta memang diberi kesempatan untuk hadir memberikan kontribusi amal salih di bidang pendidikan. Mereka boleh mendirikan sekolah, lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Namun, keberadaan mereka tidak sampai mengambil alih dan menggeser tanggung jawab negara. Kondisi tersebut tidak ditemui dalam sistem kapitalis saat ini. Pembiayaan guru honorer yang dikelola pemerintah daerah terbuki menjadikan pendidikan terpuruk di berbagai daerah. Padahal inilah salah satu pangkal persoalan zonasi PPDB. Negara Khilafah juga senantiasa membangun suasana takwa warga negaranya. Negara akan terus membangun paradigma pendidikan sahih di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat tidak mispersepsi tentang pendidikan. Mereka hanya mengejar capaian sahih dari proses pendidikan. Yakni, berlomba-lomba mencari derajat tertinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya. Dalam kondisi sekolah yang dikelola secara baik oleh Negara (baik secara kualitas maupun kuantitas), warga negara juga tulus ikhlas mencari pendidikan, tentu akan meminimalisasi problem dalam proses penerimaan siswa atau alih jenjang. Walhasil, keberlangsungan pendidikan akan berjalan dengan khidmat tanpa kisruh. Capaian pendidikan benar-benar optimal untuk membangun peradaban. Inilah yang pernah terjadi di masa kegemilangan Islam dahulu. Tak ada yang bisa memungkiri kiprah para ilmuwan hasil pendidikan sistem Khilafah Islam. Bahkan pengaruhnya masih bisa dirasakan kini. Wallohu 'alam bisshowwab