PPDB, Sistem Zonasi Tak Jamin Pendidikan Bagi Rakyat!

Oleh : Mardina, S.Pd

Penerimaan peserta diidk baru atau yang lebih di kenal dengan istilah PPDB. Merupakan sebuah sistem terpadu dalam dunia pendidikan, dimana setiap siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ketingkat dasar sampai menengah pasti akan mengikuti kegiatan ini. 

Sepintas PPDB terlihat bukanlah sebuah masalah, karena masyarakat berpikir bahwa PPDB hanyalah istilah yg digunakan di dalam dunia pendidikan saja. Namun ternyata, di balik istilah itu ada syarat dan ketentuan yang berlaku.  PPDB diketahui memakai sistem Zonasi yang artinya ada batasan tertentu yang membuat PPDB akhirnya menjadi sebuah masalah di mata masyarakat. 

Berdasarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 Pasal 25 ayat (1) Seleksi calon peserta didik baru kelas 7 (tujuh) SMP dan kelas 10 (sepuluh) SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke Sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan. Ayat (2) Jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.

Seperti yang dilansir oleh (vivanews.com/28/06/2020) tentang pembatasan usia anak yang dibolehkan untuk bersekolah ketingkat dasar” Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini dibatalkan atau diulang. Alasannya, kebijakan batas usia yang diterapkan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dinilai bertentangan dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Komnas Anak mendapat banyak laporan terkait syarat usia tersebut. Imbasnya, banyak siswa yang tidak mendapatkan sekolah padahal siswa tersebut memiliki nilai akademik yang tinggi. Menurutnya, banyak laporan dan protes dari orang tua siswa terhadap mekanisme pembatasan usia pada sistem PPDB, sehingga menuntut agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membatalkan proses PPDB DKI Jakarta dan mengulang kembali proses penerimaan murid. 

Ini potret nyata kegagalan negara menjamin layanan Pendidikan. Pemberlakuan kuota karena terbatasnya kemampuan menyediakan fasilitas Pendidikan melahirkan system zonasi, menghantar pada beragam kisruh setiap tahunnya dan menelantarkan hak anak. Sebagai orang tua tentu saja miris melihat kebijakan seperti ini, bagaimana tidak? Orangtualah yang paling tahu perkembangan anak, apakah ia mampu atau tidak dalam menyerap pelajaran. Bahkan disekolah sebelumnya anak pun memiliki nilai akademik yang tinggi. Hal inilah yang menjadikan para oragtua akhirnya tidak menerima dengan kebijakan yang ada. Karena kita sadari betul, setiap anak itu memiliki kekhasan dan kemapuan yang berbeda-beda tanpa melihat usia apakah ia masih muda atau tua. 

Didalam islam, usia bukanlah patokan dalam menentukan jenjang pendidikan anak, bahkan banyak ilmuan muslim yang terbilang sangat muda pada masanya. Yang hari ini bisa dikatakan usia ilmuan pada saat itu seusia dengan usia anak SMA bahkan SMP. Seperti Ibnu sina atau yang lebih di kenal dengan Bapak Pengobatan Modern. Beliau adalah ilmuan yang ahli dibidang kedokteran. Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun fi Thib atau The Canon of Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Sejak kecil, Ibnu Sina sudah menunjukkan kepandaian yang luar biasa. Di usia 5 tahun, ia telah belajar menghafal Alquran. Selain menghafal Alquran, ia juga belajar mengenai ilmu-ilmu agama. Ilmu kedokteran baru ia pelajari pada usia 16 tahun. Tidak hanya belajar mengenai teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit dan melalui perhitungannya sendiri, ia juga menemukan metode-metode baru dari perawatan. Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada masa itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja sebelumnya. Begitulah cara sistem pendidikan islam dalam memberikan layanan pendidikan kepada rakyatnya. 

Di dalam kapitalisme, setiap kebijakan diatur berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Apapun yang tidak menguntungkan bagi penguasa, meski itu terkait dengan masa depan anak bangsa, maka akan sangat sulit terealisasi. Negara abai mengurusi warganya dalam sektor pendidikan ini. Karenanya, tidak akan pernah terwujud pemerataan pendidikan yang akan menghasilkan generasi emas dari Sabang sampai Merauke tanpa terkecuali, jika dunia pendidikan masih tersandera oleh kapitalisasi.

Berbeda dalam sistem Islam, tanggung jawab penyelenggaraan proses pendidikan ada pada negara, dalam hal ini adalah seorang Khalifah. Khalifah wajib membuka dan membangun sekolah sesuai dengan jumlah peserta didik yang ada. Khalifah juga wajib menyelenggarakan pendidikan yang mudah diakses untuk semua kalangan, baik kaya atau miskin. Semua pembiayaan (gaji guru, fasilitas sarana dan prasarana pendidikan) ditanggung oleh negara yang diambil dananya dari Baitul Mal. Wallahu’alam bishshowab
Previous Post Next Post