Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd
(Pemerhati Pendidikan)
Turbulensi yang terjadi sebab pandemi COVID-19 mengguncang pada setiap sendi kehidupan. Tak hanya sistem kesehatan saja yang harus berjibaku dengan guncangan virus. Namun, setiap sistem kehidupan baik secara sosial, ekonomi, hingga pendidikan.
Perkembangan skenario dalam menjalani kehidupan di masa pandemi tengah berada pada masa new normal life. Dalam keadaan belum hadirnya vaksin demi menjaga kestabilan setiap lini kehidupan, kini beralih pada pemulihan aktifitas seperti sedia kala dengan catatan protokoler preventif kesehatan dimaksimalkan.
Sekolah dibuka pada masa new normal. Berdasarkan Surat Edaran Kemendikbud nomor 4 tahun 2020 tahun ajaran 2020/2021 dimulai Senin, 13 juli 2020 dan akan berakhir pada Sabtu, 19 juni 2021. Dengan berbagai penegasan operasional aktifitas sekolah masa new normal. Meski begitu, tetap menjadi sebuah acuman (baca:tantangan) baik orang tua siswa dan guru sebab tak ada jaminan masyarakat sekolah aman dan damai dari ancaman infeksi virus.
Dalam kondisi yang extraordinary sebab efek domino COVID-19 termasuk paling mendasar yaitu finansial rakyat yang masih butuh waktu untuk pulih. Mendikbud belum menginsafi dengan mewacanakan PJJ Permanen-Hybrid. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) Permanen-Hybrid sebagai respon relevansi pendidikan di Indonesia pada era digital. Bukan berarti harus belajar dari rumah secara permanen. Meski begitu, dalam pelaksanaannya masyarakat sekolah bahkan orang tua cenderung mengakui bahwa PJJ tak efektif dalam proses pembelajaran.
Tak dimungkiri SDM Indonesia harus berpacu dalam perkembangan zaman yang khas dengan kondisi disruptif. Namun, ada sisi vital yang perlu dibenahi lebih dulu dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Agar PJJ tak sekadar menjadi solusi teknis dalam pembelajaran yang lahir sebab realitas yang dipaksakan. Sebab sarana dan prasarana untuk menjalankan PJJ belum mampu diterapkan setiap sekolah secara menyeluruh. PJJ secara sosiologis sangat ideal bagi sekolah-sekolah urban dan bagi yang memiliki kemampuan fasilitas pribadi yang mendukung PJJ.
PJJ yang tentu membutuhkan sarana dan prasarana, terutama jaringan internet. Realitanya, kecepatan jaringan internet berdasarkan Indeks Internet Inklusif yang merupakan tolak ukur yang memperhitungkan tingkat cakupan koneksi internet berdasarkan penilaian dari empat kategori yaitu ketersediaan, keterjangkauan, relevansi dan kesiapan. Indonesia masih berada di posisi ke-57 dari 100 negara yang masuk dalam daftar Indeks Internet Inklusif tahun 2020.
Disamping itu, masih ada daerah yang blank spot (tanpa jaringan internet). Seperti sekolah dasar yang ada di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, tak ada jaringan internet untuk mengakses zoom atau whatsapp. Maka alternatif lain yang digunakan guru yaitu memanfaatkan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai media pendidikan.
Dalam perkembangan PJJ di masa pandemi, terdapat survei bahwa guru dan siswa menyatakan sulit dalam menjalani PJJ. Direktur Pusat Kajian Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP), Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustinus Subarsono melakukan survei terhadap 385 siswa di Yogyakarta, dari tingkat SD hingga SMA. 72% dari 385 siswa menyatakan sulit mencerna materi PJJ, 24% tak ada perbedaan dalam mencerna materi, sedangkan yang beranggapan materi PJJ lebih mudah dicerna hanya 4% siswa saja. Adapun guru, dilakukan survei terhadap 270 guru menyatakan bahwa 79 guru kesulitan, 15% menyatakan sama saja dan hanya 6% mengaku PJJ lebih mudah. (Dilansir, Medcom.id 06/07/2020)
Di sisi lain pada tingkat perguruan tinggi telah menjadi keresahan mahasiswa sebab beban kuota yang ditanggung sendiri dan perkuliahan yang dinilai tidak efektif telah menimbulkan banyak protes yang memang wajar tatkala lilitan ekonomi yang menghimpit efek pandemi.
Antara relevansi dan pemerataan pendidikan di Indonesia
Revolusi industri 4.0 syarat dengan kondisi TUNA (Turbulency, Uncertain, Novel, Ambigu). Jika negeri ini tak segera melakukan shifting dengan tepat bukan hanya dengan kecepatan namun dengan evaluasi cetak biru sistem pendidikan. Diantaranya, dalam pengembangan infrastruktur yang menunjang relevansi pada era digital seperti komputer atau sejenisnya dan jaringan internet yang memadai serta merata, penuntasan kompetensi guru dalam hal ini inovasi bahan ajar yang menunjang PJJ dengan gradasi yang berbeda di setiap anak didik atau peserta didik tingkat SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA hingga perguruan tinggi.
Disamping itu, hal yang utama perlu diperhatikan yaitu kemudahan akses biaya pendidikan agar kesenjangan dalam pendidikan mampu ditanggulangi. Blessing in disguise sistem pendidikan dalam tekanan pandemi kini mesti relevan dengan kondisi faktual rakyat. Dalam hal ini keadaan ekonomi orang tua siswa yang krisis. Tak sekadar relevansi sebab pengarusan global di dalam hegemoni kapitalistik yang menuntut biaya pendidikan yang mahal. Olehnya itu, sangat mendesak dan perlu Kemendikbud mewujudkan subsidi pendidikan di masa pandemi hingga masa pemulihan pasca pandemi. Memang tak mudah namun, bukan hal mustahil pendidikan bersubsidi bahkan gratis.
Akses pendidikan yang terjangkau sebagaimana pada masa kekhilafahan. Negara menanggung kewajiban menjamin kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan dan keamanan yang diperoleh secara cuma- cuma. (Shalabi, 2004) Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstatinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan seklolah. Di sekolah-sekolah tersebut dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu.
Terwujudnya sistem pendidikan yang mampu diakses tentu ditunjang dengan manajemen ekonomi/keuangan negara yang memadai, mampu menjamin hak-hak pendidikan rakyat bisa diperoleh dengan mudah. Dengan potensi sumber pembiayaan yang ada. Jika negeri ini berhasil mengelola SDA dan bebas korupsi, tak ada kemustahilan pendidikan di Indonesia akan mudah di akses.
Peta perjalanan sistem pendidikan di Indonesia harus mampu diakses oleh semua kalangan. Sebab kecerdasan anak bangsa ialah hak setiap warga negara. Indonesia kaya dengan sumber daya alam memang menjadi anugerah dari Allah Swt. Namun, sebagai bentuk kesyukuran nyata sumber daya manusia yang akan mengelola kekayaan alam harus dipantaskan dengan pendidikan yang mumpuni.
Sayangnya, apabila masih menetap dengan arus sistem kapitalisme pemerataan pendidikan dan kualitas pelayanan pendidikan untuk rakyat akan selalu dihalangi oleh kepentingan kaum oligarki. Maka terus menetap dalam atmosfer sistem kapitalisme adalah sebuah kekeliruan. Tak hanya sekadar new normal life yang perlu di upayakan. Namun, a new norma system yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah. Sebab telah terbukti gagalnya sistem kapitalisme menjamin hak dasar manusia untuk berilmu pengetahuan dengan cuma-cuma. Wallahu a’lam bisshawab