Oleh: Devita Deandra
Apa yang terjadi dengan demokrasi di negeri. Meski rakyat sekarat di tengah pandemi, KPU tetap akan menyelenggarakan Pilkada Desember mendatang. Dengan banyak dalih, Salah satunya dalih dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang juga mantan Kapolri. Dia menyatakan bahwa tak ada yang tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir.
“Kenapa Pilkada enggak ditunda 2021 saja? Apakah problem covid-19 pada 2021 ini selesai? Siapa bisa jamin? Enggak ada. Terus enggak bisa jamin mau kapan, mundur 2022 siapa yang bisa jamin? Ada waktunya kepala daerah ini berhenti masa jabatannya dan sementara diganti Plt. Plt tidak memiliki kewenangan penuh dan tidak bisa mengandalkan di bawah Plt. Kita perlu kepemimpinan power penuh,” ujar Tito, Senin, 1 Juni 2020. (TimesIndonesia.co.id, 2/6/2020)
Jelas dalih tersebut bukan untuk kepentingan rakyat. Meski slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bisa dilihat kondisi saat ini yang masih abnormal, terdampak covid-19 Di tengah buruknya penanganan pandemi, pemerintah dan semua pihak bersikukuh tetap menyelenggarkan Pilkada serentak 2020. Yang dianggap mekanisme system untuk melangsungkan kepemimpinan yg ideal.
Meski pesta Demokrasi yang dikemas dalam Pilkada ini di katakan akan memiliki skenario protokol kesehatan, hanya akan jadi ilusi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aturan negara terkait penanganan covid-19 berubah-ubah dan tidak tegas. Pilkada ini pasti akan memunculkan kerumunan massa, yang justru dapat berakibat fatal bahkan bisa memicu massifnya menyebaran virus. Belum lagi terkait dana Pilkada, sudah bukan rahasia , money politic dalam arus Pilkada sudah mendarah daging. Pilkada kali ini akan sangat menguras dana dibanding Pilkada sebelum-sebelumnya. Pilkada dalam demokrasi memang butuh dana tinggi, apalagi di kala pandemi. Sudah bukan rahasia politik ala demokrasi selalu menelan anggaran triliunan rupiah. Dana yang sangat besar ini akan tetap dianggarkan agar Pilkada tetap terselenggara meski Menteri Keuangan selalu mengeluh anggaran negara defisit dan utang negara selangit.
Namun berbeda halnya ketika berbicara tentang penanganan wabah, pengadaan alkes dan APD, gaji tenaga kesehatan, jaminan kebutuhan pokok individu rakyat selama pandemi, dan hal yang berkaitan dengan pelayanan rakyat. Maka, seribu satu alasan akan dilontarkan agar negara tak menanggung kerugian.
Persoalan Pilkada ini akan menjadikan rakyat sebagai tumbal kekuasaan. Harta rakyat dan harta milik umum seperti sumber daya alam yang menjadi hak rakyat seenaknya akan dirampok. Mengapa? sebab dana Pilkada yang besar akan menciptakan perjanjian rahasia dengan mafia SDA atau investor swasta dan asing yang notabene pengusaha kapitalis. Dengan demikian Pilkada akan menciptakan lobi-lobi politik yang pelik dan mengkhianati rakyat. Walhasil berbagai rancangan undang-undang seperti RUU Minerba tetap dilandingkan meski rakyat bergelimang kemiskinan. Sebagian pihak (lokal dan internasional) menyebut momen pilkada di tengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kuasa. Tak banyak yang mengkritik bahwa mekanisme demokrasi (pilpres dan pilkada) justru mengekalkan system kriminal yg menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat
Pilkada dan Pilpres hanyalah alat untuk melanggengkan demokrasi yang memang rusak. Wajah buruk demokrasi akan semakin tampak saat Pilkada atau Pilpres berlangsung.
Hal di atas bertolak belakang dengan pengangkatan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam. Khalifah sebagai kepala negara dipilih oleh mahkamah madzalim sesuai dengan nama yang direkomendasikan majelis ummat. Khalifah yang terpilih nantinya akan dibaiat oleh rakyat dan kemudian khalifahlah yang akan memilih kepala daerah setingkat provinsi dan kabupaten.
Pengangkatan khalifah dan kepala daerah dalam sistem Islam sama sekali tidak memerlukan dana sepeser pun. Sehingga peluang korupsi atau pun bersekongkol dengan pengusaha tidak akan terjadi.
Waktu pengangkatan juga tak akan panjang dan bertele-tele. Karena prosedur pengangkatan khalifah dan kepala daerah dilakukan dengan sesegera mungkin sesuai dengan syariah dan urgensinya. Dalam buku Sistem Pemerintahan Islam karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani dinyatakan bahwa tidak boleh ada kekosongan pemerintahan lebih dari tiga hari. Oleh karena itu, sudah saatnya negara mencampakkan sistem rusak dan merusak ini, lalu beralih kepada sistem Islam. Sistem yang berasal dari Dzat Yang Mahabaik, Allah SWT.
Wallahu A’lam