Oleh : Nurlinda
Pemerhati Sosial
Kurang lebih tiga bulan pemerintah menetapkan penyebaran Covid-19, sebagai bencana nasional. Yaitu tepatnya di mulai pada pertengahan bulan Maret 2020. Telah berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani pandemi ini. Mulai dari penerapan Social dan Physical Distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga dicetus tatanan New Normal.
Dengan keputusan New Normal ini, pemerintah mengambil keputusan untuk menyelenggarakan pilkada serentak pada tahun 2020 yang semula sempat tertunda sejak presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang (UU) Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tenyang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pada 4 Mei 2020.
Sehingga Perpu tersebut mengubah waktu pelaksanaan pemungutan suara yang semula dijadwalkan pada 23 september 2020 sebagaimana yang telah dicantumkan pada UU No 10 Tahun 2016, dan diputuskan menjadi Desember 2020. Maka untuk menindak lanjuti ketentuan dalam Perpu tersebut DPR bersama KPU dan pemerintah bersepakat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 desember 2020 di 270 daerah se-indonesia. Keputusan ini diambil atas dasar pada perpu No 2 tahun 2020.
Salah satu alasan pemerintah untuk tetap melanjutkan pelaksanaan Pilkada 2020 adalah, agar tidak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah, bukan tidak hanya legitimasi tidak kuat dalam menjalankan roda pemerintahan, akan tetapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19 didaerah masing-masing.
Dalam menyelenggarakan Pilkada ini KPU mengajukan tambahan Rp 4,7 trilliun, Bawaslu mengajukan tambahan Rp 478 milliar, dan DKPP mengajukan tambahan sebesar Rp 39 milliar, untuk anggaran persedian hand sanitizer, thermometer, disinfektan, masker untuk petugas dan alat pelindung diri disetiap tempat pemungutan suara (TPS).
Tentu dengan kasus covid-19 yang masih tinggi di Indonesia dengan keputusan ini mendapatkan kontra dari beberapa kalangan salah satu dari Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera sejak awal keluarnya perpu ini dia telah mengusulkan penundaan pilkada serentak 2020. Menurutnya tahun ini adalah tahun yang berat buat Indonesia dan dunia, karena kita sedang bertarung menghadapi bencana non alam. Pandemi Covid-19. Saya mengusulkan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 ditunda hingga wabah ini redah, kata Mardani.
Pemerintah pun telah berkomitmen untuk memberikan dukungan tambahan pendanaan dukungan pilkada dalam tahap pertama Juni sebesar Rp 1.024 trilliun. Ini menjadi hal yang aneh apabilah pemerintah tetap ngotot untuk melaksanakan pilkada meski mengancam keselamatan nyawa rakyat.
Ini semua adalah konsekuensi dari sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini sebab dalam meraih kekuasaan pada sistem ini didasarkan pada suara terbanyak. Dengan anggapan suara terbanyak akan bisa mewakili aspirasi rakyat. namun kenyataannya rakyat yang dimaksud adalah para pemilik modal. Karena untuk memperoleh suara yang besar dalam sistem demokrasi dibutuhkan kampanye yang massif. Tentu yang seperti ini membutuhkan dana yang besar. Sehingga tidak mungkin jika dana tersebut hanya dari kantong pribadi, akan tetapi juda di bantu dari partai dan para pemilik modal.
Maka tidak heran apabilah kebijakan pemimpin yang terpilih selalu memuluskan kepentingan pebisnis para kapital apa lagi dengan masa jabatan yang terbatas yaitu lima tahun. Sehingga menjadikan para penguasa fokus untuk mengembalikan modal pemilu dan memperkuat kekuasaannya. Maka tidak heran apabila pemerintah lebih mementingkan para pemilik modal di bandingkan rakyatnya.
Ada sebagian pihak (lokal dan internasionl) menyebutkan bahwa momen pilkada di masa pandemi di putuskan agar para penguasa tidak kehilangan kesempatan untuk menduduki kursi kekuasaan. Ini lah mekanisme pilkada dalam sistem demokrasi yang mengkekalkan sistem kriminal yang menghasilkan perampok kekayaan negara dan menyengsarakan rakyatnya.
Berbeda dalam sistem islam, dalam negara menempatkan kedaulatan tertinnggi ada ditangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat. artinya syariat islam menjadi hukum yang diterapkan oleh pemerintah . islam telah menetapkan cara dalam pemilihan pemimpin yaitu dengan cara baiat. Adapu pemilu langsung adalah salah satu cara pemilihan pemimpin sebelum pembaiatan. Perwakilan juga menjadi pilihan dalam cara pemilihan ini. Yaitu rakyat memilih wakil umat, kemudian wakil umat ini (Majelis Ummah) yang memilih penguasa. Ini lah cara pemilihan dalam islam yang berbiaya murah dan bahkan dikatakan tidak ada biaya yang dikeluarkan. Namun cara ini mampu menghasilkan pemimpin yang berkuwalitas hal di dasari oleh:
Pertama: didalam islam yang menjadi pemimpin adalah seuatu amanah yang dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Sehingga beratnya amanah menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hatinya.
Kedua: islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pembaiatan abu bakar ra. Yang dilakukan di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. dengan batas waktu tiga hari akan membatasi masa kampanye. Sehingga tidak memerlukan pengeluaran biaya yang besar bahkan terbilang gratis.
Ketiga: dalam islam masa jabatan pemimpin tidak dibatasi atau bisa seumur hidup, keciali memenuhi syarat pemberhentian pemimpin yang telah ditentukan syariat atau meninggal. Maka proses pemilihan akan dilakukan kembali. Adapun dalam pemilihan pejabat pemerintah untuk suatu wilaya atau daerah tertentu lansung ditunjuk oleh pemimpin pusat. Dimana seorang pemerintah daerah adalah seorang yang membantu pemimpin pusat untuk menjalankan roda pemerintahan pada suatu wilayah. Pemerintah wilayah bisa diberhentikan jika pemerintah pusat memandang perlu hal itu atau apabila masyarakat tidak suka terhadap pemerintah mereka. Sebagaimana Rasulullah Saw saat menjadi kepala negara di Madina saat itu. Sebagaimana beliau memberhentikan Muadz bin jabal dari jabatannya di Yaman karena ada aduan bacaan sholatnya sangat panjang.
Demikianlah sistem islam dalam mengatus masalah pemilihan sehingga dana negara di baitul mal benar-benar dimanfaatkan secara optimal untuk kemaslahatan masyarakat. Apa lagi saat terjadi pandemi maka negara akan fokus memberhentikan penyebarluasan wabah dan menjamin kebutuhan masyarakat yang terdampak wabah.