Oleh: Yuli Ummu Fatih
Anti khilafah sudah lama disuarakan oleh kaum penjajah. Dulu pada masa penjajahan atas Nusantara, Belanda menentang setidaknya tiga ajaran Islam: haji, jihad dan Khilafah. Ketiganya saling berkaitan. Dituding sebagai pemicu “pemberontakan” kaum pribumi terhadap pemerintahan Hindia Belanda.
Khilafah Utsmani memang tak main-main dalam mendukung Nusantara. Khilafah pernah mengirimkan perwakilannya ke Batavia. Konsulat Khilafah Turki menyokong gerakan-gerakan pribumi Islam. Karena itu wajar jika penjajah Belanda sangat anti Khilafah. Sikap anti Khilafah ini sekaligus mewakili ideologi Kapitalisme Barat yang memang anti Islam. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan yang berhaluan komunis. Komunisme sebetulnya rival utama Kapitalisme. Hanya saja, keduanya sama-sama memusuhi Islam. Karena itu wajar jika kalangan komunis pun bersikap anti Islam dan tentu anti Khilafah. Mereka takut dengan gerakan Khilafah.
Dengan demikian sikap anti Khilafah jelas bukan barang baru. Tentu wajar sikap anti Khilafah ini ditunjukkan oleh kalangan yang terpengaruh oleh ideologi Kapitalisme ataupun ideologi Komunisme. Yang tidak wajar adalah jika sikap anti Khilafah ini didemontrasikan—bahkan secara vulgar—oleh sebagian kalangan Islam yang mengklaim anti penjajahan kapitalis dan anti komunis.
Sebetulnya, jika sedikit saja kita mau jujur pada sejarah, hubungan Khilafah dan Nusantara bukan saja sangat erat. Bahkan Khilafah punya sumbangsih nyata bagi Nusantara.
Khilafah Turki Utsmani memiliki posisi sebagai Khadim al-Haramayn (Penjaga Dua Kota Suci, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, Khilafah Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan ibadah haji kaum Muslim di seluruh dunia. Khilafah Utsmani, misalnya, mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia pada tahun 904 H/1498 M.
Dengan demikian eratnya hubungan Khilafah dan Nusantara merupakan fakta sejarah. Wajar jika kalangan Muslim di Nusantara menunjukkan kepedulian luar biasa saat Khilafah Utsmani diruntuhkan tahun 1924. Mereka pun terlibat dalam upaya-upaya internasional untuk mengembalikan Khilafah.
Keterlibatan kaum Muslim di Nusantara dalam perjuangan mengembalikan Khilafah antara lain diwakili oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah dan para kiai dari pesantren.
Alhasil, sikap anti-Khilafah jelas bertentangan dengan fakta sejarah (a-historis). Yang lebih naif, sikap anti Khilafah sejatinya sama dengan sikap membebek kepada penjajah yang memang anti Khilafah.
Lebih dari itu, sikap anti Khilafah jelas bertentangan dengan syariah. Pasalnya, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Menegakkan Khilafah adalah wajib berdasarkan Ijmak Sahabat maupun ijmak ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Imam an-Nawawi rahimahulLah tegas menyatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْب خَلِيفَة وَوُجُوبه بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ...
Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah (menegakkan Khilafah, red.). Kewajiban ini berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/205).