Oleh : Hasan As’ari, M.Kom
(Guru SMKN 13 Bandung)
Sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global dan BNPB menetapkan status darurat nasional, Departemen Pendidikan Nasional memberlakukan program Belajar dari Rumah (BDR) sejak Maret lalu. Hal tersebut membuat iklim pembelajaran yang semula didominasi klasikal menjadi non-klasikal atau dengan pembelajaran jarak jauh.
Adanya wabah ini mampu mempercepat proses perubahan iklim pembelajaran di sekolah dan semua pihak dipaksa beradaptasi dengan cepat termasuk metode belajar maupun praktikum. Semula rapat mesti tatap muka sekarangpun menjadi teleconference.
Kondisi pandemic membuat percepatan semua pihak untuk mengenal sistem pembelajaran daring yang sebelumnya cukup asing bagi semua pihak. Termasuk presensi digital yang belum diterapkan maksimal namun sejak terjadi BDR ini menjadi hal yang biasa dan mesti dilakukan sebagai pengganti daftar hadir manual.
Kini pembelajaran yang biasanya on-site menjadi online. Biasanya tatap muka menjadi tatap layar. Semua interaksi menjadi serba digital. Jaringan internet dan tentunya keberadaan kuota menjadi tulang punggung semua proses tersebut. Kondisi Work from Home dan Study from Home memaksa semua pihak untuk berupaya memaksimalkan proses pembelajaran. Para pendidik pun dituntut untuk mancari cara menggunakan alternatif proses kegiatan belajar-mengajar yang dirasa terkesan “mendadak” serba digital. Siap tidak siap harus dihadapi. Waluapun di dunia pendidikan semestinya hal ini bukan hal baru, hanya saja kita yang terlambat mengetahui dan mengaplikasikannya.
Pendidik meyakini bahwa para pelajar milenial tak asing dengan kehidupan serba digital bahkan sejak lahir sudah terpapar dengan teknologi digital ini. Mereka sangat mudah beradaptasi, bahkan dengan sendirinya mampu menyelesaikan segala tugas dari gawai cerdas di genggaman. Justru tantangan itu di alami para pendidik yang mesti segera beradaptasi dengan era digital.
Para pendidik harusnya menyadari bahwa kalau hanya materi pendidikan saja yang ingin diberikan kepada peserta didik, ternyata materi itu bisa dengan mudah mereka dapatkan dari genggaman tangan mereka dengan cepat. Semua informasi bisa mereka peroleh dari berselancar di mesin pencarian bahkan tutorial dan penjelasan materi, informasi dan gudang ilmu sangat terbuka luas di media social seperti youtube dan sebagainya.
Dahulu peserta didik mencatat di papan tulis lalu semua teman sekelas menyalin ke dalam buku catatan mereka. Guru berceramah panjang lebar dan murid mendengarkan sampai mengantuk. Zaman sudah berubah, maka cara mendidik perlu disesuaikan dengan era dan zamannya. Gap zaman pembelajaran antara peserta didik yang milenial dan pendidik yang merupakan imigran teknologi digital harus diminimalisir.
Tentunya ini harus menjadi renungan bagi para pendidik. Kalaulah sekedar pintar dan pandai, teknologi internet mungkin bisa jadi lebih pintar bahkan mampu menyajikan dan memberikan segala macam hal informasi yang dibutuhkan. Lalu apa peran pendidik yang membedakan dari gawai cerdas di genggaman mereka? Melalui gawai itu tampak lebih efektif. Bertanya kepada guru tidak lagi menjadi pilihan, karna google dan search engine lain sepertinya lebih cepat menjawab. Benarkah sepenuhnya demikian?
Bagaimanapun ternyata peran guru sesungguhnya tidak bisa digantikan dangan teknologi. Karena guru bukan sekedar sumber ilmu pengetahuan, melainkan mesti menjadi contoh dan teladan yang mentransfer adab dan tata nilai. Keberadaan fisik seorang guru tetap dibutuhkan oleh peserta didik dalam proses belajar mengajar karena fungsinya tidak hanya menyampaikan materi dan transfer ilmu semata, namun mendidik karakter serta mengajarkan bagaimana memaknai dan menjalani hidup dengan lebih baik. Hal yang perlu direfleksikan, bahwa hal-hal penting dalam kehidupan seperti tanggung jawab, kedisiplinan, rasa empati kepada orang lain, jujur, kerja keras, saling menghormati, mencintai sesama manusia, kesederhanaan, keikhlasan, dan lain-lain tidak bisa ditemukan bahkan dalam gawai yang smart sekalipun. Hal itu hanya didapat dari keteladanan dan pembiasaan karakter. Itulah peran sejati guru yang di gugu dan ditiru yang tak mampu di gantikan oleh teknologi manapun.
Era digital ini justru sangat membutuhkan peran guru dalam memfilter informasi kepada para peserta didik. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan bagi para pendidik agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman terutama era digital ini untuk membuka inovasi dalam mengajar. Pendidik mestinya tidak enggan dan segan untuk mencoba platform digital, melalui platform digital, pembagian tugas menjadi semakin mudah dan juga menjadwalkan proses pembelajaran lebih mudah dengan adanya Learning Management System tersebut.
Peserta didik juga mudah mengaksesnya melalui jaringan media sosial yang sudah dibuat dalam platform digital tersebul. Para siswa merdeka belajar dari manapun dan kapanpun. Selain itu, dengan platform digital ini pemantauan kepada para peserta didik menjadi mudah termasuk dalam memantau aktivitas kelas, kedisiplinan mengumpulkan tugas, pencataan perkembangan peserta didik bahkan pengaturan deadline dan scoring dapat secara otomatis. Laporan tersebut akan tersimpan secara otomatis dalam drive online yang bisa diakses kapan dan dimana saja selama ada akses internet. Tentunya menghemat waktu, terutama paperless dalam pengumpulan tugas.
Menjadi pendidik di era digital dan menghadapi generasi milenial adalah sebuah tantangan untuk membangun komunikasi yang efektif, tidak terlalu lama berbicara satu arah. Guru harus mempersiapkan presentasi yang menyenangkan dengan desain yang menarik. Selain harus menjadi praktis dan membangun komunikasi yang efektif, selanjutnya para guru harus bisa memanfaatkan teknologi dimulai dari hal yang sederhana misalnya menggunakan daftar hadir / presensi digital otomatis, membagikan materi menggunakan platform berbasis teknologi cloud computing sehingga efektif untuk pengajaran dan memudahkan murid berkomunikasi dengan guru. Selanjutnya perbanyak diskusi dengan membuat kelompok-kelompok kecil lalu diberikan pertanyaan menarik untuk didiskusikan bersama. Ini dapat diberikan setelah guru memberikan materi di awal kelas. Saat disuksi, murid diizinkan browsing dan berselancar terkait topik melalui sumber kredibel dan relevan. Gurupun ditantang untuk bisa menciptakan interaksi antar peserta didik dan kelompok agar suasana diskusi menjadi lebih hidup. Tentunya hal ini juga untuk meningkatkan skill berbicara di depan banyak orang. Kemudian berikan contoh yang relevan agar membantu peserta didik mencerna materi lebih mudah.
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa teknologi diciptakan untuk melengkapi dan membantu manusia dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya, namun bukan untuk menggantikan perannya secara keseluruhan, apalagi guru adalah pendidik generasi yang berperan dalam pengajaran dan pendidikan dalam kondisi apapun termasuk dalam masa Pandemi.