Pendidikan untuk Semua, Tanpa Memandang Usia

Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S. Kom

"Raihlah masa depanmu dengan pendidikan." Itulah slogan yang sering kita dengar. Namun, apa jadinya jika banyak anak bangsa harus menelan kecewa karena tidak bisa melanjutkan pendidikan? Tentu sudah terbayang, suramnya masa depan mereka.

Seperti dilansir dari indopos.co.id, Radi Abdul Muad, seorang anak janda miskin warga Kampung Alun Alun, Desa Selaraja, Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, Banten tampak pasrah menerima kenyataan. Sistem Zonasi dalam Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 20/2019 atas revisi dari Permendikbud No 51/2018 dianggap bisa mengancam kelanjutan pendidikannya. Remaja berusia 16 tahun itu terancam putus sekolah. Ini lantaran dia tidak bisa masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) negeri, karena terbentur jarak kediamannya dengan SMA negeri yang ada di kecamatan tempat tinggalnya. Sedangkan untuk sekolah ke swasta orang tuanya tidak mampu untuk membiayai.

Bukan hanya di daerah yang timbul masalah dalam PPDB tahun ini. Bahkan di Jakarta,
pada 23 Juni lalu, puluhan orang tua berunjuk rasa di Kantor Gubernur DKI Jakarta memprotes aturan PPDB Zonasi di wilayah Jakarta. Mereka protes prioritas penetapan PPDB berdasarkan usia. Dikhawatirkan, anak-anak mereka yang masih berusia 14 tahun, gagal masuk ke SMA Negeri, karena terlalu muda.

Kondisi ini membuat beberapa pelajar kecewa dan frustasi. Setelah belajar mati-matian supaya mendapat nilai yang baik, mereka harus menelan pil pahit. Kenyataan bahwa dirinya tidak diterima di sekolah negeri manapun, membuat beberapa di antaranya tidak lagi percaya kepada pemerintah dan merasa sia-sia belajar.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bahkan meminta Gubernur DKI Anies Baswedan merevisi aturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020-2021 di Jakarta karena dinilai tidak sesuai dengan Permendikbud No. 44 tahun 2009. LBH dalam keterangan tertulis, Minggu (28/6/2020) meminta proses penerimaan siswa baru dijadwal ulang.

Salah satu anggota LBH, Nelson, juga menyoroti aturan terkait zonasi usia yang menjadi prioritas dalam PPDB tahun ini. Padahal menurutnya, dalam Permendikbud yang menjadi prioritas adalah zonasi wilayah. Kemudian zonasi usia menjadi pertimbangan ketika jumlah kapasitas melebihi batas.

"Hal inilah yang memicu kekacauan karena pada akhirnya banyak yang tidak diterima di sekolah yang dekat dengan rumah dan kemungkinan besar akan diterima di sekolah yang jauh jaraknya dari rumah. Padahal prinsip dari Permendikbud 44/2019 adalah mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah (lihat Pasal 16). Faktor usia peserta didik yang lebih tua baru menjadi faktor yang dipertimbangkan ketika terdapat kesamaan jarak tinggal calon peserta didik dengan sekolah. Akibatnya nanti peserta didik akan bersekolah di tempat yang jauh dari rumah dan hal tersebut akan berdampak pada waktu yang dihabiskan di jalan dan ongkos sehari-hari yang memberatkan," ujar Nelson.

Sementara itu, dalam keterangan persnya, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana menyarankan kepada orangtua yang anaknya gagal dalam jalur zonasi penerimaan peserta didik baru tahun 2020, untuk mengikuti jalur prestasi.

Terkait penerimaan berdasarkan usia, Pemprov DKI menegaskan, hanya menjalankan peraturan kemendikbud tentang PPDB. Berdasarkan surat keputusan kepala dinas pendidikan nomor 501 tahun 2020 tentang penetapan zonasi sekolah untuk penerimaan peserta didik baru tahun pelajaran 2020-2021.

Apabila jumlah pendaftar PPDB jalur zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.


Kurangnya Sarana, Biang Masalah

Penerapan sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) di berbagai tingkat sekolah negeri oleh pemerintah sejak tiga tahun terakhir, telah menuai banyak kritik.

Siswa dengan nilai tinggi tidak bisa mendapat sekolah bermutu unggul, karena kalah dengan yang rumahnya dekat dengan sekolah tujuan. Siswa-siswa berprestasi dengan usia relatif muda, kalah dengan siswa berusia lebih tua.

Begitu juga dengan siswa yang berdomisili jauh dari sekolah mana pun, akhirnya kebingungan akan melanjutkan sekolah di mana. Hal ini mengingat tidak semua daerah memiliki jumlah sekolah negeri yang memadai dibandingkan dengan luas wilayahnya.

Tak hanya siswa yang dibuat kalang kabut, orangtua juga tak kalah panik ketika akhirnya sang anak menjadikan sekolah swasta sebagai pilihan dengan pertimbangan kualitas. Padahal, orangtua menyadari bahwa pilihan itu berbiaya relatif tinggi.

Tak heran, banyak pakar yang mengkritik penerapan sistem ini. Salah satunya adalah pengamat pendidikan Darmaningtyas. Darmaningtyas menilai sistem zonasi ini sebagai suatu kebijakan yang merugikan siswa. Apalagi siswa berprestasi anak orang miskin yang letak rumahnya jauh dari sekolah negeri. Lebih lanjut, Penulis buku Melawan Liberalisme Pendidikan (2014) ini menilai sistem zonasi yang diniatkan untuk meratakan kualitas pendidikan justru menghasilkan pemerataan pendidikan berkualitas rendah.

Sejatinya penerapan sistem zonasi, baik yang berpatokan pada jarak maupun usia, menegaskan lemahnya pemerintah dalam memenuhi hak pendidikan warga negara.

Nyatanya, sampai hari ini tetap dijumpai fakta adanya ketimpangan. Persebaran sekolah yang tidak merata, infrastruktur yang tidak memadai, juga distribusi guru berkualitas, menjadi faktor munculnya problem. Oleh karena itu, pemerintah membuat aturan zonasi dengan berbagai syarat yang menyertainya. Hanya siswa yang memenuhi syarat saja yang berhak mengenyam pendidikan di sekolah negeri.

Seharusnya, pemerintah berupaya untuk menjamin ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang layak, mudah diakses, terjangkau dan tidak diskriminatif.
Pemerintah juga harus memastikan ada pemerataan kuantitas, kualitas, sarana dan prasarana hingga tenaga pengajar di sekolah-sekolah.

Namun sayang, pemerintah dalam sistem kapitalis ini hanya berperan sebagai operator, bukan pelayan rakyat. Alih-alih bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan berkualitas untuk semua kalangan, pemerintah malah menyerahkan kekurangan sarana pendidikan kepada pihak swasta.

Seperti yang diungkapkan oleh Sekda DKI Jakarta, Saefullah mengaku diperlukan peran sekolah swasta, terlebih daya tampung sekolah negeri di wilayahnya kurang dari 50 persen.

"Bahwa nyatanya memang daya tampung SMP negeri kita itu baru 46,17 persen, berarti selebihnya lagi kita harapkan adalah peran swasta. Kemudian SMA negeri kita baru 32,94 persen masih ada 67 persen lagi kita harapkan peran swasta. Jadi pemerintah dan swasta punya kewajiban bersama untuk menyelenggarakan wajib belajar di DKI," kata Saefullah.

Padahal, sektor pendidikan jadi rawan dikapitalisasi bila diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Biaya yang harus dikeluarkan masyarakat semakin besar dan tidak terjangkau. Akibatnya, banyak anak bangsa terancam putus sekolah.


Islam Punya Solusi

Dalam Islam, pendidikan termasuk kebutuhan dasar individu. Rasulullah saw. menyatakan bahwa pendidikan atau menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan. Ketika Perang Badar usai, ada 70 orang Quraisy Makkah menjadi tawanan, masing-masing mereka diminta untuk mengajar 10 orang anak-anak dan orang dewasa Madinah dalam membaca dan menulis sebagai salah satu syarat pembebasan mereka.

Negara wajib menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah untuk seluruh warga negara secara gratis. Sedangkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi  dibuka seluas mungkin dengan fasilitas sebaik mungkin.

Negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran, dan lain sebagainya. Negara juga berkewajiban menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.

Para Sahabat telah sepakat mengenai kewajiban memberikan ujrah (gaji) kepada tenaga-tenaga pengajar yang bekerja di instansi pendidikan negara di seluruh strata pendidikan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar setiap bulan.

Sejak berkembangnya agama Islam ke berbagai wilayah, jumlah umat Islam pun semakin banyak. Untuk meningkatkan pemahaman keagamaan umat, para khalifah yang memerintah dari berbagai kekhalifahan, seperti Abbasiyah, Fatimiyyah, Ottoman, dan Umayyah, mendirikan berbagai lembaga pendidikan.

Selama masa kekhalifahan Islam itu, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Kendati beberapa di antaranya hanya tinggal nama. Namun, nama-nama lembaga pendidikan Islam itu pernah mengalami puncak kejayaan dan menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam.

Misalnya Universitas Al-azhar di Mesir.
Sebagai tempat tujuan para sarjana di seluruh penjuru dunia yang ingin mempelajari Islam dan bahasa Arab, sejak awal universitas ini sudah dilengkapi dengan perpustakaan dan laboratorium.

Keberadaan Universitas Al-Azhar sebagai sebuah institusi pendidikan Islam terbesar dan modern, juga mendapat pengakuan dari Napoleon Bonaparte. Dalam pengasingan di Pulau Saint Helena, Napoleon menuliskan sebuah catatan harian yang isinya mengungkapkan kekagumannya terhadap Universitas Al-Azhar saat tentaranya melakukan penyerangan ke Mesir.

Begitu pula dengan Universitas al-Mustansiriyah yang dibangun pada 1227 M. Ia merupakan salah satu perguruan tinggi tertua dalam sejarah. Pamor dan popularitas universitas ini mampu membetot perhatian para pelajar dari seluruh dunia untuk menimba ilmu di Kota Baghdad. Para pelajar berbondong-bondong datang ke Mustansiriyah untuk mempelajari beragam ilmu pengetahuan.

Gedung universitas yang dibangun Khalifah Al-Mustansir ini juga dilengkapi dengan beragam fasilitas kebutuhan pelajar, seperti dapur, tempat shalat, kamar tidur, dan tempat mandi.

Begitulah Islam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negaranya tanpa pandang bulu. Jumlah sekolah telah disesuaikan dengan jumlah peserta didik yang ada. Dengan demikian, tidak perlu diadakan seleksi untuk peserta didik. Semua warga negara bisa mengenyam pendidikan dengan baik dan mempunyai bekal membangun peradaban gemilang.
Previous Post Next Post