By : Indri Ngesti R
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah melakukan program Studi Pendidikan Tinggi Vokasi Tahun 2020 melalui gerakan "Perjodohan” (Link and Match), antara pendidikan vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja (Dudi). Tujuan utama dari gerakan ini agar program studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi, sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja,(idntimes.com,09/07)
Strategi ini dinilai penting agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Menurut Nadiem, Kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha. Pemerintah, kata Nadiem, memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak Kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian.(lensaindonesia.04/07)
Seperti yang dilansir oleh suarasurabaya.net, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) mendorong terwujudnya “Paket Pernikahan”. Paket tersebut terdiri dari: (1) Kurikulum, disusun bersama industri di mana materi training dan sertifikasi di industri masuk resmi ke dalam kurikulum di kampus; (2) Dosen tamu dari industri rutin mengajar di kampus; (3) Program magang yang terstruktur dan dikelola bersama dengan baik; (4) Komitmen kuat dan resmi pihak industri menyerap lulusan; (5) Program beasiswa dan ikatan dinas bagi mahasiswa; (6) Bridging program di mana pihak industri memperkenalkan teknologi dan proses kerja industri yang diperlukan kepada para dosen sertifikasi kompetensi bagi lulusan diberikan oleh pihak industri; (7) Sertifikasi kompetensi bagi lulusan diberikan oleh pendidikan tinggi bersama industri; (8) Joint Research yaitu riset terapan dengan dosen yang berasal dari kasus nyata di industri; dan (9) Berbagai kegiatan/program ‘pernikahan’ lainnya. Paket ‘pernikahan’ nomor 1 sampai dengan nomor 6 adalah paket pernikahan minimum. Paket nomor 7 sangat diharapkan terwujud, serta nomor 8 dan seterusnya, sangat baik bila terwujud.
Dengan adanya “Paket Pernikahan” ini tujuan pendidikan menurut UU No. 2 Tahun 1985 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya, yaitu bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki pengetahuan, sehat jasmani dan rohani, memiliki budi pekerti luhur, mandiri, kepribadian yang mantap, dan bertanggung jawab terhadap bangsa akan sulit terwujud. Karena lembaga pendidikan hanya akan menjadikan output pendidikan sebagai tenaga kerja bagi industri. Pendidikan yang seharusnya bervisi membangun kepribadian utuh manusia sebagai hamba Allah yaitu khalifah fil ardhi dikerdilkan dengan hanya mencetak manusia bermental buruh.
Islam memiliki pandangan yang khas terkait masalah pendidikan. Tata kelola pelayanan pendidikan tinggi sebaiknya hanyalah dengan prinsip-prinsip dan sistem politik yang selaras dengan karakter asli pengelolaan pelayanan pendidikan tinggi tersebut. Yaitu separangkat prinsip yang sesuai ketentuan Allah swt, Zat Pencipta manusia. Diterapkan melalui sistem pemerintahan yang telah didesain Allah swt sedemikian rupa sehingga selaras bagi keniscayaan terealisasinya sejumlah prinsip tersebut di tataran realitas, yaitu Khilafah Islam. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya adalah:
Pertama, pelayanan pendidikan harus steril dari unsur komersial. Hal ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap muslim, dan menjadikan pelayanan pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang dijamin langsung pemenuhannya oleh Negara. Hal ini akan menjamin tersedianya calon peserta didik berkualitas secara memadai untuk mengikuti pendidikan di tingkat pendidikan tinggi. Dan pada tingkat perguruan tinggi, pendidikan gratis berkualitas disediakan sesuai kebutuhan dan kemampuan Negara
Kedua, Negara/Khalifah selain bertanggungjawab penuh juga memiliki kewenangan penuh dalam peran pelayanan pendidikan. Ini dikarenakan Allah telah mengamanahkan tanggung jawab mulia ini di pundak Pemerintah/Khalifah. Yaitu sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw, artinya:
”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Jadi, Negara tidak dibenarkan melakukan langkah politik yang mengakibatkan peran Khalifah tereduksi sebatas regulator/fungsi administratif belaka.
Ketiga, strategi pelayanan harus mengacu pada tiga aspek. Yaitu kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional.
Keempat, anggaran mutlak. Artinya Negara memiliki kewajiban mengalokasikan atau menyediakan anggaran dengan jumlah yang memadai untuk pengadaan pelayanan pendidikan gratis berkualitas bagi setiap individu masyarakat. Karena jika tidak, akan mengakibatkan kemudharatan, yang dilarang Islam.
Kelima, pengelolaan keuangan haruslah dengan penuh amanah (anti korupsi, tidak boros)
Keenam, peran individu/swasta dalam pengelolaan pendidikan (tinggi) tidak dibenarkan, mengakibatkan terjadinya pelalaian tanggung jawab dan fungsi pemerintah terhadap pelayanan pendidikan masyarakat.
Demikan prinsip-prinsip tatakelola pendidikan tinggi yang menjamin akses setiap orang pada pendidikan tinggi dan terwujudnya visi pendidikan yaitu membangun kepribadian utuh manusia sebagai hamba Allah yang berperan menjaddi Khalifah fil ardhi.