Omnibus Law: Solusi untuk Rakyat atau Korporat?

By : Ummu Maryam
Ibu Rumah Tangga

Pandemi Covid-19 telah berhasil menghantam perekonomian Indonesia sampai masuk ke jurang resesi ekonomi. Bagaimana tidak, lockdown atau pembatasan sosial berskala besar yang dilakukan untuk mengurangi resiko penularan Covid-19 telah membuat perekonomian mandeg, gelombang PHK terjadi di berbagai tempat, banyak perusahaan yang gulung tikar dan daya beli masyarakat kian menurun. Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah berpendapat perlunya membuka kran investasi sebesar-besarnya agar tercipta lapangan pekerjaan yang luas. Untuk itu pemerintah tengah menggodog Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Ciptaker.

Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan dengan Omnibus Law Ciptaker diharapkan terjadi perubahan struktur ekonomi yang akan mampu menggerakkan semua sektor. Dia mengatakan, hal itu juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 hingga 6 persen. (Republika.co.id 12/07/2020)

Budi juga beranggapan bahwa produk hukum itu dapat mempermudah alur perizinan dan investasi di negeri ini sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas yang akan diikuti peningkatan upah sehingga dapat meningkatkan income, daya beli dan konsumsi. Karenanya, keberadaan Omnibus Law sangat diharapkan oleh pelaku usaha dan investor. Mereka optimis RUU yang tengah dibahas DPR dan pemerintah itu akan membawa dampak positif bagi masyarakat dan perekonomian negara. 

Lain dengan para pengusaha yang begitu semangat dalam menyambut peresmian aturan ini, gelombang penolakan justru dilakukan oleh para buruh, nelayan, dan kalangan lainnya di berbagai daerah. Salah satunya terjadi di Jakarta Kamis 16 Juli kemarin,  massa yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Front Perjuangan Rakyat (FPR), dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menggelar aksi menolak Omnibus Law secara keseluruhan di depan Gedung DPR. (jpnn.com 16/07/2020)

KSPI yang termasuk dalam tim teknis pembahasan Omnibus Law pun menyatakan keluar karena masukan yang pihaknya berikan hanya sekedar ditampung dan tidak diterima. Pihaknya juga menduga bahwa diundangnya mereka bergabung hanya sebagai formalitas belaka. Hal itu karena tim teknis dipaksa untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini bulan Agustus mendatang, yang berarti harus selesai dalam 4-5 pertemuan saja. Padahal pembahasan RUU ini termasuk persoalan penting yang harus dipikirkan matang-matang.

Serikat pekerja Perusahaan Listrik Negara (PLN)pun tampil menyuarakan ketidak setujuan mereka pada RUU ini, pasalnya dengan RUU ini listrik bisa dengan mudah di liberalisasi oleh pihak swasta. Hal ini akan mengakibatkan aset negara dikuasai oleh swasta, padahal sejatinya aset itu merupakan sesutu yang membuat negara bisa bertahan. Dengan RUU ini pula fungsi pengawasan DPR yang termasuk di dalamnya interpelasi, hak angket dan hak berpendapat dihilangkan.

Akibatnya permasalahan yang lain bisa bermunculan seperti kerusakan lingkungan, memperlebar celah korupsi, terjadi perbudakan modern, berpotensi PHK massal, menciptakan pendidikan yang menghasilkan tenaga murah, mengkriminalkan rakyat dan membuat pengusaha kebal hukum.

Semua permasalahan ini adalah buah dari diterapkannya kapitalisme di negeri ini. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat kini hanya sebuah alat yang digunakan oleh elit politik oligarki yang bukan bekerja untuk kepentingan rakyat melainkan memenuhi kepentingan pribadi dan para pendukungnya. Sistem ini melegalkan para pengusaha swasta bahkan asing untuk memanfaatkan sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat, sementara rakyat hanya dijadikan kacung di rumah sendiri tanpa perlindungan dan tanpa diberikan haknya.

Sistem kapitalisme rusak yang merusak ini sama sekali berbeda dengan sistem Islam yang senantiasa membuahkan kebaikan. Aturan Islam yang sempurna tidak akan membiarkan adanya penindasan. Negara, para pengusaha dan setiap pekerja muslim akan bahu membahu, saling bekerja sama dalam mewujudkan iklim perekonomian yang sehat dan saling menguntungkan.

Negara dalam Islam berfungsi aktif dalam mengatur perekonomian, bukan hanya sebagai regulator. Sumber daya alam akan dikelola oleh negara dan hasilnya akan digunakan untuk kemaslahatan umat. Jika negara belum mampu mengelolanya sendiri pihak swasta akan diikutsertakan namun hanya sebatas pekerja saja bukan sebagai pengelola utama. Hal ini tentu akan mencegah terjadinya privatisasi sumber daya alam yang akan mengancam kedaulatan negeri.

Karena sumber daya alam dikelola oleh negara, kas negara pun mampu memberikannya hak rakyat secara optimal mulai dari pendidikan terjangkau, kesehatan gratis, pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat kurang mampu sampai kepada jaminan hari tua untuk rakyat yang sudah tidak memiliki keluarga yang membiayainya. Karena beberapa jaminan sudah ditanggung negara, perusahaan bisa fokus membiayai pembangunan perusahaan yang ramah lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan pekerjanya.

Adapun dari sisi pemilik usaha, Rasulullah saw. telah mencontohkan tentang cara berbuat baik terhadap pekerja seperti anjuran memberikan upah secepatnya, tidak mendzalimi upah, memperlakukan pekerja sederajat dengan atasan, menganjurkan majikan untuk tawadlu dan tidak berlaku keras atau kasar pada pekerja. Seperti yang disebutkan dalam hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
Dari Aisyah ra, berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, tidak memukul perempuan juga tidak memukul pembantu atau budak, kecuali ketika beliau berjihad fi sabilillah,” (HR Muslim, 4/1814).

Sedangkan untuk pekerja atau karyawan Islam memberikan dua aspek penting yang harus dipenuhi yaitu qawiyyun dan amiin. Qawiyyun berarti kekuatan atau kemampuan dalam menjalankan tugasnya. Karenanya seorang muslim akan berusaha untuk memenuhi kualitas yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan karena ia dituntut untuk menjadi orang yang berkompeten dalam pekerjaannya.

Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang artinya: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (BUKHARI – 6015)

Aspek selanjutnya yang harus dipenuhi pekerja adalah amiin yang artinya dapat dipercaya. Dalam pengertian luasnya, orang tersebut memiliki kualitas akhlak yang unggul atau berakhlak mulia. Termasuk dalam aspek ini sikap jujur, rendah hati, tanggung jawab, dan lain-lain.
Dengan kerjasama dari negara, pengusaha dan pekerja yang sesuai ajaran Islam ini maka suasana ekonomi akan stabil dan penuh dengan keberkahan. Namun sayangnya sistem saat ini tidak akan pernah bisa mewujudkan kerjasama ini. Hanya Islamlah yang punya konsep sempurna yang hanya bisa dijalankan oleh daulah khilafah Islamiyah. Maka jawaban dari kekisruhan masalah manusia saat ini adalah kembali pada ajaran Islam. Jadi, apakah kita tetap ingin bertahan dalam sistem rusak ini atau beralih ke sistem Islam yang solutif tehadap seluruh masalah manusia?
Wallaahu a'lam bish shawaab.
Previous Post Next Post