Oleh : Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi
Tahun ajaran baru telah dimulai. Memasuki tahun ajaran 2020/2021, madrasah resmi menggunakan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab yang baru. Kurikulum tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Agama atau KMA 183 Tahun 2019.
Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, menyatakan pihaknya telah menghapus konten-konten terkait ajaran radikal dalam 155 buku pelajaran agama Islam. Penghapusan konten radikal ini merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag). Kementerian Agama merevisi 155 buku pelajaran agama sejak September 2019 lalu. Upaya itu dilakukan setelah menemukan pelajaran yang tidak sesuai dengan konteks zaman, seperti khilafah dan jihad. (ccnindonesia.com, 02/07/2020)
Adanya kebijakan mengenai moderasi beragama merupakan bentuk penyesatan sistematis terhadap ajaran Islam. Sekaligus mengkonfirmasi adanya islamofobia akut dalam tubuh rezim. Adanya pernyataan bahwa khilafah tidak lagi relevan untuk zaman sekarang adalah salah besar. Sebab Islam, termasuk khilafah, adalah ajaran yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk umat manusia di seluruh dunia. Maka sudah pasti Islam cocok diterapkan di semua tempat dan zaman, karena diturunkan langsung oleh Allah Swt sebagai Sang Khaliq.
Seperti yang dipahami, jika khilafah adalah sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Rasulullah saw. sanad khilafah sampai ke beliau. Apabila dibandingkan dengan sistem yang saat ini diterapkan, sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia, yaitu Cleisthenes. Sanadnya akan sampai kepada Cleisthenes yang berasal dari bangsa Yunani. Maka berkiblat kepadanya sama saja dengan menyalahi ajaran Islam.
Program penguatan moderasi beragama juga seakan menggiring opini bahwa lawan dari radikal adalah moderat. Seolah-olah radikal itu buruk. Oleh karena itu, muslim tidak boleh radikal. Sehingga ajaran-ajaran agama yang dipandang radikal harus dihapuskan. Padahal, kata radikal menurut KKBI memiliki arti yang netral, yaitu secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Jika disejajarkan dengan Islam, hal ini memang harus dilakukan agar keimanan yang dimiliki bisa menancap kuat.
Namun, saat ini konteks makna radikal justru dilabeli dengan makna negatif, tentu hasilnya akan berbeda. Hal ini jelas bergantung siapa yang ingin menggunakan kata radikal. Maka moderasi dalam Islam dipilih sebagai solusi. Padahal, jika diteliti tuntunan moderasi dalam ajaran Islamtidak memiliki landasan filosofis, teologis, dan ideologis. Wajar jika muncul anggapan, bahwa moderasi dalam Islam adalah pesanan Barat untuk mengaburkan ajaran Islam dari generasi.
Radikal selalu identikkan karakteristik sosok yang intoleran, cenderung radikal dalam konotasi memaksakan kehendak, brutal, memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kafah melalui tegaknya Khilafah Islamiyah, menolak demokrasi berikut derivatnya, termasuk anti-Barat. Sedangkan Islam moderat yang disodorkan memiliki ciri-ciri toleran, tidak memaksakan kehendak, tidak berlebih-lebihan dalam beragama, dan yang jelas lebih mudah diarahkan oleh Barat.
Demikianlah ketika pendidikan diatur dalam sistem sekuler, hanya melahirkan kurikulum sekuler anti Islam yang menjauhkan umat Islam dari ajaran-ajaran Islam, termasuk ajaran jihad dan khilafah. Kurikulum yang seharusnya mengarahkan generasi memperjuangkan tegaknya Islam, justru diganti dengan materi yang mendorong mereka mengganti Islam dengan sistem buatan manusia.
Sungguh ironis. Dengan adanya moderasi terhadap ajaran Islam, tentu hal ini akan membuat umat Islam terutama generasi muda akan semakin tidak mengenali ajaran agama mereka sendiri. Padahal, saat ini generasi muda sudah jauh dari ajaran Islam. Sebagaimana diketahui, kemunduran umat Islam di masa lalu disebabkan umat muslim yang meremehkan dan meninggalkan ajaran-ajaran Islam. Membiarkan peradaban asing menyerbu negeri mereka, baik melalui tsaqofah asing maupun budaya mereka, dan membiarkan paham Barat bercokol dalam benak mereka. Jika moderasi terhadap ajaran Islam terus dilakukan, maka bagaimana kondisi generasi saat ini?
Jihad dan khilafah adalah kekuatan besar umat Islam yang pernah membangun peradaban Islam. Keberadaan khilafah adalah sebagai metode untuk menerapkan syariat Islam secara kafah. Sedangkan, jihad berfungsi untuk mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Namun, perlu digaris bawahi bahwa dalam dakwah tidak dibenarkan melakukan tindak kekerasan. Terkait ketentuan jihad, fikih telah mengaturnya. Secara terminologi, kata jihad diartikan sebagai peperangan (qital) untuk menolong agama dan membela kehormatan umat Islam.
Maka ketika pelajaran ini disesuaikan, pemahaman yang diperoleh akan berbeda.
Oleh karena itu, kurikulum sekuler wajib diganti dengan kurikulum pendidikan Islam. Tetapi kurikulum pendidikan Islam hanya bisa diwujudkan oleh institusi Islam (khilafah). Khilafah menjadikan kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan akidah Islam.
Dimana tujuan pendidikan dalam khilafah adalah membentuk kepribadian Islam dan membekalinya dengan ilmu serta pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Landasan setiap ilmu pengetahuan yang didapatkan anak didik di dalam negara khilafah, baik pengetahuan yang terpancar dari akidah Islam, seperti pemikiran tentang akidah dan hukum-hukum syara’. Maupun pengetahuan yang didasari atas akidah Islam, seperti sejarah dan ilmu-ilmu lainnya harus merujuk pada akidah Islam.
Oleh karena itu, materi pengajaran tidak keluar dari dua macam yaitu :
a. Ilmu pengetahuan sains (ilmiyah) untuk pengembangan akal agar manusia dapat menetapkan hukum atas perkataan, perbuatan, dan suatu benda dari sisi fakta dan karakteristiknya, serta kesesuaiannya dengan fitrah manusia. Seperti kimia, fisika, ilmu astronomi, matematika, dan ilmu terapan lainnya. Ilmu ini tidaklah berhubungan langsung dengan pembentukan kepribadian Islam.
b. Ilmu pengetahuan tentang hukum syara’ mengenai perkataan, perbuatan, dan suatu benda dari sisi penjelasan hukum syara’ taklifi yaitu wajib, mandub, mubah, makruf, dan haram. Atau dari sisi penjelasan hukum syara’ wadh’i yaitu sebab, syarat, mani’.rukhsah, ‘azimah, sahih, batil, dan fasid. Ilmu pengetahuan inilah yang membentuk pola pikir Islami.
Wallahu a’lam bishshawaab.