Oleh : Sri Rahmawati
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679).
Jika kita menginginkan anak-anak shalih, maka kita juga harus menjadi orang yang shalih. Ada pepatah Arab yang bagus mengenai hal ini,
“Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara bendanya bengkok?”
Kita selaku orang tua adalah bendanya sedangkan anak-anak kita adalah bayangannya. Jika diri kita bengkok, maka anak pun akan bengkok dan rusak. Dan sebaliknya, jika diri kita lurus, maka insya Allah anak-anak akan lurus.
Saya ingin menuliskan kisah berikut ini karena benar-benar terjadi di dunia nyata. Sepertinya tidak percaya, tetapi ini banyak terjadi di sekitaran kita.
Anak-anak ABG sedang berkumpul di teras salah satu sekolah favorit, SMP khusus muslimah. Senang melihat mereka semuanya berpakaian hijab Syar’i tampak bercanda satu sama lain. Setelah beberapa lama memperhatikan keakraban mereka timbul rasa penasaran ingin tahu apa sih yang mereka bicarakan. Salah seorang dari mereka hendak berpamitan pulang, kemudian dia duduk di sebelah saya.
Saya perkenalkan diri, dan saya ajak ngobrol anak itu, rupanya dia begitu supel dan ramah, seolah kami telah kenal begitu lama. Saya coba menanyakan apa yang barusan dia dan teman-temannya bicarakan di teras sekolah.
“Oh itu, biasalah bu, seputar Korea. Teman aku tuh penggila Korea banget bu, aku enggak bisa ngebayangin, kemarin katanya baru saja nonton drama Korea seharian, enam belas episode, satu episodenya durasi satu jam, berarti kemarin dia nonton drakor selama enam belas jam non stop. Yang bikin aku heran tuh dia bukan nonton sendirian, mamanya yang awalnya mengajak, anaknya cuman menemani. Alhamdulillah mama aku enggak suka drakor bu, mana sempat mama aku sibuk orangnya. "
Terkejut bukan main saya mendengar cerita anak yang sholeha itu. Menurut pengakuannya, anak itu sama sekali tidak menyukai Korea, apalagi katanya kalau melihat Oppa-Oppa-nya yang cantik-cantik, membuatnya alergi. Alhamdulillah masih ada generasi yang sholehah yang merasa iba dan sedih melihat teman-temannya yang mayoritas menggilai Korea.
“Selama libur pandemi kemarin, teman-teman aku tuh hampir 90 persen hobi nonton Korea di rumah. Ada aplikasi khusus film atau drama Korea lho bu, mudah diunduh di hape, semua jenis drakor ada disitu, bebas kita mau memilih nonton apa mudah untuk dicari. Mereka tuh setiap nonton pasti bareng Mamanya, biasanya bergadang malam-malam. Setiap ada film Korea baru, Mamanya yang memberitahu dan mengajak menonton. Teman-teman aku bilang setiap drakor pasti ada adegan dewasanya, pelukan, ciuman, bahkan lebih dari itu. Barusan aku pergi pamitan kenapa coba bu, teman-teman aku heboh dan histeris banget melihat adegan begitu di hape nya, aku risih, malu. Mereka enggak malu menonton yang begituan bareng-bareng. Seperti sudah biasa, tidak ada yang aneh. Kata mereka di rumah juga begitu, pas ada adegan begitunya, mama-mamanya diam saja tidak melarang untuk melihatnya. Padahal sayang ya bu, menghabiskan kuota hanya untuk menonton Korea. Sebetulnya teman-teman aku tuh dulunya tidak begitu mengenal Korea bu, tapi setelah libur panjang pandemi kemarin mereka pada sibuk dengan tontonan Korea, yang justru diperkenalkan oleh mama-mamanya di rumah, gimana ya bu, apa bisa mengembalikan mereka seperti dulu, saya sedih, begitu masuk asrama ketika tidak ada guru, teman-teman aku menari Korea semua, gaya tik-tokan juga, semakin parah mereka. "
Tidak hanya anak itu yang sedih, banyak para orangtua lain yang turut prihatin dengan keadaan seperti saat ini, remaja muslim sudah banyak teracuni oleh gaya kapitalis. Herannya, para orangtua merasa sangat nyaman dan aman ketika anak-anaknya tidak keluyuran pada masa pandemi, tetapi anteng berada di rumahnya, dengan memfasilitasi mereka handphone, kuota internet, dan kebebasan memperoleh hiburan melalui tontonan yang membuat “betah” melakukan yang tidak ada manfaatnya. Akhirnya orangtua sulit membatasi penggunaan ponsel ‘pintar’ sehingga banyak anak-anak di bawah umur yang terjerat pergaulan bebas untuk meniru apa yang telah mereka tonton. Peran orangtua seharusnya adalah membantu anak-anak dalam mengatur waktunya. Tetaplah awasi dan pantau apa yang anak-anak lakukan sehari-hari, arahkan kegiatan mereka hanya yang bermanfaat bagi dunia sekaligus akhiratnya. Apabila orangtua memiliki kelebihan rejeki, belikan mereka buku-buku islami, ikutkan mereka dalam kegiatan komunitas remaja mengaji atau datangkan ustadz ke rumah.
Seberapa kerasnya didikan dan pengawasan para orangtua terhadap anak, peluang untuk hal negatif masuk tetap saja selalu ada. Oleh sebab itu, kepribadian dari sang anaklah yang akan membuatnya aman dari efek negatif atau justru terjerat dari efek tersebut. Orangtua lah yang berperan penting dalam membentuk kepribadian anak melalui contoh keteladanan orangtuadi rumah. Belum ada kata terlambat. Orangtua yang menggemari Korea segeralah berhijrah dan mengajak anak dengan perlahan untuk mempelajari kisah hebat para nabi, rosul dan pahlawan islam lainnya. Gadget masih bisa dimanfaatkan untuk tontonan yang menginspirasi dari kisah keteladanan nabi dan para sahabat, serta orang-orang sholeh.
Sebagai orangtua tentunya harus menanamkan nilai-nilai moral dalam keyakinan sang anak agar ia mampu memproteksi dirinya sendiri dari hal-hal negatif yang dapat merusak moralnya. Dari sejak kecil perkenalkan mana yang halal dan haram dalam pandangan Islam. Misalnya boleh tidak melihat para artis yang mengumbar aurat, mendengarkan musik dan lagu yang berlirik percintaan terhadap mahluk atau pemujaan terhadap syetan, menonton film yang mengandung adegan ‘negatif’dan kekerasan atau tidak mendidik. Kebanyakan drakor adalah kisah yang fiktif, mengarang-ngarang belaka, jauh dari nilai-nilai islami, seperti menyakini ruh hidup kembali dalam wujud manusia, berpacaran dengan ruh manusia yang sudah meninggal, kesyirikan, dan lain-lain. Menjadi pe-er besar bagi para bunda yang sudah membebaskan anaknya menonton banyak kisah drakor, satu persatu bunda harus menjelaskan kisahnya dan bagaimana dalam pandangan Islam, agar anak tidak memiliki salah pemahaman.
Cara lainnya yang dapat dilakukan orangtua adalah dengan memanfaatkan adanya family time. Kegiatan seperti ini akan membangun kepercayaan anak terhadap keluarga dan mengeratkan komunikasi serta rasa sayang satu sama lain. Orangtua aktif mengajak anak selalu mengobrol seputar Islam, Islam, dan Islam lagi.
Anak akan cenderung lebih merasa mendapatkan perhatian yang intensif dari keluarga sehingga tidak akan mencari perhatian lain di luar yang justru berdampak negatif.
Cara-cara di atas dapat dilakukan para orangtua dalam mengawasi setiap aktivitas serta pergaulan anak baik itu pada sosialnya maupun kegiatan onlinenya.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At Tahrim: 6).
Seorang tabi’in, Qatadah, ketika menafsirkan ayat ini mengatakan,
“Yakni, hendaklah engkau memerintahkan mereka untuk berbuat taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menerapkan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan dan bantulah mereka untuk menjalankannya. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegahlah mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim 4/502).
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.”(Tuhfah al Maudud hal. 123).
Mengenai tanggung jawab pendidikan anak terdapat perkataan yang berharga dari imam Abu al-Hamid al-Ghazali rahimahullah. Beliau berkata, “perlu diketahui bahwa metode untuk melatih/mendidik anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari urusan yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan qalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga dan murni yang belum dibentuk dan diukir. Dia menerima apa pun yang diukirkan padanya dan menyerap apa pun yang ditanamkan padanya. Jika dia dibiasakan dan dididik untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Dan setiap orang yang mendidiknya, baik itu orang tua maupun para pendidiknya yang lain akan turut memperoleh pahala sebagaimana sang anak memperoleh pahala atas amalan kebaikan yang dilakukannya. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa serta dosa yang diperbuatnya turut ditanggung oleh orang-orang yang berkewajiban mendidiknya” (Ihya Ulum al-Din 3/72).
Senada dengan ucapan al-Ghazali di atas adalah perkataan al-Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah, “Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil telah membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa. Ada orang tua yang mencela anaknya yang durjana, lalu anaknya berkata, “Ayah, engkau durjana kepadaku ketika kecil, maka aku pun durjana kepadamu setelah aku besar. Engkau menelantarkanku ketika kecil, maka aku pun menelantarkanmu ketika engkau tua renta.” (Tuhfah al-Maudud hal. 125).
Semoga kita tidak tergolong ke dalam golongan orangtua yang menelantarkan anaknya dalam urusan pendidikan mereka, aamiin.
Wallohu a’lam bish showab.