"Kita harus memilih antara memerangi virus ini dengan seluruh sumber daya yang kita punyai, atau menyerah karena jawaban yang ada terlalu sulit untuk dilakukan," (Paul Romer, Profesor di Universitas New York, pemenang hadiah nobel dalam bidang ekonomi)
Menurut Paul Romer hingga vaksin corona ditemukan negara harus melakukan tes virus corona secara masif agar mampu menuju ke kehidupan yang kembali normal. Seperti bekerja dan melakukan aktifitas di area publik. Namun, apa yang terjadi jika untuk melakukan tes tersebut harus merogoh kantong yang cukup dalam?
Setelah beberapa bulan pandemic Indonesia memiliki kasus positif covid-19 melebihi 60.000 orang, jumlah kematian 3.036 orang, dan total sembuh 27.508 orang per 3 Juli 2020. Sampai saat ini yang melakukan tes swab kurang lebih 1900 orang dari total 270 juta penduduk. Masih terbilang sangat rendah dibandingkan dengan negara lain di seluruh dunia.
Meski begitu biaya tes virus corona di sini pun cukup tinggi. Tak ayal masyarakat merasa enggan melakukan tes tersebut karena menjadi beban tersendiri. Masa pandemi ini telah memaksa jutaan warga terisolasi dan kehilangan mata pencaharian mereka. Sedang bantuan dari pemerintah pun warga tidak bisa berharap banyak.
Tingginya biaya tes ternyata telah menelan korban jiwa. Kali ini seorang Ibu bernama Ervina Yana di Makassar yang harus kehilangan bayinya sehari sebelum dilahirkan. Dalam istilah medis disebut stillbirth atau meninggalnya bayi di atas 20 minggu di dalam kandungan. Hal ini terjadi karena tindakan operasi kelahiran yang terlambat. Belakangan diketahui sang ibu ternyata memiliki hasil reaktif dari tes rapid yang telah dilakukan. Namun tidak dilanjutkan dengan tes swab karena biayanya yang cukup mahal. Padahal rangkaian tes tersebut sebagai prasyarat operasi kelahiran selama pandemi.
Komersialisasi Tes Corona Menambah Deretan Panjang Masalah
Banyak pihak menduga telah terjadi komersialisasi pada alat uji tes baik itu tes rapid maupun swab. Mahalnya biaya tes corona menjadi salah satu indikasi pelayanan kesehatan dijadikan sebagai tempat untuk meraup keuntungan. Hal ini hanya akan menambah deretan panjang masalah di tengah wabah.
Di saat ekonomi rakyat semakin melemah karena banyak buruh yang dirumahkan dan kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), naiknya tagihan listrik, disusul kenaikan iuran BPJS, dan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup karena melambungnya bahan-bahan pokok selama pandemi. Dana bansos yang diberikan oleh pemerintah banyak dikeluhkan tidak merata dan sampai ke tangan yang membutuhkan. Belum lagi ada pemangkasan dana bansos sebanyak 50%.
Dilansir dari kompas.com, tes rapid dijual dengan harga bervariasi di kisaran harga ratusan ribu. Namun rata-rata harganya masih di bawah satu juta. Beberapa tes rapid yang dijual tidak memiliki merk. Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan kalau alat pendeteksi virus corona yang dijual di toko online merupakan barang ilegal. Alat-alat kesehatan tersebut belum memiliki izin edar dan terdaftar di Kementerian Kesehatan.
Biaya rapid tes mulai dari Rp 200.000 hingga Rp 500.000, sementara untuk tes swab antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lainnya. Masa berlaku tes rapid hanya tiga hari dan tes swab tujuh hari. Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang. (makassar.kompas.com, 19/6/2020).
Terkait dengan itu, besaran biaya untuk melakukan tes virus corona bervariasi di berbagai instansi di Indonesia terutama di rumah sakit swasta. Biaya tersebut dipengaruhi oleh harga alat uji dan reagent yang dibeli sendiri oleh pihak rumah sakit. Juga termasuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut.
Pengamat kebijakan public dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, berpendapat bahwa terjadinya komersialisasi tes virus corona disebabkan lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes alat tersebut. Menurutnya, terdapat dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah komersialisasi tes virus corona ini.
Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes. Hal ini berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus corona dan penetapan covid-19 sebagai bencana nasional non-alam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No. 1 tahun 2020 menjadi undang-undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi covid-19.
Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun pemerintah.
Sejalan dengan apa yang disampaikan Trubus, ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan bahwa seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes segera menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes rapid. Sehingga konsumen tidak menjadi objek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya tes rapid. (makassar.kompas.com, 19/6/2020).
Kapitalisme Melemahkan Peran Negara
Indonesia, hari ini, dan hampir seluruh negara-negara di dunia mengalami wabah covid-19. Fenomena wabah sejatinya telah terjadi berulang kali sepanjang sejarah manusia. Sebagaimana tercatat dalam literatur sejarah dunia. Kapan wabah terjadi, berapa jumlah korban dan kematian, beberapa capaian dunia kesehatan, hingga upaya-upaya apa yang dilakukan negara dalam penanganannya. Itu semua tidak terlepas dari corak sistem yang diadopsi oleh suatu negara.
Dalam sistem kapitalisme, negara dianggap sebagai ladang bisnis berbasis politik. Negara hanya berperan sebagai regulator yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dengan pengusaha. Negara mencegah agar tidak terjadi konflik antara keduanya. Tapi faktanya, yang dimaksud mencegah konflik itu adalah dengan cara negara lebih mengedepankan kepentingan pengusaha dari pada kepentingan rakyat. Sehingga yang terjadi bentuk tanggung jawab negara terganti dengan adanya pengaruh dari para pengusaha. Terbukti dengan dibukanya mal-mal di hari pertama setelah ditetapkannya new normal.
Sudut pandang kapitalisme yang sempit mengasumsikan bahwa manusia merupakan makhluk yang hanya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dalam hal ini, negara menjadi pelaksana untuk memuluskan upaya para pengusaha dengan menjual fasilitas-fasilitas yang seharusnya dinikmati dengan harga murah atau bahkan gratis oleh rakyat.
Indonesia yang menganut kapitalisme tentu memiliki prinsip yang tak jauh dari induknya. Peran dominan negara sebagai regulator membuat rakyat dibiarkan secara mendiri mengurus seluruh urusannya sementara penguasa berjalan menurut kepentingannya. Hal ini bisa dicirikan dari bagaimana respon negara terhadap covid-19 setelah dijadikan sebagai pandemi global. Seharusnya kebijakan-kebijakan yang digulirkan sejalan dengan kebijakan penanganan wabah.
Diawali dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), menutup jalur ke dalam dan keluar negeri, pengaturan moda transportasi, memenuhi fasilitas kesehatan covid-19 termasuk melakukan tes virus corona secara massif dan massal, penerapan social distancing, dan menjamin kebutuhan rakyat selama pandemi. Namun, langkah-langkah itu tidak serius dilakukan oleh penguasa karena terkendala pertimbangan ekonomi semata.
Beginilah jika kekuasaan diamanatkan pada negara pengusaha. Kepentingan rakyat diabaikan. Fungsi negara sebagai raa’in (penanggung jawab) tak diindahkan.
Kepemimpinan Amanah dan Adil
Wabah yang melanda dunia telah menelan banyak korban dan membuat para pemangku jabatan kelimpungan. Pejabat teras diliputi kebingungan dalam membuat konsep dan menelurkan kebijakan yang tepat selama penanganan wabah. Tak bisa dipungkiri rakyat membutuhkan kepemimpinan yang amanah juga adil untuk mengurus urusan mereka.
Islam sebagai agama juga sistem kehidupan yang berasal dari wahyu Allah SWT telah membuktikan kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Termasuk dalam penanganan wabah.
Dikisahkan dalam Fathu al-Bari, Ibnu Umar menceritakan bahwa Umar ra. Keluar ke Syam, ketika tiba di Syargh, sampai kepadanya bahwa wabah terjadi di Syam. Lalu Abdurrahman bin Auf memberitahunya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datang ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri.”
Wabah tha'un amwas yang menyerang wilayah Syam dikabarkan telah menghantarkan kematian tidak kurang dari 30 ribu rakyat. Penyakit inipun menyerang beberapa sahabat khalifah Umar seperti Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, dan Suhail bin Amr hingga mereka pun wafat karenanya.
Maka kemudian Umar pun mengambil kebijakan penanganan wabah tersebut sesuai dengan yang diperintahkan oleh Rasulullah. Dalam istilah sekarang bisa disebut dengan lock down.
Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab: 21
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (TQS. Al-Ahzab : 21)
Pemerintah seharusnya berfungsi sebagai raa’in, yaitu pemimpin yang diberi amanah untuk bertanggung jawab memelihara segala urusan rakyat dengan baik. Pemerintah harus memastikan pemenuhan kebutuhan rakyat baik itu primer maupun sekunder. Termasuk memberi jaminan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Tentu pemenuhannya harus sesuai dengan apa yang Allah tetapkan.
Selain itu, pemerintahan dalam islam berfungsi sebagai junnah atau pelindung bagi rakyatnya. Negara harus mengayomi dengan memfasilitasi kebutuhan rakyat dalam menghadapi pandemi. Memberikan tes virus corona dengan gratis salah satunya.
Tercatat dalam sejarah rumah sakit Islam pertama didirikan pada masa kekhilafahan Al-wali bin Abdul Malik. Rumah sakit ini khusus untuk penyakit lepra. Pada saat itu terdapat dua macam rumah sakit: Rumah sakit yang permanen dan rumah sakit yang berpindah-pindah. Rumah sakit yang permanen adalah rumah sakit yang didirikan di kotak-kotak. Jarang sekali ditemukan sebuah kota Islam, walaupun kecil, tanpa ada rumah sakit di dalamnya.
Rumah sakit yang permanen di kota-kota besar mencapai kualitas yang sangat tinggi. Memiliki uni-unit spesialis. Langkah-langkah yang diambil rumah sakit untuk menghindari penularan begitu hati-hati. Pasien yang masuk ke rumah sakit, maka ia harus mengganti pakaiannya dengan pakaian baru yang diberikan oleh rumah sakit. Pasien masuk ke dalam ruang khusus untuk jenis penyakitnya. Ia tdk diperbolehkan masuk ke ruang yang lain untuk mencegah penularan penyakit. Diberikan ranjang, selimut dan obat-obat yang khusus untuknya. Dibandingkan dengan rumah sakit yang baru didirikan Prancis jauh berabad-abad setelah rumah sakit Islam. Itu pun para pasien dengan bermacam penyakit ditempatkan dalam satu ruang bahkan satu ranjang dibuat untuk beberapa pasien.
Rumah sakit-rumah sakit dalam negara Islam memiliki banyak dokter, perpustakaan ilmiah yang besar, apotek, dan beberapa tempat masak. Para dokter memiliki memiliki jadwal masing-masing untuk melayani para pasien dan selalu ada dokter yang bertugas dalam waktu dua puluh empat jam.
Selain fasilitas yang lengkap dan berkualitas, pelayanan medis yang berkualitas juga diberikan kepada orang-orang yang sakit di bawah naungan negara Islam tanpa adanya diskriminasi antara orang kaya dan orang miskin, antara orang yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, antar pejabat dan rakyat biasa, antara muslim dan non muslim. Umumnya pengobatan diberikan secara gratis. Karena itu, orang-orang yang sakit merasakan kepuasan pelayanan yang terbaik, apapun tingkatannya dalam masyarakat. Pasien yang sakit diberikan fasilitas yang sama, perhatian, dan pengobatan secara gratis tanpa harus menghiba.
Termasuk orang-orang yang berada dalam penjara, mereka tidak luput dari perhatian medis. Menteri Ali bin Isa bin Al-Baqarah menulis surat kepada Asinan bin Tsabbit, ketua dokter di Baghdad. Isinya memerintahkan kepadanya untuk menyediakan para dokter bagi para tahanan agar berkeliling memeriksa setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman, dan mengobati mereka yang sakit.
Dari Ibnu Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda : “Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian… (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bisshawab.