Oleh. Alfiyah Kharomah
Revowriter Jawa Tengah, Praktisi Kesehatan
Beberapa waktu lalu, unilever memproklamirkan dukungannya terhadap LGBTQ. Tentu saja, ini menimbulkan keriuhan terutama masyarakat Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas muslim. Dampaknya, tak sedikit dari masyarakat yang menyeru untuk memboikot produk-produk berlambang U tersebut. Kemudian beralih ke produk yang lain.
Dukungan Unilever dan komitmennya terhadap kaum pelangi ini sangat kuat. Tak pelak akhirnya semakin mengeksiskan keberadaan mereka. Apalagi di sistem yang menyuburkan kebebasan saat ini. Meski mendapatkan pemboikotan, Unillever tak gentar untuk menarik dukungan tersebut. Yang ada malah mereka semakin eksis. Bahkan LGBTQ telah berkembang menjadi gaya hidup.
Ironi di negeri muslim ini, pesta gay sering digerebek, namun para pelakunya dilepas kembali karena tak ada pasal pidana yang bisa menjerat mereka. Upaya mempidanakan dengan hukum yang legal kandas dalam putusan MK yang menolak pemidanaan pelaku LGBT.
Mirisnya, tahun 2019, pelaku LGBTQ terbanyak ada di Sumatera Barat dengan jumlah komunitas berkisar 18.000 orang. Angka ini sangat mengejutkan dan masih hanya di provinsi Sumbar saja, belum seluruh Indonesia.
Tidak banyak yang tahu, beruntun dengan peristiwa dukungan Unilever terhadap LGBTQ, pada 6-10 Juli 2020 ini berlangsung AIDS 2020: Virtual yang merupakan konferensi AIDS skala internasional terbesar ke-23 secara virtual. Momen ini bagi mereka penting, mengingat perkembangan HIV/AIDS yang terus merebak di dunia. Data terbaru UNAIDS dalam Global AIDS Update 2020 menjadi peringatan bahwa kemajuan pengendalian infeksi HIV/AIDS justru berada pada titik balik.
Tahun 2014, UNAIDS menetapkan pengurangan jumlah infeksi baru dan kematian akibat AIDS di bawah 500.000 per tahun pada 2020. Namun, dalam dua tahun terakhir justru meningkat hingga 1,7 juta orang tertular virus tersebut setiap tahunnya.
Peningkatan tajam infeksi virus yang menyerang sistem imun ini terjadi pada kaum marginal, yakni laki-laki gay dan biseksual, perempuuan transgender, pekerja seks, dan orang-orang yang menggunakan narkoba (Global AIDS update 2020).
Tentu saja, dunia gulana dengan capaian program pengendalian HIV/AIDS yang tak sesuai target. Pencegahan penularan berjalan lambat. Infeksi baru pada tahun 2019 justru meningkat lebih tiga kali lipat dari target capaian di tahun 2020. Faktanya, 62% infeksi HIV/ AIDS terjadi pada komunitas kunci dan pasangan seksual mereka.
Populasi kunci ini meliputi pekerja seks, pengguna narkoba suntik, narapidana, transgender, gay, dan laki-laki lainnya yang melakukan aktivitas seksual dengan laki-laki (unaids.org). Pada tahun 2018, untuk pertama kalinya, orang-orang dari kelompok populasi kunci dan pasangan seksualnya menyumbang lebih dari setengah dari semua infeksi HIV baru secara global (diperkirakan 54%) pada tahun 2018. Ada yang harus menjadi perhatian masyarakat, selain covid-19, HIV/ AIDS telah menjadi pandemi di dunia, bahkan sejak 1981.
Solusi atas pandemi HIV/AIDS dibangun atas visi global yang ditawarkan oleh dunia yakni Three Zeroes: Zero new HIV infecions, zero AIDS related deaths, and zero discrimination. Visi ini hanya akan menjadi utopis apabila dunia masih memaklumi kebebasan seksual yang menjadi vektor terbesar penyakit ini.
Berdasarkan hal tersebut, maka, dunia mengalihkan perhatiannya pada populasi kunci sebagai penyumbang angka HIV terbanyak. Maka, mereka menjadikan LGBTQ sebagai kelompok yang mendapatkan perhatian khusus. Meski keberadaan mereka, terutama di negeri-negeri muslim, termasuk di Indonesia masih menuai kontra. Ini bis ajadi menjadi alasan mengapa banyak MNC group menggandeng tangan mereka dan mendukung komunitas yang dilaknat agama ini.
Maka diarusutamakanlah, kaum pelangi untuk semakin muncul di permukaan bumi. Jangan malu dan jangan didiskriminasi. Salah satunya adalah UN Women yang menggandeng kaum pelangi dengan jargon UN Women’s LGBTIQ+ Policy Specialist dan Sophie Browne yang akan menggawanginya. Ia akan bekerja secara global dengan mitra eksternal untuk mengintegrasikan lensa LGBTIQ+ ke pekerjaan UN Women.
Visi Three Zeroes akan menjadi angan-angan kosong bagi dunia, karena sistem sekularisme kapitalisme ini lah yang mewujudkan kebebasan perilaku. Perilaku tersebutlah yang menghantarkan manusia pada penyimpangan seksual penyuka sesama jenis yang menjijikan. Karena barat harus mengakomodasi kebebasan tersebut sebagai hak dasar yang diyakini ideologi tersebut. Meski perilaku tersebut lepas dari fitrah manusia.
Tak berlebihan jika masyarakat dunia menilai bahwa solusi yang diberikan barat atas HIV/AIDS sangat jauh panggang dari api. Bukannya menurunkan angka pandemi HIV/AIDS, justru semakin mengeksiskan kaum LGBTIQ dan melegalisasikannya sebagai hak asasi manusia yang wajar dan patut didukung. Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Maka, tentu saja tidak masuk akal menjadikan legalisasi LGBTIQ sebagai alasan untuk mencegah penularan infeksi HIV/AIDS. Apalagi bagi Islam, LGBTQ adalah perilaku haram yang menyimpang, dan mendapatkan laknat dari Allah SWT. Al-Qur’an menyebutkan perilaku homoseksual yang dipresentasikan kaum nabi Luth ‘alaihissalam di beberapa ayat. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka) bukan kepada wanita, malah kalian ini kaum yang melampaui batas.” (TQS Al A’raaf ayat 81)
Kemudian, dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu), maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kriminal itu.” (TQS. Al-A’raaf: 80)
Dalam ayat tersebut di atas, Allah SWT sebut kaum nabi Luth As yang melakukan perbuatan sodomi tersebut dengan sebutan “para pelaku kriminal”
Alih-alih dunia menyebut LGBTQ dengan pelaku kriminal, mereka malah diberi ajang untuk mempresentasikan keberadaannya. Kebalikannya, masyarakat khususnya Islam tak boleh melabeli mereka dengan sesuatu yang buruk apalagi mendiskriminasikan perbuatan mereka.
Maka barang tentu, jika dunia ingin pandemi HIV/ AIDS ini berakhir dan hilang sampai ke akar-akarnya, dunia harus kembali kepada fitrahnya. Termasuk orientasi seksualnya harus dikembalikan sesuai ketentuan Allah.
Tak hanya itu, masyarakat membutuhkan solusi fundamental dengan dasar pemikiran yang benar. Agar aturan dan solusi yang terlahir dari pemikiran tersebut adalah aturan dan solusi yang benar pula. Yakni solusi yang mampu menghilangkan penyebab utama vektor HIV/ AIDS, mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Laki-laki terpaut pada perempuan dan sebaliknya dan memuaskan naluri melestarikan jenisnya dalam koridor yang benar. Sebuah solusi yang lahir dari sistem ilahi yang Maha Benar.
Apakah solusi dan aturan yang benar tersebut? Ialah Islam yang mampu mengayomi manusia secara adil tanpa sekat ras, agama, warna kulit dan kasta. Islam akan mengembalikan fitrah manusia dalam tatanan sebuah pernikahan yang mulia, yang menghasilkan generasi berperadaban tinggi jauh dari perilaku hewani.
Wallahu’alam bisshawab.