Ironi Pilkada di Tengah Pandemi


Oleh : Umul Asminingrum

Kurang lebih tiga bulan lamanya pandemi Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional di Indonesia. Dimulai sejak awal Maret 2020. Berbagai upaya penanganan wabah terus dilakukan. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan sejumlah protokol kesehatan. Serta himbauan Social dan Physical Distancing. Kini berlaku New Normal.
Meski pemerintah mengklaim telah berusaha semaksimal mungkin dalam penanganan kasus pandemi. Nyatanya kasus Covid-19 perharinya terus melonjak naik. Tidak ada tanda-tanda kurva akan melandai. Bahkan di Jawa Timur khususnya, akhir-akhir ini  menuai "prestasi" dengan kasus tertinggi melebihi kota lainya.

Ditengah buruknya penanganan pemerintah terhadap pandemi Covid -19 yang melanda negeri ini. Pemerintah dan semua jajarannya tetap bersikukuh akan melaksanakan Pilkada serentak 2020.

Untuk menindaklanjuti ketentuan dalam Perpu tersebut, pada 27 Mei lalu DPR RI bersama KPU RI dan Pemerintah menyetujui secara resmi bahwa Pilkada Serentak yang semula tertunda dapat dilanjutkan. Tepatnya pada hari Rabu, 9 Desember 2020. Hal itu dikuatkan oleh diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemililihan Umum Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. (Timesindonesia, 18/06/2020)

Salah satu alasan yang menguatkan dilanjutkannya pelaksanaan Pilkada 2020 adalah, agar tidak banyak kekosongan jabatan. Karena saat posisi kepala daerah diisi oleh pelaksana tugas kepala daerah. Bukan tidak hanya legitimasi yang tidak kuat dalam menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga lemah dalam eksekusi kebijakan penanganan Covid-19 di daerahnya masing-masing.

Pilkada saat pandemi tentu akan sangat mengancam keselamatan. Resiko penularan wabah akan semakin besar. Sebab sulit sekali menghindari kerumunan. Meskipun KPU telah menyiapkan aturan khusus Pemilu saat terjadi bencana nonalam. Seperti adanya bilik khusus bagi warga yang suhu badannya lebih dari 38°C. Menerapkan protokol kesehatan. Seperti memakai masker, sarung tangan khusus dan cuci tangan pakai sabun. Serta paku pencoblosan disterilisasi berkala. Tetap saja ini bukan jaminan bahwa masyarakat tidak akan tertular Covid-19.

Mengapa pemerintah tetap ngotot akan menyelenggarakan pesta rakyat ditengah pusaran pandemi seperti ini? Sebagian pihak baik lokal maupun internasional menyebut momen Pilkada ditengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan untuk duduk di kursi kekuasaan.
Inilah konsekuensi yang harus dijalankan oleh penganut sistem politik demokrasi. Agar bisa meraih kursi kekuasaan harus mendapat suara terbanyak. Dengan anggapan suara terbanyak dapat mewakili aspirasi rakyat. Namun pada kenyataannya, rakyat yang dimaksud adalah segelintir orang yang punya modal besar yakni para kapital.

Untuk memperoleh suara yang besar dalam sistem demokrasi dibutuhkan kampanye yang massif. Seperti cetak baliho, pengadaan kaos, iklan baik di media cetak maupun elektronik. Bahkan anggaran untuk uang "gelap" pun pasti disiapkan. Belum lagi untuk membayar para relawan dan timses.

Tentu saja hal ini harus disokong dana yang tidak sedikit. Hal yang mustahil bila dana yang super besar itu hanya didapat dari kantong pribadi para calon. Melainkan juga disokong oleh partai dan pemilik modal.

Seperti pengakuan mantan Menteri Ekonomi era Gusdur, Rizal Ramli. Saat bertemu pakar hukum Refly Harun. Ia mengaku pernah ditawari untuk didukung menjadi presiden. Tetapi menolak sebab harus mengeluarkan biaya 1,5 T untuk bayar partai-partai pendukung. (pikiran-rakyat,28/06/2020).

Maka tidak mengherankan apabila berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin terpilih sarat dengan kepentingan pengusaha. Pemimpin yang lahir dari sistem ini adalah orang-orang yang akan memuluskan kepentingan bisnis para kapital. Bukan pemimpin yang akan melayani kebutuhan umat. Sebab umat hanya dibutuhkan suaranya saat pemilu. Setelah itu dilupakan begitu saja.
Apalagi masa jabatan yang terbatas hanya lima tahun. Hal ini menjadikan penguasa terpilih lebih fokus untuk mengembalikan modal saat pemilu. Mereka berupaya sekuat tenaga menjaga kekuasaan nya agar tetap kokoh. Sehingga terjadilah lingkaran oligarki. Dimana negeri ini diatur oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan sendiri. Sementara urusan rakyat diabaikan.

Pantas saja bila Rizal Ramly mengatakan  demokrasi Indonesia merupakan demokrasi kriminal karena terlalu mengikuti sistem politik di Amerika Serikat (AS). Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin banyak, bukan justru berkurang. (Beritasatu.com, 15/02/19)

Sudah saatnya umat Islam melirik sistem alternatif lain, yang akan membawa kemaslahatan dan keberkahan. Memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan. Sistem hidup yang sangat didambakan kehadirannya kembali ditengah tengah umat. Membawa peradaban yang cemerlang. Menjadikan pemimpin yang ada bukan sebagai hamba pengusaha melainkan pengurus rakyatnya. Itulah sistem pemerintahan Islam yang sudah terbukti mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu'alam bish-shawab.
Previous Post Next Post