Pemerhati Sosial
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seharusnya mampu dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia. Namun nyatanya hal itu jauh panggang dari api. Akhir-akhir ini keadilan di Indonesia sedang dipertanyakan publik. Masih segar dalam ingatan kita kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan yang pelakunya hanya dihukum 1 tahun penjara.
Kuasa hukum menjelaskan bahwa kedua terdakwa yaitu Rahmad Kadir dan Ronny Bugis pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan adalah anggota aktif kepolisian sehingga berhak mendapatkan bantuan hukum. Hal ini diatur dalam Peraturan Polri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2017. Dalam Perkap tersebut anggota Polri dapat memperoleh bantuan hukum dari Polri (detik.com 29/6/20).
Hukuman Rahmat dan Ronny sangat jauh berbeda dengan hukuman Ruslam yang juga di penjarakan karena kasus penyiraman air keras terhadap istri dan mertuanya pada 18 Juni 2018 lalu. Dia di jatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh pengadilan Negeri Pekalongan. Penyiraman air keras juga dilakukan oleh Heriyanto kepada istrinya hingga meninggal dunia pada Juli 2019 lalu. Jaksa kemudian menuntut Heriyanto dengan pidana penjara selama 20 tahun. Tuntutan jaksa itu kemudian dikabulkan Majelis Hakim PN Bengkulu.
Kasus sama namun hukuman yang diberikan sangat jauh berbeda ini membuat geram warga Indonesia. Hingga banyak kalangan yang mengkritik kasus Novel Baswedan sebab hukuman yang diberikan kepada pelaku tidak setimpal. Wajar jika publik menanyakan kembali keadilan di negeri demokrasi ini. Negeri yang katanya menjalankan supremasi hukum tanpa pandang bulu.
Hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas seakan tak pernah usai kita dapati. Masih ingat kah kita dengan nenek Asyani yang dihukum 1 tahun penjara gara-gara mencuri kayu jati pada tahun 2015 lalu. Nenek Asyani divonis bersalah setelah didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dijadikan tempat tidur. Kasus yang sama juga menimpa nenek Minah yang dihukum 1 bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan karena didakwa mencuri tiga buah kakao (cokelat) seharga Rp 2.000 di perkebunan milik perusahaan PT Rumpun Sari Antan pada tahun 2009 lalu.
Miris sekali melihat penegakan hukum di Indonesia. Demokrasi yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia, justru banyak hak-hak rakyat yang tergadaikan. Nepotisme keluarga pejabat dalam peradilan di Indonesia secara kasat mata bisa dirasakan masyarakat luas. Lihat saja pada kasus korupsi di Indonesia yang dinilai hukumannya sangat ringan jika dibandingkan dengan kerugiannya bagi Negara.
Dalam catatan ICW pada 2019 ada dua putusan yang sangat fatal bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, vonis lepas terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Tumenggung Mantan Kepala Badan Peyehatan Perbankan Nasional pada tingkat kasasi. Kedua, vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau 1, Sofyan Basir Mantan Direktur PLN pada persidangan tingkat pertama.
Sepanjang 2019 ICW juga mencatat, setidaknya ada enam putusan yang meringankan narapidana korupsi, mulai dari irman Gusman, Choel Mallarangeng, Suroso, Tarmizi, Patrialis Akbar, dan Sanusi. Tak hanya itu sepanjang Desember , MA juga memberikan pengampunan terhadap dua terdakwa korupsi , yakni Idrus Marham dari 5 tahun menjadi 3 tahun penjara dan Lucas dari 5 tahun menjadi 3 tahun penjara.
Inilah potret keadilan dalam sistem demokrasi. Hukum yang jika dihadapkan dengan penjabat dan keluarganya seolah-olah tumpul dan tidak berpihak sama sekali pada kebenaran. Hukum yang syarat dengan kepentingan penguasa, bisa berkompromi dan bahkan bisa dikondisikan dalam situasi apapun. Jika kasus hukum menimpa pejabat maka akan ada seribu cara untuk meringankan hukumanya.
Hal ini sangat jauh berbeda ketika Islam diterapkan sebagai sebuah sistem peraturan Negara. Seperti yang pernah dilakukan Khalifah Umar Bin Khattab, Ibnul Jauzi merawikan bahwa Amr Bin al- Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minum khamr terhadap Abdurrahman bin Umar (Putra Khalifah Umar). Saat itu, Amr bin Al-Ash menjabat sebagai Gubernur Mesir. Bisanya pelaksannaan sanksi hukum seperti ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum di pusat kota. Tujuannya agar memberikan efek jera.
Tapi Amr bin Al-Ash menghukum Abdurrhman bin Umar justru di dalam sebuah rumah. Ketika informasi ini sampai kepada Umar sang Khalifah, Umar pun langsung melayangkan teguran kepada Amr bin Al-Ash dengan memberikan sepucuk surat. Yang isinya kurang lebih menegur dengan keras perbutan Amr bin Al-Ash tersebut. Kemudian Abdurrahman digiring ke sebuah lapangan di pusat kota. Amr bin Al- Ash lalu mencambuk Abdurrahman de depan publik.
Begitulah sikap khalifah Umar. Beliau mengimplemtasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai persamman di depan hukum. Tidak peduli dia putra Khalifah (putranya sendiri) ataukah bukan. Dan Umar juga menghukum pejabat yang tidak adil dalam proses penegakan hukum seperti Amr bin Al-ash.
Penegakan hukum seperti ini tentunya sangat dirindukan oleh seluruh manusia penduduk bumi. Khusunya di Indonesia, namun dalam sistem demokrasi mengharapkan keadilan seperti yang dilakukan Umar tampaknya seperti mengharap air di tengah padang pasir. Sangat sulit diwujudkan. Meskipun sila ke 5 pancasila sudah kita hafalkan semenjak SD sepertinya tak berdampak banyak pada pejabat Negeri ini.
Dalam demokrasi hukum dibuat oleh manusia melalui perwakilan rakyat atau parlement. Dimana hal ini akan sangat mudah di bengkokkan dari tujuan awalnya. Yaitu untuk keadilan. Karena sifat manusia yang lemah, terbatas dan terantung serta memiliki hawa nafsu. Berbeda dengan masa Umar yang menerapkan hukum Islam dalam penerapan Negara masa itu. Pasti keadilan akan dirasakan oleh seluruh warga Negara. Karena hukum diambil dari sang Maha Pembuat Hukum yakni Allah Subahana Wa Taala.