Guruku Sayang Guruku Malang

Oleh: Choirin Fitri

Guru adalah profesi mulia. Dialah pendidik generasi masa depan. Tanpanya sebuah negri akan menjadi hancur berantakan. Tak heran jika Kaisar Jepang saat terjadinya pengeboman Hirosima dan Nagasaki oleh Amerika, orang hidup yang dicari adalah guru. 

Menurut sejarah, Jepang pernah terpuruk dengan hancurnya kota Nagasaki dan Hiroshima oleh bom Amerika. Jepang saat itu lumpuh total, korban meninggal mencapai jutaan, belum lagi efek radiasi bom tersebut yang dalam perkiraan membutuhkan 50 tahun untuk menghilangkan itu semua.

Maka, Jepang terpaksa menyerah kepada sekutu, dan setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka “Berapa jumlah guru yang tersisa?“. Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”

Luar biasa bukan? Guru adalah sosok yang dicari untuk menyelamatkan masa depan. Dan benarlah apa yang dilakukan oleh Sang Kaisar, sehingga kini kita bisa melihat Jepang menjadi peradaban yang bangkit dan maju. 

Anehnya, di negeri +62 ini guru malah menjadi sosok yang dinomorduakan. Perannya yang amat istimewa sebagai pendidik generasi masa depan kalah jauh dibandingkan dengan profesi lainnya. Bahkan, gaji guru honorer atau kontrak di berbagai daerah jauh panggang dari api hingga mereka terpaksa bekera sampingan untuk menunjang kehidupannya. 

Kini berita pilupun berasal dari profesi mulia ini. Tunjangan guru disunat dengan dalih untuk penanganan Covid-19. Hal ini terbukti, dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun.

Miris. Guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang seharusnya diberi perhatian lebih dari sisi gaji dan kesejahteraan oleh pemerintah malah jadi tumbal.

Dalam Islam guru dipandang sebagai sosok yang dikaruniai ilmu oleh Allah SWT yang dengan ilmunya itu dia menjadi perantara manusia yang lain untuk mendapatkan, memperoleh, serta menuju kebaikan di dunia maupun di akhirat. Selain itu, guru tidak hanya bertugas mendidik muridnya agar cerdas secara akademik, tetapi juga mendidik muridnya agar cerdas secara spritual yakni memiliki kepribadian Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam naungan Islam mendapatkan penghargaan yang tinggi dari negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000).
Luar biasa bukan? 

Selain mendapatkan gaji yang besar, guru juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya. Hal ini tentu akan membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia.
Previous Post Next Post