Dinasti Politik Dalam Sistem Demokrasi

By : Ratna Munjiah 
(Pemerhati Sosial Masyarakat)

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Ujang Komarudin berpendapat Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020.

Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa saat ini sudah mendapatkan dukungan resmi dari PDI-P, parpol tempat Jokowi bernaung. Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution juga tengah berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020.

Ujang juga menilai pencalonan keluarga Presiden di pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain.

Ujang menambahkan, Indonesia saat ini memang sedang diwarnai fenomena oligarki dan dinasti politik yang menguat. Tak hanya di level nasional, dinasti politik ini juga terjadi pada politik di tingkat daerah.
"Dan ini akan berbahaya bagi proses demokratisasi. Demokrasi bisa dibajak oleh kekuatan oligarki dan dinasti politik," kata dia.(https://nasional.kompas.com/read/2020/07/18/13470831/pengamat-bisa-dikatakan-jokowi-sedang-bangun-dinasti-politik).

Politik oligarki masih berlaku hingga saat ini di negeri kita. Oligarki merupakan suatu sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik dipegang oleh sebuah kelompok elit kecil yang berasal dari masyarakat, hal ini dapat dibedakan berdasarkan keluarga, kekayaan serta kekuatan militernya. 

Politik oligarki yang ada saat ini semakin diperkuat dengan adanya dinasti politik. Dinasti politik sendiri adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah,  tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. 

Dalam dinasti politik pergantian kepemimpinan mirip kerajaan. Sebab kekuasaan di wariskan turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli warisnya agar kekuasaan tetap berada di lingkungan keluarga. Keluarga yang beberapa anggotanya terlibat dalam politik terutama politik berbasis pemilihan umum. Anggota keluarga politik terikat lewat keturunan atau pernikahan, biasanya melibatkan beberapa generasi atau saudara, umumnya dianggap bukan "keluarga politik", tetapi keturunan akhir keluarga kerajaan turut terjun ke dunia politik monarki absolut tetapi berkuasa di negara.

Memahami arti dari politik oligarki dan dinasti politik tersebut maka dipastikan bahwa politik oligarki yang dibangun parpol berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu Penguasa adalah keniscayaan dalam demokrasi.

Watak dalam demokrasi yakni meniscayakan pemenang didapatkan dari suara terbanyak dan itu dapat diraih dengan dana besar, ketenaran ataupun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki. Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. Sistem ini wajib ditolak karena akan menimbulkan banyak kemudharatan.

Saat hidup orientasinya dunia maka tentu akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan. Karena dengan memiliki jabatan dan kekuasaan maka individu akan dengan mudah menetapkan suatu kebijakan yang orientasinya untuk kebahagiaan duniawi tanpa lagi memikirkan apakah itu sesuai syara atau justru melanggar syara.

Ibnu Mas'ud ra. pernah menyatakan, “Sesungguhnya pada pintu-pintu pemerintahan itu ada fitnah disetujui tempat-tempat menderumnya unta. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, bebaskan kamu mengambil dunia mereka sedikitpun, kecuali mereka akan mengambil agama kalian sepadan (dengan dunia yang kalian ambil) (Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah). "

Demokrasi merupakan sistem buatan manusia sehingga mengesampingkan bahkan mencampakkan petunjuk Allah SWT. Sistem seperti ini pada hakikatnya berjalan pada hawa nafsu dan bisikan setan.
Allah SWT berfirman “Syaitan memberikan janji-janji kepada mereka dan mendorong angan-angan kosong kepada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka (TQS an-Nisa (4); 120).

Sejatinya demokrasi dan Islam adalah dua sisi yang saling bertolak belakang. Demokrasi menjadikan manusia sebagai Tuhan, sedangkan Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang harus tunduk pada sang Pencipta alam semesta, Allah SWT.

Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan syariat dan mendapat dukungan nyata berdasarkan kemampuan dalam ketaatan dan kapasitasnya untuk menjalankan seluruh perintah Allah. Untuk menjadi seorang pemimpin dalam sistem Islam bukanlah pekara mudah, karena memikul berbagai tanggung jawab dalam mengurus urusan rakyat.

Rasulullah SAW bersabda, "Imam [kepala negara] itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."

Kepemimpinan, menurut sabda Nabi SAW adalah konsep pemeliharaan urusan rakyat yang tidak hanya berdimensi dunia, tetapi juga akhirat.

Dalam Islam, orang baik harus menjadi pemimpin, tetapi tidak boleh cinta dan bernafsu untuk menjadi pemimpin. Sederhananya tidak boleh gila jabatan. Hal ini sudah dicontohkan oleh para pemimpin Islam terdahulu. Contohnya, Umar bin 'Abdul Aziz. Ketika beliau diangkat menjadi khalifah (pemimpin umat Islam), beliau menangis dan mengatakan ' Innalilahi wa Inalillahi raji'un' . Bukan 'Alhamdulillah'. Sebab menurut beliau, menjadi pemimpin adalah musibah. Bukan nikmat.

Namun yang terjadi saat ini, saat demokrasi yang diterapkan maka bencana krisis kepemimpinan melanda negeri ini. Saat ini  pemimpin cenderung dijadikan sebagai jabatan prestise yang dicari banyak orang bahkan kecenderungan ini merambah ke seluruh kalangan, baik artis maupun keluarga pejabat. Mereka berlomba-lomba untuk memiliki jabatan dan posisi yang baik dalam sebuah pemerintahan.

Saat ini jabatan dijadikan sebagai ladang untuk mendapatkan kekayaan. Walau harus mengeluarkan modal besar tak jadi masalah karena setelah mendapat jabatan orientasinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang sudah keluar tersebut. Sehingga yang muncul adalah korupsi merambah diberbagai penjuru negeri ini. Mereka tak lagi takut dengan ancaman Allah terhadap penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan.

Rasulullah SAW menegaskan betapa buruk dan beratnya siksaan bagi pemimpin yang tidak berbuat adil.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ أَمِيرِ عَشَرَةٍ إِلَّا يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُولًا، لَا يَفُكُّهُ إِلَّا الْعَدْلُ، أَوْ يُوبِقُهُ الْجَوْرُ

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada seorang pemimpin pun yang memimpin sepuluh orang rakyat, melainkan pada hari kiamat pemimpin tersebut akan dihadirkan dalam keadaan terbelenggu. Ia hanya akan dilepaskan dari belenggu tersebut jika ia memimpin dengan adil semasa hidupnya di dunia. Jika tidak adil, niscaya kezaliman yang ia lakukan di dunia akan membinasakan dirinya di akhirat.”(HR. Ahmad no. 9573, Al-Bazzar no. 1640, Abu Ya’la no. 6614, Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thabarani, Al-Baihaqi, dan Al-Baghawi. Syaikh Syuaib Al-Arnauth berkata: Sanadnya kuat).

Dalam hal ini semua pihak perlu mengingat pesan Rasulullah SAW, bahwa kepemimpinan dan jabatan itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana sabdanya

“Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan itu pada hari kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya (HR Muslim,Ibn Khuzaimah dan al-Hakim).

Sejatinya hanya sistem Islam yang akan menjadikan individu-individu manusia yang hanif yang bertakwa yang akan menjalani kehidupan senantiasa bersandarkan syariat, bukan berdasarkan nafsu dunia sehingga haus jabatan dan kekuasaan. Sudah seharusnya sistem Islam ditegakkan dimuka bumi ini, agar keberkahan dan ridha Allah menaungi seluruh alam. Wallahua'lam
Previous Post Next Post