Dibukanya Kembali Industri Pariwisata, Mungkinkah ?

Oleh : Dewi Rahayu Cahyaningrum
Komunitas Muslimah Rindu Jannah

Dibukanya kembali industri dunia pariwisata di Jawa Timur terkesan terpaksa dan terburu-buru karena pandemi Corona atau Covid-19 semakin hari semakin meningkat jumlah penderitanya. 
Menanggapi permasalahan tersebut, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur Tri Bagus Sasmito, mengatakan destinasi wisata di daerah mereka telah disiapkan protokol kesehatan agar siap menyambut kedatangan wisatawan dengan aman dan nyaman di era tatanan normal baru.

Dari 8 kabupaten dan 1 kota itu tercatat ada 49 destinasi wisata yang melaporkan pada Disbudpar Jatim siap dibuka.
“Beberapa destinasi di 8 kabupaten dan 1 kota itu antara lain , di Kota Batu ada Eco Green Park dan Jatim Park 2. Lalu di Pasuruan da Chimory, Taman Safari Indonesia, Taman Purwodadi, Banyuwangi ada Pantai Bangsring, di Blitar ada Kampung Coklat, dan di Magetan ada wisata Sarangan. Diantaranya itu, ” kata Bagus, (suryatravel.com, Jum’at 3/7/2020).

“Namun tetap, pembukaan destinasi tersebut harus melihat kondisi daerah yang menyesuaikan zona kuning dan zona hijau penularan Corona atau Covid-19 dan kewenangan sepenuhnya di Bupati atau Walikota,”tegas Bagus.  
Selain destinasi wisata, sektor pariwisata yang dinilai Bagus lebih siap adalah hotel dan restoran. Meski mereka memang tidak ada penutupan selama pandemic, namun pengelola sudah terbilang adaptif menyesuaikan protokol kesehatan.

Ternyata syarat wajib penerapan protokol kesehatan tersebut diakui membebani pelaku pengusaha hotel. Terlebih, tingkat okupansi hotel saat ini masih rendah, sehingga syarat tersebut dinilai amat sangat memberatkan.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Sutrisno Iwantono mengatakan, dalam menjalankan operasionalnya seluruh karyawan diwajibkan melakukan tes cepat atau rapid test setiap dua pekan sekali.

Tes ini, menurutnya menelan biaya yang tak sedikit. Untuk sekali pengetesan, biaya yang perlu dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 300.000 - Rp 550.000 per orang. Oleh sebab itu, dia menilai aturan ini merugikan, khususnya bagi pemilik hotel kelas menengah ke bawah.

"Hotel kecil non bintang yang pendapatannya sekarang kalau laku lima kamar sehari sudah hebat, jadi untuk rapid tes saja sudah tidak mungkin dilakukan," kata dia dalam diskusi daring di Jakarta (katadata.co.id,24/6/2020). Tak hanya itu, Sutrisno juga menyebut pengadaan barang-barang sekali pakai seperti masker, hand sanitizer juga dirasa sangat membebani pemilik hotel.

Dengan demikian janji protokol kesehatan akan diterapkan secara ketat disana tidak terbukti, dan ternyata yang menjadi tujuan pemerintah hanyalah ingin meningkatkan perekonomian yang kini dalam keadaan terpuruk dan lemah, sedangkan nyawa rakyat dikesampingkan bahkan nyawa rakyat menjadi taruhannya.

Dan bagi rakyat sendiri pariwisata merupakan pilihan yang logis disaat pandemi Corona atau Covid-19 seperti saat ini. Karena jika terjadi pandemi seperti sekarang yang seharusnya dilakukan adalah berdiam diri dirumah selama beberapa bulan. Sehingga rakyat akhirnya dihadapkan pada pilihan memikirkan keselamatan nyawanya atau memuaskan syahwat untuk berwisata.

*Wisata adalah Mentadabburi Kekuasaan Allah Swt*

Berbeda sekali dengan sistem Islam. Sistem Islam memandang berwisata adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt sebagai pemilik seluruh alam dan seisinya. Sekaligus sarana membangun keakraban keluarga. Dan tentunya dengan tetap melaksanakan hukum syariah Islam yang sudah ditetapkan dalam sumber hukum Islam dalam berwisata.

Di masa pandemi seperti saat ini, dalam syariah Islam lebih mengutamakan rakyat dalam terpenuhinya kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Mengingat berwisata adalah termasuk kebutuhan tersier, sehingga tidak terlalu diutamakan.

Sedangkan dalam sistem kapitalis memandang berwisata di akhir minggu atau hari libur adalah untuk melepas penat setelah lelah bekerja selama seminggu untuk mencari uang.

Berwisata dalam masa pandemi seperti ini adalah tempat berkumpulnya banyak orang, sehingga virus Corona atau Covid-19 dapat dengan cepat tersebar dan bisa menimbulkan klaster baru. Oleh karena itu alangkah bijak jika objek pariwisata yang sudah dibuka ditutup kembali sampai kondisi virus Corona atau Covid-19 sudah tidak ada.

Dalam syariah Islam industri pariwisata bukan sebagai sumber pendapatan negara yang utama. Dalam Islam yang menjadi sumber pendapatan negara yang utama adalah pemaksimalan pengelolaan Sumber Daya Alam, jizyah dan kharaj.

Sedangkan dalam sistem kapitalisme industri pariwisata adalah salah satu sumber pendapatan penyokong ekonomi negara yang utama setelah pajak. Sumber pendapatan dari pengelolaan Sumber Daya Alam tidak mungkin bisa diharapkan secara penuh karena Sumber Daya Alam sudah banyak yang dikuasai oleh asing, sehingga industri pariwisatalah yang paling diharapkan. 

Untuk menarik wisatawan asing maka ada beberapa standart pariwisata yang harus dipenuhi, salah satunya adalah adanya minuman berakohol, wisatawan diperbolehkan menggunakan pakaian bikini, casino, diskotik, pub-pub dan masih banyak lagi. Sehingga dengan adanya pariwasata yang demikian bisa memunculkan dampak negatif pada kehidupan masyarakat.  
     
Sehingga kita bisa memahami bahwa berwisata di masa pandemi lebih banyak mengandung bahaya daripada manfaat. Jadi, masihkah kita memaksakan diri kita untuk berwisata di saat pandemi masih terus bertambah dan bertambah?

Wallahua’lam Bishshawab.
Previous Post Next Post